Pengantar
Dalam catatan-catatan berikut dijelaskan secara singkat:
1. Apa itu “etika politik”
2. Hal moralitas politisi
3. Tiga prinsip dasar etika politik
4. Etika politik dan demokrasi
A. Etika Politik
Franz Magnis Suseno SJ
Artikel ini ditulis ulang dari makalah “KULIAH UMUM PROF. FRANZ MAGNIS SUSENO, SJ DI FAKULTAS FILSAFAT UGM YOGYAKARTA SENIN 27 AGUSTUS 2007″
Dalam catatan-catatan berikut dijelaskan secara singkat:
1. Apa itu “etika politik”
2. Hal moralitas politisi
3. Tiga prinsip dasar etika politik
4. Etika politik dan demokrasi
A. Etika Politik
Perlu dibedakan antara etika politik
dengan moralitas politisi. Moralitas politisi menyangkut mutu moral
negarawan dan politisi secara pribadi (dan memang sangat diandaikan),
misalnya apakah ia korup atau tidak (di sini tidak dibahas). Etika
politik menjawab dua pertanyaan:
- Bagaimana seharusnya bentuk lembaga-lembaga kenegaraan seperti hokum dan Negara (misalnya: bentuk Negara seharusnya demokratis); jadi etika politik adalah etika institusi.
- Apa yang seharusnya menjadi tujuan/sasaran segala kebijakan politik, jadi apa yang harus mau dicapai baik oleh badan legislative maupun eksekutif.
Etika politik adalah perkembangan
filsafat di zaman pasca tradisional. Dalam tulisan para filosof politik
klasik: Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Marsilius dari Padua, Ibnu
Khaldun, kita menemukan pelbagai unsur etika politik, tetapi tidak
secara sistematik. Dua pertanyaan etika politik di atas baru bisa muncul
di ambang zaman modern, dalam rangka pemikiran zaman pencerahan, karena
pencerahan tidak lagi menerima tradisi/otoritas/agama, melainkan
menentukan sendiri bentuk kenegaraan menurut ratio/nalar, secara etis.
Maka sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti:
- Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan Negara (John Locke)
- Kebebasan berpikir dan beragama (Locke)
- Pembagian kekuasaan (Locke, Montesquie)
- Kedaulatan rakyat (Rousseau)
- Negara hokum demokratis/republican (Kant)
- Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb)
- Keadilan social
Kalau lima prinsip itu berikut ini
disusun menurut pengelompokan pancasila, maka itu bukan sekedar sebuah
penyesuaian dengan situasi Indonesia, melainkan karena Pancasila
memiliki logika internal yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan dasar
etika politik modern (yang belum ada dalam Pancasila adalah perhatian
pada lingkungan hidup).
1. Pluralisme
Dengan pluralism dimaksud kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya, untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya, adat. Pluralism mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang. Lawan pluralism adalah intoleransi, segenap paksaan dalam hal agama, kepicikan ideologis yang mau memaksakan pandangannya kepada orang lain.
Dengan pluralism dimaksud kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya, untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya, adat. Pluralism mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang. Lawan pluralism adalah intoleransi, segenap paksaan dalam hal agama, kepicikan ideologis yang mau memaksakan pandangannya kepada orang lain.
Prinsip pluralism terungkap dalam
Ketuhanan Yang Maha Esa yang menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada
orang yang boleh didisriminasikan karena keyakinan religiusnya. Sikap
ini adalah bukti keberadaban dan kematangan karakter koletif bangsa.
2. HAM
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusia yang adil dan beradab. Mengapa? Karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusia yang adil dan beradab. Mengapa? Karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.
Hak-hak asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual:
- Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat, melainkan karena ia manusia, jadi dari tangan Sang Pencipta.
- Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, di ambang modernitas di mana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan seblaiknya diancam oleh Negara modern.
Dibedakan tiga generasi hak-hak asasi manusia:
- Generasi pertama (abad ke 17 dan 18): hak-hak liberal, demokratis dan perlakuan wajar di depan hokum.
- Generasi kedua (abad ke 19/20): hak-hak sosial
- Generasi ketiga (bagian kedua abad ke 20): hak-hak kolektif (misalnya minoritas-minoritas etnik).
Kemanusiaan yang adil dan beradab juga
menolak kekerasan dan eklusivisme suku dan ras. Pelanggaran hak-hak
asasi manusia tidak boleh dibiarkan (impunity).
3. Solidaritas Bangsa
Solidaritas mengatakan bahwa kita tidak
hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi orang lain, bahwa
kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut
harkatnya apabila tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang
sesuatu pada hidup manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembnag
secara melingkar: keluarga, kampong, kelompok etnis, kelompok agama,
kebangsaan, solidaritas sebagai manusia. Maka di sini termasuk rasa
kebangsaan. Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan
itu dihayati dalam kaitan dan keterbatasan masing-masing. Solidaritas
itu dilanggar dengan kasar oleh korupsi. Korupsi bak kanker yang
mengerogoti kejujuran, tanggung-jawab, sikap objektif, dan kompetensi
orang/kelompok orang yang korup. Korupsi membuat mustahil orang mencapai
sesuatu yang mutu.
4. Demokrasi
Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan
bahwa tak ada manusia, atau sebuah elit, atau sekelompok ideology, atau
sekelompok pendeta/pastor/ulama berhak untuk menentukan dan memaksakan
(menuntut dengan pakai ancaman) bagaimana orang lain harus atau boleh
hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak
menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana mereka mau dipimpin.
Demokrasi adalah “kedaulatan rakyat plus prinsip keterwakilan”. Jadi
demokrasi memrlukan sebuah system penerjemah kehendak masyarakat ke
dalam tindakan politik.
Demokrasi hanya dapat berjalan baik atas dua dasar:- Pengakuan dan jaminan terhadap HAM; perlindungan terhadap HAM menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas.
- Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan terhadap hokum (Negara hukum demokratis). Maka kepastian hokum merupakan unsur hakiki dalam demokrasi (karena mencegah pemerintah yang sewenang-wenang).
Keadilan merupakan norma moral paling
dasar dalam kehidupan masyarakat. Maksud baik apa pun kandas apabila
melanggar keadilan. Moralitas masyarakat mulai dengan penolakan terhadap
ketidakadilan. Keadilan social mencegah bahwa masyarakat pecah ke dalam
dua bagian; bagian atas yang maju terus dan bagian bawah yang
paling-paling bisa survive di hari berikut.
Tuntutan keadilan social tidak boleh
dipahami secara ideologis, sebagai pelaksanaan ide-ide,
ideology-ideologi, agama-agama tertentu; keadilan social tidak sama
dengan sosialisme. Keadilan social adalah keadilan yang terlaksana.
Dalam kenyataan, keadilan social diusahakan dengan membongkar
ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Di mana perlu
diperhatikan bahwa ketidakadilan-ketidakadilan itu bersifat structural,
bukan pertama-pertama individual. Artinya, ketidakadilan tidak
pertama-tama terletak dalam sikap kurang adil orang-orang tertentu
(misalnya para pemimpin), melainkan dalam struktur-struktur
politik/ekonomi/social/budaya/ideologis. Struktur-struktur itu hanya
dapat dibongkar dengan tekanan dari bawah dan tidak hanya dengan
kehendak baik dari atas. Ketidakadilan structural paling gawat sekarang
adalah sebagian besar segala kemiskinan. Ketidakadilan struktur lain
adalah diskriminasi di semua bidang terhadap perempuan, semua
diskriminasi atas dasar ras, suku dan budaya.
Dalam pendapat penulis, tantangan etika politik paling serius di Indonesia sekarang adalah:- Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan social.
- Ekstremisme ideologis yang anti pluralism, pertama-tama ekstremisme agama dimana mereka yang merasa tahu kehendak Tuhan merasa berhak juga memaksakan pendapat mereka pada masyarakat.
- Korupsi.
Franz Magnis Suseno SJ
Artikel ini ditulis ulang dari makalah “KULIAH UMUM PROF. FRANZ MAGNIS SUSENO, SJ DI FAKULTAS FILSAFAT UGM YOGYAKARTA SENIN 27 AGUSTUS 2007″
Tidak ada komentar:
Posting Komentar