Minggu, 30 September 2012

Gus Dur Bicara Blak-blakan di Acara Kick Andy [31 Desember 2009]



Maninjau - SEKITAR ETIKA POLITIK

Pengantar
Dalam catatan-catatan berikut dijelaskan secara singkat:
1. Apa itu “etika politik”
2. Hal moralitas politisi
3. Tiga prinsip dasar etika politik
4. Etika politik dan demokrasi
A. Etika Politik
Perlu dibedakan antara etika politik dengan moralitas politisi. Moralitas politisi menyangkut mutu moral negarawan dan politisi secara pribadi (dan memang sangat diandaikan), misalnya apakah ia korup atau tidak (di sini tidak dibahas). Etika politik menjawab dua pertanyaan:
  • Bagaimana seharusnya bentuk lembaga-lembaga kenegaraan seperti hokum dan Negara (misalnya: bentuk Negara seharusnya demokratis); jadi etika politik adalah etika institusi.
  • Apa yang seharusnya menjadi tujuan/sasaran segala kebijakan politik, jadi apa yang harus mau dicapai baik oleh badan legislative maupun eksekutif.
Etika politik adalah perkembangan filsafat di zaman pasca tradisional. Dalam tulisan para filosof politik klasik: Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Marsilius dari Padua, Ibnu Khaldun, kita menemukan pelbagai unsur etika politik, tetapi tidak secara sistematik. Dua pertanyaan etika politik di atas baru bisa muncul di ambang zaman modern, dalam rangka pemikiran zaman pencerahan, karena pencerahan tidak lagi menerima tradisi/otoritas/agama, melainkan menentukan sendiri bentuk kenegaraan menurut ratio/nalar, secara etis.
Maka sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti:
  1. Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan Negara (John Locke)
  2. Kebebasan berpikir dan beragama (Locke)
  3. Pembagian kekuasaan (Locke, Montesquie)
  4. Kedaulatan rakyat (Rousseau)
  5. Negara hokum demokratis/republican (Kant)
  6. Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb)
  7. Keadilan social
B. Lima Prinsip Dasar Etika Politik Kontemporer
Kalau lima prinsip itu berikut ini disusun menurut pengelompokan pancasila, maka itu bukan sekedar sebuah penyesuaian dengan situasi Indonesia, melainkan karena Pancasila memiliki logika internal yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan dasar etika politik modern (yang belum ada dalam Pancasila adalah perhatian pada lingkungan hidup).
1. Pluralisme
Dengan pluralism dimaksud kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya, untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya, adat. Pluralism mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang. Lawan pluralism adalah intoleransi, segenap paksaan dalam hal agama, kepicikan ideologis yang mau memaksakan pandangannya kepada orang lain.
Prinsip pluralism terungkap dalam Ketuhanan Yang Maha Esa yang menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada orang yang boleh didisriminasikan karena keyakinan religiusnya. Sikap ini adalah bukti keberadaban dan kematangan karakter koletif bangsa.
2. HAM
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusia yang adil dan beradab. Mengapa? Karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.
Hak-hak asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual:
  • Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat, melainkan karena ia manusia, jadi dari tangan Sang Pencipta.
  • Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, di ambang modernitas di mana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan seblaiknya diancam oleh Negara modern.
Dibedakan tiga generasi hak-hak asasi manusia:
  1. Generasi pertama (abad ke 17 dan 18): hak-hak liberal, demokratis dan perlakuan wajar di depan hokum.
  2. Generasi kedua (abad ke 19/20): hak-hak sosial
  3. Generasi ketiga (bagian kedua abad ke 20): hak-hak kolektif (misalnya minoritas-minoritas etnik).
Kemanusiaan yang adil dan beradab juga menolak kekerasan dan eklusivisme suku dan ras. Pelanggaran hak-hak asasi manusia tidak boleh dibiarkan (impunity).
3. Solidaritas Bangsa
Solidaritas mengatakan bahwa kita tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi orang lain, bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya apabila tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang sesuatu pada hidup manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembnag secara melingkar: keluarga, kampong, kelompok etnis, kelompok agama, kebangsaan, solidaritas sebagai manusia. Maka di sini termasuk rasa kebangsaan. Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam kaitan dan keterbatasan masing-masing. Solidaritas itu dilanggar dengan kasar oleh korupsi. Korupsi bak kanker yang mengerogoti kejujuran, tanggung-jawab, sikap objektif, dan kompetensi orang/kelompok orang yang korup. Korupsi membuat mustahil orang mencapai sesuatu yang mutu.
4. Demokrasi
Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia, atau sebuah elit, atau sekelompok ideology, atau sekelompok pendeta/pastor/ulama berhak untuk menentukan dan memaksakan (menuntut dengan pakai ancaman) bagaimana orang lain harus atau boleh hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Demokrasi adalah “kedaulatan rakyat plus prinsip keterwakilan”. Jadi demokrasi memrlukan sebuah system penerjemah kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik.
Demokrasi hanya dapat berjalan baik atas dua dasar:
  • Pengakuan dan jaminan terhadap HAM; perlindungan terhadap HAM menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas.
  • Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan terhadap hokum (Negara hukum demokratis). Maka kepastian hokum merupakan unsur hakiki dalam demokrasi (karena mencegah pemerintah yang sewenang-wenang).
5. Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat. Maksud baik apa pun kandas apabila melanggar keadilan. Moralitas masyarakat mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan. Keadilan social mencegah bahwa masyarakat pecah ke dalam dua bagian; bagian atas yang maju terus dan bagian bawah yang paling-paling bisa survive di hari berikut.
Tuntutan keadilan social tidak boleh dipahami secara ideologis, sebagai pelaksanaan ide-ide, ideology-ideologi, agama-agama tertentu; keadilan social tidak sama dengan sosialisme. Keadilan social adalah keadilan yang terlaksana. Dalam kenyataan, keadilan social diusahakan dengan membongkar ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Di mana perlu diperhatikan bahwa ketidakadilan-ketidakadilan itu bersifat structural, bukan pertama-pertama individual. Artinya, ketidakadilan tidak pertama-tama terletak dalam sikap kurang adil orang-orang tertentu (misalnya para pemimpin), melainkan dalam struktur-struktur politik/ekonomi/social/budaya/ideologis. Struktur-struktur itu hanya dapat dibongkar dengan tekanan dari bawah dan tidak hanya dengan kehendak baik dari atas. Ketidakadilan structural paling gawat sekarang adalah sebagian besar segala kemiskinan. Ketidakadilan struktur lain adalah diskriminasi di semua bidang terhadap perempuan, semua diskriminasi atas dasar ras, suku dan budaya.
Dalam pendapat penulis, tantangan etika politik paling serius di Indonesia sekarang adalah:
  1. Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan social.
  2. Ekstremisme ideologis yang anti pluralism, pertama-tama ekstremisme agama dimana mereka yang merasa tahu kehendak Tuhan merasa berhak juga memaksakan pendapat mereka pada masyarakat.
  3. Korupsi.
Jakarta, 23 Agustus 2007
Franz Magnis Suseno SJ

Artikel ini ditulis ulang dari makalah “KULIAH UMUM PROF. FRANZ MAGNIS SUSENO, SJ DI FAKULTAS FILSAFAT UGM YOGYAKARTA SENIN 27 AGUSTUS 2007″

Senin, 24 September 2012

Hanya Diusung 2 Partai


Edward Febriyatri Kusuma - detikNews
 Jakarta Berdasarkan penghitungan cepat yang digelar sejumlah lembaga survei, Jokowi-Ahok diperkirakan akan menjadi gubernur dan wakil guberbur DKI periode 2012-2017. Namun, karena hanya diusung dua partai yang tak terlalu besar di DKI, ada kekhawatiran pemerintahan Jokowi akan banyak mendapat ganjalan dari DPRD DKI. Pengamat politik dari LIPI, Siti Zuhro, menyebut adanya kemungkinan resistensi dari fraksi-fraksi dari partai di DPRD Jakarta yang tak mendukung Jokowi. Namun, dia mengatakan, jika memang partai-partai itu mengganjal Jokowi, maka dampak buruk akan kembali kepada partai itu sendiri. "Resisten dari DPRD akan jadi bumerang bagi mereka sendiri karena mengkhianati masyarakat, karena dengan menghalau kebijakan peningkatan kualitas pelayanan publik tetapi malah dihambat," ujar Siti saat dihubungi detikcom, Senin (24/9/2012) malam. Siti menuturkan jika nantinya menemui resistensi dari DPRD, Jokowi bisa mengkomunikasikannya dengan masyarakat. "Sekedar minta pengawalan jadi kalau ada resitensi dari kebijakannya," tuturnya. Siti menuturkan, pemenang pilkada adalah pemimpin yang mendapat dukungan terbanyak dari rakyat. Sehingga, walaupun hanya didukung oleh dua parpol, Jokowi dan Ahok dipercaya akan tetap bisa menjalankan roda pemerintahan di DKI dengan baik. "Jangankan dua partai politik, yang kepada daerah dari independen pun ada. Ini seharusnya era demokrasi dimana rakyat berperan penting saat pilkada dan pasca pilkada, semestinya rakyat mengawal jalannya proses tersebut," tuturnya. Lebih lanjut Siti mengatakan peran penting masyarakat Jakarta tidak hanya digunakan ketika pilkada bahkan pasca pemilihan kepala daerah DKI Jakarta, juga harus dicermatin. "Apa yang kita catat peran penting masyarakat tidak hanya pilkada bahkan pasca pilkada juga harus menjaga. Jangan kira nantinya pemimpin Jakarta tidak ada sorotan kritis dari masyarakat," tandasnya. (edo/trq)