Gedung Museum Perumusan Naskah Proklamasi yang berdiri di atas tanah seluas 3.914 m2 itu telah beberapa kali berpindah tangan. Pernah digunakan oleh PT Asuransi Jiwasraya pada tahun 1931, lalu dikuasai oleh Admiral Tadashi Maeda selama masa pendudukan Jepang, kemudian menjadi markas besar Tentara Kerajaan Inggris setelah perang Pasifik, beralih lagi ke Asuransi Jiwasraya, sebelum berpindah tangan lagi menjadi Kedutaan Inggris dari tahun 1961 sampai 1981, dan lalu menjadi Perpustakaan Nasional pada tahun 1982.
Saat dihuni oleh Laksamana Tadashi Maeda, gedung ini menjadi saksi peristiwa bersejarah yang terjadi pada 16-17 Agustus 1945, ketika perumusan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia dipersiapkan dan ditandatangani di tempat itu.
Namun baru pada tahun 1984, Prof. Nugroho Notosusanto, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, memerintahkan Direktorat Museum untuk menjadikan bangunan itu sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasisampai sekarang ini.
Museum Perumusan Naskah Proklamasi dengan sebuah spanduk yang dipasang di lantai dua untuk menarik perhatian orang yang lewat di depannya. Keberadaan Museum Perumusan Naskah Proklamasi ini tampaknya memang perlu lebih banyak dipromosikan.
Museum Perumusan Naskah Proklamasi di ruangan dimana Soekarno, Hattadan Ahmad Soebardjo disambut Tadashi Maeda sekitar jam 10 malam, pada 16 Agustus 1945, setelah kembali dari “penculikan” Rengasdengklok.
Soekarno dan Hatta, ditemani Maeda, menemui Mayor Jenderal Nishimura untuk menjajagi sikapnya tentang rencana Proklamasi Kemerdekaan. Nishimura berkata bahwa Jepang tidak diperbolehkan mengubah status quo karena sudah menyerah kepada Sekutu, karenanya Nishimura melarang Soekarno – Hatta mengadakan rapat PPKI dalam rangka pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan.
Soekarno – Hatta pun berpendapat bahwa tidak ada gunanya lagi untuk membicarakan kemerdekaan Indonesia dengan pihak Jepang. Mereka hanya berharap agar tentara Jepang tidak menghalang-halangi proses pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Soekarno dan Hatta lalu kembali ke rumah Maeda. Rumah Maeda dipilih sebagai tempat penyusunan Naskah Proklamasi karena Maeda memberi jaminan keselamatan pada Bung Karno dan tokoh lainnya. Maeda sendiri masuk ke kamar tidurnya di lantai dua ketika peristiwa bersejarah itu berlangsung.
Museum Perumusan Naskah Proklamasi di tempat dimana pada jam 3 dini hari, Jumat legi, 17 Agustus 1945, bulan Ramadhan, Soekarno, Hatta dan Soebardjo masuk dan duduk untuk merumuskan naskah proklamasi.
Soekarno melakukan penulisan naskah proklamasi, sedangkan Hatta dan Soebardjo memberikan saran secara lisan, sementara Miyoshi, orang kepercayaan Nishimura, bersama Sukarni, Sudiro, dan B.M. Diah ikut menyaksikan. Tokoh-tokoh lainnya, baik dari golongan tua maupun dari golongan pemuda, menunggu di serambi muka.
Kalimat pertama teks Proklamasi adalah saran Ahmad Soebardjo yang diambil dari rumusan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dan kalimat terakhir disarankan oleh Mohammad Hatta.
Museum Perumusan Naskah Proklamasi dengan teks proklamasi asli yang ditulis oleh Soekarno sebelum diketik oleh Sayuti Melik.
Museum Perumusan Naskah Proklamasi di tempat dimana pada dini hari 17 Agustus 1945 Sayuti Melik mengetik naskah proklamasi atas permintaan Soekarno, ditemani BM Diah. Ia membuat tiga perubahan pada naskah: “tempoh” menjadi “tempo”, “Wakil-wakil bangsa Indonesia” menjadi “Atas nama bangsa Indonesia”, dan format tanggal.
Museum Perumusan Naskah Proklamasi dimana seluruh tokoh yang hadir saat itu berkumpul setelah naskah selesai diketik.
Pada jam 04.00 pagi, 17 Agustus 1945, Soekarno membuka pertemuan "Keadaan yang
g mendesak telah memaksa kita semua mempercepat pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Rancangan teks telah siap dibacakan di hadapan saudara-saudara dan saya harapkan benar bahwa saudara-saudara sekalian dapat menyetujuinya sehingga kita dapat berjalan terus dan menyelesaikan pekerjaan kita sebelum fajar menyingsing“. Soekarno lalu membacakan dengan pelan dan berulang naskah teks proklamasi itu. Semuanya menyetujui.
g mendesak telah memaksa kita semua mempercepat pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Rancangan teks telah siap dibacakan di hadapan saudara-saudara dan saya harapkan benar bahwa saudara-saudara sekalian dapat menyetujuinya sehingga kita dapat berjalan terus dan menyelesaikan pekerjaan kita sebelum fajar menyingsing“. Soekarno lalu membacakan dengan pelan dan berulang naskah teks proklamasi itu. Semuanya menyetujui.
Soekarno kemudian menyarankan untuk bersama-sama menandatangani naskah proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia. Saran itu didukung Mohammad Hatta dengan mengambil contoh “Declaration of Independence“-nya Amerika Serikat. Namun golongan pemuda menolak jika tokoh-tokoh golongan tua yang disebut sebagai “budak-budak Jepang” turut menandatangani naskah proklamasi. Sukarni lalu mengusulkan agar penandatangan naskah proklamasi itu cukup dua orang saja, yaitu Soekarno dan Mohammad Hatta, atas nama bangsa Indonesia. Usul Sukarni akhirnya diterima. Soekarno dan Hatta pun lalu membubuhkan tanda tangannya pada naskah yang sudah diketik oleh Sayuti Melik.
Diantara mereka yang hadir pada pertemuan dini hari itu adalah Soekarno, Hatta, Ahmad Soebardjo, Mohamad Amir, Boentaran Martoatmodjo, I Goesti Ketut Poedja, A Abbas, Iwa Kusumasumantri, Johanes Latoeharharry, Ki Bagoes Hadji Hadikoesoemo, Teukoe Moehammad Hasan, Ki Hadjar Dewantara, Otto Iskandardinata, K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, Soetardjo Kartohadikusumo, R. Soepomo, Soekardjo Wirjopranoto, G.S.S.J. Ratulangi, BM Diah, Sukarni, Chaerul Saleh, Sayuti Melik, Anang Abdoel Hamidhan, Andi Pangerang, Andi Sultan Daeng Radja, Semaun Bakry, Soediro, Abikoesno Tjokrosoejoso dan Samsi Sastrowidagdo.
Setelah itu ada pembahasan untuk menentukan tempat. Sukarni mengatakan bahwa rakyat Jakarta dan sekitarnya, telah diserukan agar datang ke lapangan IKADA pada tanggal 17 Agustus untuk mendengarkan Proklamasi Kemerdekaan. Namun saran Sukarni ditolak oleh Soekarno. “Tidak,” kata Soekarno,” lebih baik dilakukan di tempat kediaman saya di Pegangsaan Timur. Pekarangan di depan rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa kita harus memancing-mancing insiden? Lapangan IKADA adalah lapangan umum. Suatu rapat umum, tanpa diatur sebelumnya dengan penguasa-penguasa militer, mungkin akan menimbulkan salah faham. Suatu bentrokan kekerasan antara rakyat dan penguasa militer yang akan membubarkan rapat umum tersebut, mungkin akan terjadi. Karena itu, saya minta saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan Timur 56 sekitar pukul 10.00 pagi.”
Sebelum meninggalkan rumah Maeda, Bung Hatta berpesan kepada para pemuda yang bekerja pada pers dan kantor-kantor berita, untuk memperbanyak naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar