Kamis, 10 Mei 2012

Sekilas Tentang Tokoh Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949

Arisun Sutan Alamsyah, Sosok Sejati
   
Peristiwa Situjuah Batua 15 Januari 1949 adalah mata rantai Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumbar, yang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari sejarah Indonesia. Dalam peristiwa ini puluhan pejuang dan rakyat badarai tewas di tangan Belanda, sehingga menjadi tragedi buruk sepanjang PDRI berdiri. Untuk mengenang para pejuang dan tokoh penting Peristiwa Situjuah, wartawan Padang Ekspres Fajar Rillah Vesky yang sedang menggarap buku tentang Peristiwa Situjuah, menuliskan sekilas sosok mereka buat anda. Selamat membaca!

Air cucuran atap jatuhnya ke genangan juga. Pepatah itu cocok betul untuk mengambarkan sosok Arisun Sutan Alamsyah, mantan Bupati militer Kabupaten Limapuluh Kota, yang dipanggil sang pencipta ketika tragedi berdarah 15 Januari 1949 meletus di Lurah Kincia, Situjuah Batua (sekarang masuk dalam Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumbar). Mengapa tidak? Jauh sebelum menjadi Bupati dan pemimpin rakyat, Arisun telah tumbuh di lingkungan orang-orang besar pun terpandang. Ayahnya adalah Tamin Datuk Bandaro Sati, mantan Kepala Negeri Banuhampu Agam. Pamannya Mr Assa’at, Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sekaligus mantan Pj Presiden Republik Indonesia . Menurut (Alm) HC Israr, seorang penulis sejarah di Sumbar, Arisun Sutan Alamsyah lahir tahun 1915 di Nagari Kubang Putiah, Kabupaten Agam dari ibu bernama Harikam. Dalam keluarganya yang bersuku Piliang, Arisun merupakan anak keempat dari lima bersaudara.

Layaknya banyak pemimpin di negeri ini, Arisun Sutan Alamsyah juga sempat mengecap berbagai jenjang pendidikan. Dia pernah bersekolah di-Hollands Inlands School (HIS), dan Mee Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Bukittingi. Setamat dari Mulo, dia melanjutkan pendidikan ke Algeene Middelbare Scholl (AMS) di Jakarta. Setamat dari AMS, Arisun mendapat tawaran bekerja dari Belanda. Tapi dia bukanlah orang yang haus akan jabatan, karena jauh di balik sanubarinya, terpatri rasa tidak ingin menjadi robot-robot penjajah Belanda! Makanya, Arisun Sutan Alamsyah langsung bertekad untuk terus dan terus menggali ilmu pengetahuan, dengan berencana melanjutkan pendidikan ke Filipina. Namun tragis, sebelum kapal cita-citanya sampai di pulau harapan, Arisun Sutan Alamsyah yang sedang minta izin pulang kampung, mengalami cedera hebat di kaki, karena bermain bola melawan klub REMZ Sawahlunto. 

Sejak mengalami cedera panjang, dia terpaksa membatalkan niat untuk berangkat ke negeri Corazon Aquiono (Filipina), dan memilih jalan hidup baru sebagai seorang guru. Pertama-tama, dia mengajar di Perguruan Jirek Bukittingi. Kemudian pindah ke perguruan Training College Payakumbuh. Selain menjadi guru, Arisun Sutan Alamsyah juga aktif kembali dalam perjuangan bangsa. Buktinya, bersama Dokter Anas (orang Indonesia yang agak bergaya Belanda) serta Sudiro, dia membentuk Badan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan atau Geneskunding Transport Colone (GTC) atau sebuah organisasi yang tugasnya mirip dengan Palang Merah Indonesia (PMI).  Kemudian, pada zaman pemerintahan Jepang, Arisun aktif pula dalam Hokokai (Badan Kebaktian Rakyat) Kabupaten 50 Kota yang dipimpin Haji Darwis Datuk Tumanggung. Lalu, saat di Payakumbuh muncul Gyu Gun, Arisun St Alamsyah juga turut aktif dalam Gyu Gun ‘Ko En Bu’ Kabupaten 50 Kota .

Menikah dan Jadi Bupati

Pada tahun 1946, Arisun mengakhiri masa lajangnya dengan menyunting gadis manis dari Ladang Laweh Banuhampu Agam, bernama Ros Sa’adah. Kelak, dia dan Ros Sa’adah dikarunai Tuhan seorang putri yang bernama Yulida. Sayang, putri semata wayang itu umurnya tidak panjang, menyusul dengan terjadinya kecelakaan pada pesawat Merpati yang ditumpangi Yulida di sekitar Pulau Katang pada tahun 1969. Masih pada tahun 1946, Arisun  mendapat amanah sebagai Wedana pertama di Kewedanaan Suliki, dalam masa kemerdekaan. Wedana Kecamatan Suliki membawahi dua kecamatan, yaitu kecamatan Suliki dengan camatnya DP. Sati, dan Kecamatan Guguk dengan Camatnya Saadudin Syarbani. Setelah terjadi Agresi Belanda, disusul dengan terbentuknya PDRI dan Pemerintahan Militer di Sumbar pada tahun 1948. Arisun Sutan Alamsyah akhirnya diangkat menjadi Bupati Militer Kabupaten 50 Kota. Bersamanya, diangkat pula Anwar ZA menjadi Sekretaris Daerah Kabupaten 50 Kota. 

Tapi menjadi Bupati semasa Agresi Belanda ini tentulah tidak menyenangkan. Bila para Bupati hari ini masih bisa memikirkan rakyat sambil duduk di ruangan atau mobil yang memiliki air conditioner (AC). Arisun Sutan Alamsyah, justru memimpin di tengah desingan peluru dan bom musuh. Bahkan, pada tanggal 10 Januari 1949, ketika Belanda melancarkan operasi ke Suliki dan Koto Tinggi. Akibatnya, Arisun Sutan Alamsyah terpaksa mengajak pejuang dan masyarakat, untuk mengosongkan kawasan Suliki lalu kembali bergerilya. Bukan hanya itu, istri dan anaknya terpaksa pula diungsikan ke rumah Anwar ZA di Koto Kociak, Padang Jopang. Masih akibat serangan pada tanggal 10 Januari tersebut, Gubernur Militer Mr Sutan Muhammad Rasyid, langsung membuat agenda rapat di Situjuh Batua. Sebelum berangkat ke Situjuah Batua, Arisun Sutan Alamsyah bersama Komandan Teritorial Sumatera Barat Dahlan Ibrahim, Ketua MPRD Khatib Sulaiman, Mayor Thalib, Arisun Sutan Alamsyah dan sejumlah tokoh lain, berkumpul dulu di Koto Kociak.

Dari sanalah mereka berangkat ke Situjuah, dengan melalui kawasan Batu Hampa yang merupakan kampung asal ayah Proklamator RI Bung Hatta. Setiba di Situjuah tanggal 14 Januari 1949, mereka langsung menggelar rapat di surau Mayor Makinudin HS yang merupakan ayah kandung Haji Khairuddin. Rapat tersebut berlangsung sampai sampai jauh malam. Karena terlalu lelah, selepas rapat, Arisun Sutan Alamsyah langsung istirahat. Namun takdir berkata lain, ketika ayam jantan mulai berkokok dan halimun pagi baru nampak di ufuk timur, tiba-tiba desingan peluru penjajah mulai menyalak. Lurah Kincia dikepung dari berbagai penjuru mata angin. Para pejuang, ada yang mencoba untuk melawan. Tapi kekuatan tidak seimbang. Bayonet di tangan, tentulah tak bisa menandingi peluru yang muncrat dari moncong senapan. Akibatnya, para pejuang gugur satu-persatu. Arisun Sutan Alamsyah, termasuk satu dari banyak syuhada itu. (***)

Chatib Soelaiman, Kesempurnaan Seorang Pahlawan

Dia tidak hanya seorang pemimpin di medan perang. Tapi juga pemikir dengan bejibun teori. Dia bukan sekedar seniman dan penulis hebat. Tapi juga tokoh  yang taat beragama dan tahu adat. Dia tidak cuma kekasih yang romantis, tapi juga kawan yang setia!

Bila ada alasan, kenapa Sumatera Barat harus dikenang sepanjang massa, barangkali nama besarnya adalah salah satu jawaban. Itulah dia Chatib Soelaiman. Mantan Ketua MPRD Sumbar yang gugur dalam Peristiwa Situjuh 1 Januari 1949 ini, memang seorang pahlawan sempurna.  Ulama legendaris ranah Minang Haji Abdul Malik Karim Amarullah alias Buya Hamka, dalam kenangannya dengan gamblang mengatakan, perjuangan di Sumbar tidaklah dapat memisahkan nama Chatib Soelaiman, baik di zaman Belanda ataupun pendudukan Jepang, apalagi di zaman sesudah proklamasi.

Chatib Soelaiman menurut sejarah terlahir di Sumpur tahun 1906, sebagai anak kelima dari 8 bersaudara, ibunya bernama Siti Rahma, sedangkan ayahnya adalah Haji Soelaiman. Usia 6 tahun (1912), dia bersekolah di Gouvernement Benteng (Sekolah Dasar) Padang. Kemudian berniat memasuki MULO. Tapi untuk memasuki MULO, anak didik haruslah tamatan HIS, semacam sekolah dasar yang menjadikan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.

Karena untuk masuk HIS, murid-murid harus dilihat status sosial orangtuanya, dan kedudukan dalam stetsel pemerintah Belanda, atau ketaatan kepada pemerintah Belanda, misalnya dalam membayar pajak, Chatib Soelaiman tidak bisa memasuki HIS milik pemerintah. Untung, ada kawan ayahnya yang berbaik hati, sehingga Chatib bisa masuk HIS Adabiyah, sebuah perguruan swasta yang setingkat dengan HIS Pemerintah.

Setamat dari HIS pada tahun 1919, Chatib Soelaiman baru bercita-cita untuk meneruskan ke MULO. Sayang beribu kali sayang, usaha ayahnya ternyata pailit atau mengalami gulung tikar. Bagaimana mungkin bisa sekolah, jika biaya tidaklah ada. Tapi Chatib tidak menyerah. Berkat bantuan Inyiak Basa Bandaro, lagi-lagi soerang kawan ayahnya yang merupakan tokoh pergerakan dan saudagar di Pasa Gadang, Chatib akhirnya bisa masuk MULO. Cuma sayang, jenjang pendidikan ini tidak selesai ditamatkan oleh Chatib Soelaiman, karena dia justru lebih menekuni dunia seni. Ya, Chatib mulai-mulai ‘tergila-gila’ menggesek Biola.

Jiwa Seniman dan Tentang Pernikahan
‘Kegilaan’ Chatib akan biola, telah berhasil membuatnya menjadi seorang Violis atau penggesek biola terkenal di Kota Padang. Bahkan, dia juga sering untuk mengiringi film-film bioskop yang saat itu masih disebut film bisu alias tanpa suara. Chatib Soelaiman yang terbiasa menikmati kesulitan hidup, mengakhiri masa lajangnya pada tahun 1938. Dia “dinikahkan” dengan gadis sekampung bernama Zubaidah. Dalam pernikahan gaya Siti Nurbaya ini, Chatib Soelaiman memang kurang harmonis. Mungkin karena istrinya Zubaidah berasal dari keluarga berada. Sehingga faktor materi termasuk dalam kalkulasi hidup.

Setelah menikah dengan Zubaidah, Chatib Soelaiman kembali menjalani bahtera rumah tangga dengan menikahi gadis manis dari Bukik Surungan, Padangpanjang bernama Syafiah Emma. Syafiah adalah guru berpendidikan yang menghayati keresahan Chatib. Malang, cinta mereka tidak bertahan lama, karena Syafiah meninggal dunia dalam usia muda dengan dua orang anak. Selang beberapa waktu kemudian, Chatib menikah lagi dengan adik Syafiah Emma bernama Junidar. Junidar adalah seorang bidan. Dengan istrinya ini Chatib Suleman memperoleh tiga orang anak. Dengan demikian, sepanjang hidupnya, Chatib tercatat menjalani tiga kali pernikahan.

Mulai Menjadi Guru

Kisah heroik Chatib Soelaiman sendiri, diawali dengan keaktifan dirinya dalam pergerakan bangsa di Padangpanjang. Dia pernah memimpin HIS Muhammadiyah dan mengajar pada Madratsah Isyadinnas (MIN) Padangpanjang, sekitar tahun 1930. Lalu, pada tanggal 11 Nopember 1932, dia menjadi pengurus PNI Cabang Padangpanjang. Cuma sayang, pada tahun 1934 pemerintah Belanda mengeluarkan larangan mengadakan rapat dan berkumpul (vergader-verbod). Dengan larangan itu otomatis dunia pergerakan mengalami pukulan hebat.

Namun peristiwa itu tidak membuat Chatib berkecil hati. Dia memindahkan gerakannya ke wilayah ekonomi. Bersama Leon Salim, ia menerbitkan Majalah Sinar. Dalam terbitan setebal 32 halaman, Chatib dan Leon membuat karangan untuk saudagar muda dan pelajar-pelajar. Karangan itu terutama menyangkut masalah ekonomi. Setelah itu, Chatib pindah ke Bukittinggi. Bersama dengan teman-temannya Anwar St Saidi, Mr Nasrun dan Marzuki Yatim, Mr Moh Yamin dibangunlah persatuan dagang Bumi Putera. Kecuali di Bumi Putera, ia bersama teman-temannya mendirikan pula sebuah Bank yang dinamakan Bank Nasional. Di zaman penjajahan Belanda sulit ditemui bank-bank swasta. Oleh karena itu mendirikan Bank Nasional harus diakui sebagai suatu keberanian.

Menjelang Belanda Hengkang

Ketika Belanda mulai berakhir dan adanya undang-undang S.O.B yang memunculkan kesadaran politik rakyat. Chatib muncul lagi. Ia merencanakan demonstrasi di Padangpanjang tanggal 12 Maret 1942. Dalam demonstrasi itu pemerintah Belanda dituntut agar menyerahkan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia, atau bukan kepada Jepang. Kecuali itu, Belanda diminta tidak membumihanguskan kekayaaan alam Indonesia .

Waktu demonstrasi, direncanakan akan dikibarkan Merah Putih. Tapi upaya ini dicium Belanda. Akibatnya, pagi Subuh tanggal 12 Maret 1942, Chatib Soelaiman ditangkap dan dibuang ke Kotacane, Aceh. Tanggal 25 Maret 1942, tentara Belanda telah meninggalkan Kotacane. Chatib Soelaiman beserta pejuang bisa menghirup udara bebas. Sementara rakyat, mulai mencari keberadaan mereka. Lalu pada tanggal 31 Maret 1942, Chatib kembali di tengah rakyat Sumbar. (Fajar Rillah Vesky)

Ketika Jepang berkuasa di Indonesia. Chatib Soelaiman membentuk ”Pemuda Nippon Raya”. Sepintas lalu, organisasi ini Pro-Jepang. Tapi ditilik lebih jauh, organisasi ini bertujuan untuk menyelamatkan pergerakan dari Jepang. Awalnya, Jepang suka dengan kehadiran Pemuda Nippon Raya. Tapi kemudian Jepang membubarkan. Chatib Soelaiman ditangkap lagi. Selang beberapa waktu, dia kembali dibebaskan. Kemudian, Jepang membuat Syu Sangi Kai atau sejenis Dewan Perwakilan Rakyat di Sumatera Tengah. Mohammad Syafei ditunjuk sebagai Ketua, Chatib Soelaiman aktif pula di sana .

Saat Indonesia Merdeka

Ketika Republik Indonesia dinyatakan Merdeka, pada Desember 1945 Chatib Soelaiman bergabung dengan Partai Masyumi. Pada akhir tahun, dia mempersiapkan pula Partai sosialis sebagai reinkarnasi dari Pendidikan Nasional Indonesia. Sekitar tahun 1947, tepatnya pada tanggal 21 Januari 1947, Chatib dan kawan-kawan pergi ke Jawa, menghadiri sidang Komite Nasional Indonesia Pusat yang akan diadakan di Malang. Chatib Soelaiman kembali ke Sumbar pada pertengahan Mei 1947.

Mengenai keterlibatan Chatib Soelaiman dalam peristiwa Situjuah 15 Januari 1949. Sesungguhnya, tidak terlepas dari serangan Belanda ke Koto Tinggi pada tanggal 10 Januari 1949. Serangan tersebut sangat telak dan membuat Koto Tingi sebagai tempat kedudukan Gubernur Militer jadi sedikit darurat. Makanya, setelah pasukan Belanda meninggalkan Koto Tinggi, pemimpin republik di Sumatera Tengah langsung berkumpul kembali. Mereka berniat untuk menggelar rapat penting. Dalam rapat tersebut disepakati sejumput keputusan, termasuk menggelar pertemuan yang lebih lengkap singkat dan penting di daerah Situjuah Batua, tanggal 15 Januari 1949. 

Untuk pertemuan tersebut, Chatib diutus Gubernur Militer Sumbar Sutan Muhamad Rasyid datang ke Situjuah Batua. Maka pada tanggal 12 Januari 1949, Chatib Soelaiman, bersama Dahlan Ibrahim, Mayor A Thalib, berangkat dari Koto Tinggi menuju Koto Kociak, Padang Jopang. Di sana mereka bermalam, dan sudah dinanti oleh Bupati Militer Limapuluh Kota Arisun Sutan Alamsyah. Setelah menginap semalam di rumah Sekwilda Anwar ZA, rombongan ini kemudian berangkat ke Situjuah Batua tanggal 13 Januari 1949, dengan melewati Nagari Batu Hampa. Di Batu Hampa, mereka bertemu dengan pemimpin setempat dan menggelar pertemuan pula. Baru tanggal 14 Januari 1949, sekitar jam 10 malam, Khatib Sulaiman sampai di Situjuah Batua. Dia langsung memimpin rapat dengan sejumlah tokoh penting.

Karena terlalu lelah, selepas rapat Chatib Soelaiman langsung istirahat. Namun takdir berkata lain, ketika ayam jantan mulai berkokok dan halimun pagi baru nampak di ufuk timur, tiba-tiba desingan peluru penjajah mulai menyalak. Lurah Kincia dikepung dari berbagai penjuru mata angin. Para pejuang, ada yang mencoba untuk melawan. Akibatnya, para pejuang gugur satu persatu, termasuk Chatib Soelaiman. Namun sebelum menghadap Sang Khalik, Chatib Soelaiman sempat menulis puisi pada kertas bungkus rokok. Puisi itu diberikan kepada Dahlan Ibrahim. Sebelum menutup tulisan ini, simaklah sepenggal puisnya:  “Kekasihkuhttp://pdri.multiply.com/Siapa kuasa memecah cinta/Tumbuh murni antara kita/Biar aku kejam di asing/Dipaksa suruh beralih kasih/ dan dikau kini jauh/  tiada hilang dimusnahkan orang... (Fajar Rillah Vesky )

Munir Latief, Cincin Cinta Anak Saudagar

Ayahnya seorang saudagar tenun yang terkenal. Pamannya, Wali Kota Padang pertama sejak Indonesia merdeka. Tapi dia tidak pongah, juga tidak suka hura-hura. Paling benci dengan manusia pendendam, selalu hidup sederhana. Ketika menjadi Tentara berpangkat Mayor, fasilitasnya yang cukup justru dimanfaatkan untuk perjuangan bangsa, bukan untuk keluarga! Itulah dia Letnan Kolonel (Anumerta) Munir Latief. Tentara pejuang berdarah Koto Anau Solok dan Silungkang Tanahdatar, yang tewas sebagai Syuhada dalam peristiwa berdarah di Situjuah Batua, Kabupaten Limapuluh Kota, 15 Januari 1949 silam.

Terlahir sekitar tahun 1925 sebagai anak ke 7 dari 14 saudara satu ibu, dan 30 saudara satu ayah di Padang ”Kota Padang Tercinta Kujaga dan Kubela”. Ibunya bernama Hj Siti Dalisah. Kakeknya adalah Tuanku Lareh Silungkang, Dja’ar Sutan Pamuncak. Ayah Munir Latief yang bernama Haji Abdul Latief, pernah menjadi Komisaris sebuah perusahan terkenal milik Belanda, yakni Pabrik Tenun Padang Asli yang memproduksi kain sarung Cap Kopi. Kawan akrab ayahnya sesama Komisaris di perusahan tersebut adalah Haji Turki. Walau agak dekat dengan Belanda, tapi Abdul Latief sangatlah dikagumi rakyat. Apalagi wataknya amatlah dermawan dan suka mewakafkan tanah, termasuk tanah di Simpang Haru dan Pasa Mudiak Padang yang diwakafkan untuk pembangunan masjid. Kelak, sikap derwaman ini juga menurun kepada anaknya Munir Latief.

Pendidikan dan Karier

Kembali pada Letkol (Anumerta) Munir Latief. Dia pernah mengecap pendidikan pada Sekolah Adat dan MULO Padang. Setelah itu melanjutkan ke HBS Jakarta, tapi pendidikannya tidak selesai karena Jepang sudah masuk dan ”menguasai” Indonesia. Lantaran itu, Munir Latief kembali ke Padang sambil memasuki pendidikan calon perwira Gyu Gun angkatan pertama. Menurut pelaku sejarah, saat itu Munir Latief satu angkatan dengan Dahlan Jambek, Ahmad Husen, Ismail Lengah, Dahlan Ibrahim, A Thalib, Sofyan Ibrahim, Syarif Usman, K Datuk Malilik Alam, Nurmatias, dan lainnya. Dalam pendidikan tersebut dia memperoleh pangkat Gyu Syool atau Letnan II.

Setelah Jepang Hengkang, Gyun Gun dibubarkan. Tapi banyak opsirnya tetap aktif dan menyusun kekuatan di Barisan Keamanan Rakyat (BKR) yang tersebar di Sumatera Tengah. BKR ini kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada tanggal 1 Januari 1946 diresmikan TKR Sumatera Barat dan Riau menjadi Divisi III dengan komando Kolonel Dahlan Djambek. Suatu langkah penting yang diambil pada waktu itu adalah mendirikan Sekolah Pendidikan Opsir di Bukittinggi.

Kolonel Ismail Lengah diangkat sebagai Direktur Pendidikan Opsir tersebut. Tetapi kemudian ia dipindahkan ke Komando Sumatera. Kedudukannya sebagai Direktur Pendidikan opsir, digantikan oleh Mayor Munir Latif. Di bawah Pimpinan Munit dilaksanakan pendidikan Angkatan kedua yang diikuti 60 orang Calon Kadet, di antaranya termasuk Jamaris Yunus, Azwar, Anwar Bey, Burhanuddin, Tazwar Akbid, Lukman Madewa dan lainnya. Seusai Pendidikan Opsir angkatan ke-2 ditutup dengan resmi pada tanggal 18 Juni 1947. Mayor Munir Latif akhirnya dipindahkan dan diangkat menjadi Komandan Bataliyon III/Resimen II di Sungai Penuh. Setelah itu, sebagai seorang Tentara ia kembali dimutasi lagi ke Bukittinggi untuk memimpin Pendidikan Divisi IX. Sementara kedudukannya sebagai komandan Bataliyon di Sungai Penuh, digantikan oleh Mayor Sjoeib.

Ode Sebuah Cincin

Meski sudah berpangkat Mayor dan mempunyai cukup fasilitas. Namun Munir Latief tetap sederhana dan menganggap belum waktunya untuk menjalani bahtera rumah tangga. Padahal, keluarganya sudah mendesak, agar Munir Latief segera bekeluarga. Tapi desakan itu selalu ditolak dengan alasan  tugas belum mengizinkan dan perjuangan belum selesai.  Saat Kota Bukittinggi diduduki Belanda, seluruh pejabar militer dan pemerintahan mulai menyingkir ke luar kota. Paman Munir Latief, Mr Abu Bakar juga menyingkir ke Batusangkar. Sejujurnya, Abu Bakar sudah lama betul meminta Munir Latif menikah dengan anaknya Amalaswinta. Namun ide maminang anak mamak itu selalu ditolak Munir Latief. Tapi entah bagaimana kisahnya, ketika permulaan Agresi Belanda ke-2 meledak. Munir Latief justru tidak bisa menolak ide Abu Bakar yang kembali meminta dirinya menikah dengan Amalaswinta. Tiga hari setelah pernikahan yang berlangsung sederhana, dihadiri kerabat dan dan kawan dekat, Munir Latief berangkat ke Kabupaten Limapuluh Kota untuk menemui Gubernur Militer dan Panglima Territorial di Koto Tinggi.

Syahdan menurut cerita, dalam perjalanan tersebut, Munir Latief yang belum sempat berbulan madu, mampir di sebuah warung. Saat itu, dia tahu kalau cincin permata hadiah cinta dari mertuanya saat pernikahan, justru hilang. Akibatnya, Munir Latief kaget bukan kepalang. Dia yakin, cincin itu hilang tidak jauh dari warung tempat ia duduk. Karenanya, meminta seseorang untuk mencari hingga cincin cinta itu ditemukan kembali. Tapi aneh sekali, setelah cincin didapat, Munir Latief justru enggan untuk memakainya kembali. Seperti pernah ditulis wartawan senior Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie, Kamardi Rais justru menyuruh seorang pembantunya untuk mengantarkan kembali cincin itu kepada mertuanya yang berada di Sumaniak, Tanahdatar. Menerima cincin dari pembantu Munier Latirf, mertuanya jadi terkejut sekali. Timbul pertanyaan dalam hati, ”Apa arti dibalik semua ini”?  Adakah ini sebuah firasat aneh?

Di Nagari Andaleh, Munir Latief bertemu dengan Komandan Batalyon Singa Harau Kamaruddin Datuk Machudum, serta Kapten Zainuddin Tembak yang merupakan bekas wakilnya semasa sekolah Pendidikan Opsir ada di Bukittinggi. Pada pertemuan itu, kedua pejuang ini menerima undangan rapat penting yang diadakan di Situjuah Batua, 15 Januari 1949. Karenanya, Munir Latief dan Zainudin Tembak, berangkat dari Andaleh dan sampai di surau milik Mayor Makinudin HS, tanggal 14 Januari 1949. Selesai rapat, Syofyan Ibrahim sempat mengajak Munir Latief untuk tidur di tempat lain. Tapi, dia mengaku terlalu lelah dan ingin tidur di surau saja. Cuma apa hendak dikata, subuh harinya takdir berkata lain. Ia gugur ditembak peluru penjajah, bersama sederet para syuhada. (bersambung)

Syamsul Bahri, Orang Muda yang Menyabung Nyawa

Berpuluh tahun lalu, Proklamator RI Bung Karno pernah mengatakan, ”Berikan kepadaku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan Indonesia”. Pernyataan founding fauther ini jelas memiliki makna, betapa besar peranan anak muda dalam sebuah bangsa. Bahkan, tidak sedikit revolusi di dunia, justru diprakasai oleh orang-orang berusia muda.

Dalam tragedi berdarah mempertahankan merah putih dari gencarnya Agresi Belanda II di Lurah Kincia Situjuah Batua, 15 Januari 1949 lalu, juga ada seorang pejuang berusia muda belia yang gugur di terjang peluru penjajah. Namanya adalah Syamsul Bahri. Pangkat terakhirnya Letnan Dua. Dia lahir di Nagari Ampang Gadang, Kecamatan Guguk, Kabupaten Limapuluh Kota, sekitar tahun 1928. Tahun di mana semangat pemuda Indonesia sedang bergelora sebagai satu bangsa, tanah, pun bahasa!

Masa kecil Syamsul Bahri, sedikit susah dilacak sejarah. Tapi ayahnya diketahui bernama Zainal Abidin Datuk Rajo Ali, seorang pemuka rakyat berjiwa sosial, disegani, dan sering berbuat untuk pembangunan nagari. Semasa tambang emas di Manggani masih jaya, Zainil Abidin Datuk Rajo Ali pernah bekerja sebagai annamer dan leverransir, sekitar tahun 1911 sampai 1930. Sedangkan ibu Syamsul Bahri bernama Zubaidah, perempuan sholehah yang sederhana. Dalam keluarga, Syamsul Bahri diketahui merupakan anak ketiga dari enam bersaudara seayah. Saudaranya yang lain adalah Letnan Damanhhuri ZA, serta Anwar ZA yang merupakan bekas Sekda Limapuluh Kota dan Sekwilda Pasaman. Pendidikan Syamsul Bahri kecil, dimulai dari Sekolah Desa di Padang Japang dan Sekolah Gubernemen di Dangung-dangung. Sayang, kapan tahunnya belum bisa diketahui dengan pasti.

Pernah ke ”Neraka Dalam Rimba”

Semasa Jepang berkuasa di Ranah Minang, Syamsul Bahri Bahri pernah dikirim untuk bekerja paksa ke daerah Logas yang disebut wartawan senior Marthias Duski Pandoe dalam tulisannya di Padang Ekspres, sebagai ”Neraka Dalam Rimba”. Selaku orang yang dipercaya menjadi kepala rombongan ke Logas, Syamsul Bahri ketika itu benar-benar merasakan betapa kejamnya militer Jepang. Betapa pahitnya hidup sebagai bangsa terjajah. Di Logas,  ia melihat korban-korban berjatuhan akibat kelaparan dan kerja paksa. Banyak yang mati karena kerja sangat berat, sedangkan makanan tidak ada. Bahkan, ada di antara pekerja yang tubuhnya tinggal kulit pembungkus tulang, tapi tetap dipaksa mengangkat sekarung semen, memikul balok, dan benda berat lain. Atas kondisi tersebut, hati kecil Syamsul Bahri berontak. Dia tidak mau pasrah begitu saja kepada pemerintah Jepang serta Mandor yang sering menghardik-hardik. Dengan kecerdasan dan sikap, akhirnya dia bisa keluar dari pedihnya penyiksaan ”Neraka Dalam Rimba” bersama rombongan yang ia pimpin.

Masuk Batalyon Singa Harau

Ketika Indonesia mulai menghirup udara kemerdekaan sekitar tahun 1946, Syamsul Bahri masuk menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Payakumbuh. Dia bekerja sebagai staf Keuangan bagian perlengkapan dan Pengangkutan (P&P) Batalyon Singa Harau bersama Junahar, dengan pangkat Sersan Mayor. Semasa itu, Bagian P&P yang terletak di bekas gedung gudang garam kampung Cina Payakumbuh, langsung dipimpin oleh Komandan Batalyon Singa Harau, Mayor Makinudin HS. Menurut cerita Makinudin HS pada anaknya Haji Khairuddin, sekitar bulan Juli 1944, Serma Syamsul Bahri dan Serma Junahar ikut pindah tugas ke bagian Perlengkapan dan Pengangkutan Divisi III Bukitttingi.

Bagian yang memiliki kantor di lantai dua Toko Tokra Jalan Kampung Cina ini juga dipimpin masih Makinudin HS. Sedangkan Bagian Perlengkapan dikepalai oleh Kapten Amiruddin Kr, sementara untuk Bagian Pengangkutan dikepalai oleh Letnan Satu  Kamaluddin ”Tambiluak”, tokoh kontroversi dalam peristiwa Situjuah. Ketika Bukittinggi dibumihanguskan, pada Desember 1948, Syamsul Bahri ikut menyingkir ke Payakumbuh, kemudian terus ke VII Koto Talago. Lalu, pada tanggal 12 Januari 1949, ia ikut berangkat bersama rombongan Dahlan Ibrahim dari Koto Kociak menuju Situjuah Batua. Terakhir, pada tanggal 15 Januari 1949, dia menghadap Sang Khalik. Anak muda itu pergi untuk selamanya. Walau belum berbuat banyak, setidaknya, Syamsul Bahri telah menjadi icon betapa anak muda, juga memiliki peranan saat Republik ini digempur Agresi II Belanda. Hidup anak muda! (Fajar Rillah Vesky)

Kapten Thantowi, Syahidnya Anak Sahabat

Bagi warga Sumatera Barat yang pernah merunut sejarah pendidikan agama Islam, nama Syekh Mustafa Abdullah dan Syekh Abbas Abdullah, tentu tidaklah asing. Dua saudara ini tidak hanya terkenal sebagai ulama yang memiliki banyak jamaah. Tapi juga kesohor karena mendirikan perguruan Darul Funun El-Abbasiyah di Padang Japang. Pada masa keemasannya, Darul Funun El-Abbasiyah tidak hanya memiliki murid dari berbagai pelosok Sumbar, melainkan juga dari berbagai provinsi sekitar, termasuk dari negeri Jiran Malaysia. Perguruan Islam ini juga pernah dikunjungi Proklamator Republik Indonesia Ir Soekarno.

Konon, kabarnya, Syekh Abbas Abdullah dan Mustafa Abdullah, merupakan dua dari sederet orang yang pernah diminta nasehat spritualnya oleh Bung Karno.  Lalu, apa hubungannya dengan Kapten Thantowi, satu dari 69 pejuang yang tewas dalam tragedi peristiwa Situjuah? Nah, Kapten Thantowi yang lahir tahun 1926 di Nagari Aiatabik (sekarang masuk dalam Kecamatan Payakumbuh Timur) dari ibu bernama Dariham, ternyata adalah putra kandung dari Syekh Mustafa Abdullah.

 Di Aiatabik, Kapten Thantowi Mustafa yang namanya sekarang sudah diabadikan sebagai nama sebuah lapangan bola kaki di Payakumbuh, terkenal sebagai pemuda berani, ta’at beragama, suka tantangan, dan sering dijuluki ”Tuanku Nan Pahik”.
 Gelar ”Tuanku Nan Pahik” tentu tidak diberikan sembarangan saja kepada Kapten Thantowi. Sebab menurut HC Israr, bekas anggota DPRD Sumbar yang semasa hidupnya rajin menulis sejarah, sosok ”Tuanku Nan Pahik” adalah sosok seorang ulama yang berani, berpendirian teguh, serta pengikut dari Tuanku Imam Bonjol.  Pernah diceritakan HC Israr kepada penulis, bahwa sekitar tahun 1832, ”Tuanku Nan Pahik” yang setia dengan Tuanku Imam Bonjol, tampil  dalam pertempuran melawan Belanda yang hendak menaklukkan Aiatabik, Bukik Sikumpa dan Halaban.  ”Sayang, takdir berkata lain. Tuanku Nan Pahik gugur dalam pertempuran tersebut, dan dimakamkan di tanah taban dekat lereng Gunung Sago, dalam Kanagarian Sungai Kamuyang (sekarang masuk dalam Kecamatan Luak),” begitu cerita HC Israr menjelang akhir hayatnya.

Kembali pada Kapten Thantawi, karena dia adalah cicit dari Tuanku Nan Pahik yang pemberani, maka diberilah gelar itu kepadanya. Kapten Thantowi sendiri menempuh pendidikan Sekolah di Aiatabik. Lalu dilanjutkan ke Schakel School Payakumbuh. Setamat dari situ, dia masuk ke  sekolah Gubernemen di Dangung-dangung.   Kemudian, Kapten Thantowi meneruskan pendidikan di Ambch School Padangpanjang dan pendidikan Kadet Bukittinggi. Selesai menempuh pendidikan Kadet tahun 1947, dia masuk dalam kesatuan Bataliyon Merapi Padangpanjang dengan pangkat Letnan Muda. Selama di Bataliyon Merapi, Kapten Thantowi pernah ditugaskan di Lubukbasung dan Simpang Tonang. Lalu pada tahun 1948, dia pindah ke Padang Mangateh.

Kiprah Semasa Agresi

Ketika permulaan Agresi Belanda II meletus, Kapten Thantowi ditangkap menja di Komandan Kompi I Bataliyon Merapi dengan pangkat Letnan II. Mengenai kehadirannya dalam rapat malam hari tanggal 14 Januari 1949 di Lurah Kincia Situjuah Batua. Kapten Thantowi saat itu bertindak mendampingi komandan Pertempuran Payakumbuh Selatan, Kapten Kamaruddin Datuak Machudum.   Namun malang , pada subuh hari dia ikut menjadi korban keganasan peluruh penjajah yang membabi-buta di Lurah Kincia. Sebagai prajurit sejati, ia telah berupaya menghadapi serangan Belanda sampai tetes darah penghabisan. Namun sebelum wafat, Kapten Thantowi seperti halnya Munir Latief, juga meninggalkan prilaku ”aneh” yang selalu dikenang keluarga.  Bila Munier Latief mengembalikan cincin permata pemberian mertuanya. Maka, Kapten Thantowi sebagaimana ditulis wartawan senior Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie, pernah tergopoh-gopoh mencari notesnya yang tidak ditemukan dalam. 

Padahal saat itu, Kapten Thantowi baru saja minta izin kepada pamannya Rais Datuk Machudum dan adiknya Mustafa untuk pergi meninggalkan rumah. Tapi baru sampai di Balai Adat Nagari Aiatabik, ia kembali pulang untuk mencari buku.  Akhirnya, kata Kamardi, buku Kapten Thantowi itu baru ditemukan di tebing sumur, tidak jauh dari rumah gadang kaum mereka. Namun buku itu sudah lembab. Beberapa catatan harian yang ditulisnya juga sudah kabur dan mengembang.  Atas peristiwa itu, pamannya yang merupakan ayah kandung Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie memberi wejangan kepada Munir Latief.  ”Lain kali, kalau sudah berangkat, jangan balik lagi, celaka kata orang tua-tua!”  ”Antah iyo, indak ka babaliak (Apa betul, tidak akan kembali?)”jawab Thantowi pelan, seperti orang bercanda.  Ternyata, Thantowi Mustafa memang tak kembali dari Situjuah. Yang pulang ke kampungnya di Aiatabik, cuma nama. (***)

Kamaluddin Tambiluak, Kontroversi Si Sayap Kanan

Ia bertubuh pendek dan gempal. Orang Minang menyebut ukuran tubuh seperti itu dengan istilah ’Sabuku”. Kulitnya agak hitam, tapi larinya kencang bagaikan kilat. Karena itu dia dijuluki ”Tambiluak” atau sejenis serangga berwarna hitam kekuningan yang bisa terbang kencang dan hidup pada pohon kelapa atau aren. Sebelum menjadi serdadu pada Bagian Perlengkapan dan Pengangkutan (P&P) Batalyon Singa Harau pimpinan Mayor Makinuddin HS, Kamaludin Tambiluak bekerja sebagai tukang gunting di pangkas rambut Sutan Kerajaan Barbier, yang terletak di Jalan Gajah Mada Payakumbuh.

Layaknya tukang gunting, Kamaluddin Tambiluak memiliki banyak pelanggan. Salah satu pelanggannya adalah Dokter Anas. Menurut cerita HC Israr (penulis sejarah/mantan Anggota DPRD Sumbar), Dokter Anas adalah bekas Kepala Rumah Sakit Payakumbuh. Dia asli pribumi Indonesia, tapi gaya dan pola pikirnya, sangat kebelanda-belandaan. Dialah intelektual yang pernah mempelopori berdirinya negara ”Minangkabau”. Ketika ide negara ”Minangkabau” ini diusungnya, Dokter Anas mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Belanda. Bahkan, dia dipersiapkan untuk menjadi calon Kepala Negara. Tapi ide negara ”Minangkabau” itu kemudian ”mati dalam kandungan” menyusul dengan tercapainya persetujuaan antara Indonesia-Belanda di Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Selepas persetujuan itu, Dokter Anas langsung memboyong istrinya Jus Anas dan dua anaknya, untuk bertolak ke negeri Kincir Angin Belanda. Di sanalah, sang Dokter yang sempat menjadi Manajer Club Horizon, sebuah kesebelasan dari Payakumbuh ini menikmati masa hidupnya hingga tutup usia.

Kesebelasan Horizon sendiri tercatat sebagai klub tangguh dari Payakumbuh yang tergabung dalam Bond Eleftal (Bond Kesebalasan). Kamaluddin Tambiluak merupakan ”Sayap Kanan” paling kesohor dari Horizon. Kamaluddin Tambiluak sendiri, menurut Haji Kahiruddin (anak Wedana Militer Payakumbuh Selatan Makinudddin HS), asli berasal dari Kota ”Serambi Mekkah” Padangpanjang. Bahkan Haji Khairuddin yakin, kalau Kamaluddin memiliki rumah di belakang Bioskop Karya Padangpanjang.  Sepanjang hidupnya, Kamaluddin Tambiluak tercatat pernah menikah satu kali saja, dengan perempuan bernama Nur Cahaya. Dalam pernikahan dengan Nur Cahaya yang asli Payakumbuh, dia dikaruniai seorang anak. Kelak, anak (lagi-lagi belum diketahui namanya) beserta istri Kamaluddin Tambiluak ikut dihabisi nyawanya. 

Pengkhianat atau Pahlawan? Alih-alih soal rumah tangga Kamaluddin Tambiluak dengan Nur Cahaya. Sekarang, saatnya menulusuri keberadaan mantan Intel tentara Sumatera Tengah itu dalam peristiwa Situjuah. Betulkah dia seorang pengkianat, sebagaimana cerita yang beredar dari mulut ke mulut, bahkan sampai dari sekolah ke sekolah?  Atau jangan-jangan Tambiluak cuma seorang pahlawan bangsa yang menjadi korban hukum revolusi?  Dua pertanyaan itu memang seperti mata uang berlainan. Selalu terjadi silang pendapat hebat dan mungkin tidak pernah berkesudahan untuk dijawab. Satu sisi, banyak pejuang dan saksi sejarah dalam Peristiwa Situjuah yang menyebut Tambiluak benarlah seorang pengkhianat bangsa. Bahkan, sebelum insiden berdarah terjadi di Situjuah Batua tepatnya tanggal 13 Januari 1949, seorang anggota Badan Penerangan bernama Syamsul Bahar yang menerima tugas darurat dari komandannya, dilaporkan bertemu dengan Kamaluddin Tambiluak.

Dalam pertemuan itu Kamaluddin mengajak Syamsul Bahar, agar datang dalam rapat penting tanggal 15 Januari 1949. Karena sudah pernah mengenal Tambiluak semasa ikut Kongres BKPRI di Yogyakarta, pada tanggal 14 Januari 1949, Syamsul Bahar ikut berangkat ke Situjuah dan sampai malam hari sekitar pukul 19.00 WIB. Bersama rombongan, dia langsung masuk ke surau milik Mayor Makinuddin HS. Rupanya, dalam surau itu sudah penuh dengan pejuang yang melepas lelah.  Karena kondisi tersebut, Syamsul Bahar pindah ke sebuah bangunan yang merupakan surau usang. Dia bermaksud istirahat sejenak, menjelang ikut rapat. Tak tahunya di halaman surau yang gelap, ada seorang lelaki bermenung diri.  Awalnya, Syamsul Bahar dan kawan-kawanya, tidak menghiraukan lelaki tersebut. Tapi ketika Syamsul Bahar hendak menjemput barangnya yang masih ketinggalan di Surau Makinuddin, dia mencoba mendekati lelaki yang bermenung diri. Ternyata orangnya adalah Kamaluddin Tambiluak. Merasa kaget dengan prilaku Kamaluddin, Syamsul Bahar lalu menanyakan gerangan apa yang membuat Kamaluddin bermenung diri. Tapi, Kamaluddi hanya menjawab dingin:”Ah, tidak ada apa-apa!”. (bersambung)

Perubahan sikap Kamaluddin yang sangat drastis ketika berada di Lurah Kincia, ternyata tidak hanya dirasakan oleh Syamsul Bahar menjelang rapat di Situjuah. Ketika rapat selesai, Tambiluak juga berpirilaku aneh dan ganji. Waktu itu para pejuang baru saja salam-salaman dan bermaksud hendak istirahat di Surau Makinuddin. 

Ketika para pejuang mulai beristirahat, ada seseorang lelaki yang sangat antusias bercerita tentang kemenengan Belanda dan kekalahan Indonesia. Dia bahkan tertawa terbahak-bahak menceritakan itu. Syamsul Bahar yang sedang ”tidur-tidur ayam” kaget bukan kepalang mendengar cerita tersebut. Entah serius, entah berkelakar, yang jelas seumur-umur menjadi pejuang, baru kali itu Syamsul Bahar mendengar ada pemimpin dan tentara yang dengan gembira memuji musuh bernama Belanda.

Maka, timbullah tanda tanya besar di hati Syamsul Bahar. ”Siapa orang yang bercerita itu? Adakah sebuah keseriusan yang ia ucapkan?” Lalu, Syamsul yang tidur beralaskan tikar usang dan berselimut kain sarung sendiri, mengintip orang tersebut. Di balik remangnya lampu cogok (tradisionil), Syamsul bahar melihat dengan jelas wajah orang itu. Ternyata dia adalah Kamaluddin Tambiluak. Waw, mengagetkan sekali!

Setelah Peristiwa Situjuah terjadi, Tambiluak makin berprilaku aneh. Tanda-tanda keanehan Tambiluak itu terlihat ketika ia mencari-mencari Mayor A Thalib yang sedang terluka parah pada bagian paha karena ditembak oleh Belanda (lebih lengkap tentang ini nanti bisa anda baca dalam buku penulis berjudul ”Tambiluak - Secuil Tentang Peristiwa Situjuah” yang akan dilaunching Februari mendatang).

”Menantang Maut” di Padang Mangateh

Sekarang, tinggalkan dulu cerita tentang perubahan sikap dan keanehan Tambiluak, mari melayangkan pikiran pada sebuah peristiwa sejarah tanggal 23 Januari 1949, yang menjadikan Letnan Satu Kamaluddin Tambiluak sebagai aktor penting sekaligus pemeran ”antagonis”.  Ketika itu terjadi pertemuan di daerah bernama Aia Randah, antara Dahlah Ibrahim, dengan Syofyan Ibrahim, dan sejumlah pula sejumlah pejuang bangsa.

Dalam pertemuan, Dahlan Ibrahim mendengarkan laporan tentang peristiwa Situjuah. Dari semua laporan, diperoleh benang merah, bahwa Letnan Satu Kamaluddin Tambiluak memang telah menjadi pengkhianat. Karenanya, dia harus diadili! Ketika rapat sedang dilangsungkan, Kamaluddin berada di Gaduik. Karenanya, untuk mengorek keterangan Tambiluak, peserta rapat sepakat, kalau dia harus dijeput. Sebagai dalih, dikatakan bahwa rapat akan dilanjutkan ke daerah Padang Mangateh, dan Tambiluak diminta kehadirannya. Rupanya, ide peserta rapat ini termakan pula oleh Tambiluak. Bak seekor buruan, dia tidak tahu kalau sudah masuk dalam perangkap. Kemudian ikut berangkat ke Padang Mangateh sekitar pukul 18.30 malam.

Akhirnya, sesampai di Padang Mangateh, sebagian rombongan yang pura-pura datang untuk rapat, langsung masuk ke dalam sebuah rumah. Sedangkan sebagian lain, berjaga-jaga di luar rumah yang konon kabarnya, merupakan bekas tempat tinggal seorang dokter hewan. Dari dalam rumah, Tambiluak akhirnya mulai diinterogasi. Ditanya ini dan itu. Namun dia justru ”dianggap” menjawab dengan bertele-tele. Tak lama kemudian, Tambiluak dipanggil ke luar rumah oleh seseorang. Belum sampai di luar rumah atau baru tiba di pintu. Seorang bernama Tobing, tiba-tiba tak bisa mehanan emosi. Diserangnya Tambiluak dengan golok. Ditebasnya bagian kepala itu hingga tinggal rambut di golok.

Ajaib sekali. Serangan untuk Tambiluak ternyata tidak tepat sasaran. Mungkin rambutnya terlalu tebal, mungkin juga karena dia pakai topi warna hitam. Tapi beberapa pelor yang ditembakkan, juga melenceng. Sehingga Tambiluak bisa melarikan diri dalam kegelapan malam. Dia melompat tebing, melewati sungai kecil. Orang-orang yang ada di Padang Mangateh, berupaya untuk mengejar. Tapi sia-sia. Tambiluak menghilang tanpa jejak. Mereka yang mencari, terpaksa kembali dengan tangan kosong. Tak lama Tambiluak akhirnya benar-benar menghilang tanpa jejak. Kemudian, beredar informasi, dia tewas dibunuh pasukan Panah Beracun yang merupakan bekas anak buahnya sendiri, di kawasan Padang Tarok.

Tambiluak Juga Pahlawan?

Kini, Kamaluddin Tambiluak memang telah tiada. Stigma pengkhianat, melekat pada tubuhnya. Tapi, di balik kematian Tambiluak, sekarang justru muncul berbagai kontraversi. Bahkan, ada yang berani menyebut Tambiluak juga pahlawan. Adalah Haji Khairuddin Makinuddin, putra mantan Wedana Militer Payakumbuh Selatan, yang menilai Tambiluak tidak bisa disebut sebagai pengkhianat di balik peristiwa Situjuah. 

Sebab menurut Haji Khairuddin, beberapa hari menjelang tanggal 15 Januari 1949, pesawat capung alias helikopter milik Belanda, telah berputar-putar di sekitar Lurah Kincia. Kemungkinan besar, awak pesawat tersebut sedang mengawasi kegiatan yang dilakukan warga dan pejuang. (bersambung)

Selain alasan tersebut, Haji Khairuddin menganalisa, bisa jadi Tambiluak dicap sebagai pengkhianat, karena faktor kecumburuan sosial. Alasannya, secara ekonomi Tambiluak memang lebih mapan dari beberapa pejuang. Sebab sebelum Agresi Belanda Kedua, sosok yang pernah menjadi Wakil Kepala Intelijen Sumatera Tengah ini, pernah dipercaya untuk menukar getah dan candu dengan senjata ke Singapura.

Kamaluddin Tambiluak berangkat menaiki kapal lewat ke Sungai Siak. Namun kemudian, getah dan candu yang dibawah Tambiluak tidak jadi bertukar dengan senjata. Karena dia dicegat oleh kapal patroli Belanda yang ada di Sungai Siak. Bisa candu dan getah yang dibawa Tambiluak, tidak dia setorkan seluruhnya atau dijual. Sehingga dia memiliki sisa barang berharga itu sebagai tambahan hidup. Karenanya, tentu saja akan ada pejuang yang mengalami kecemburuan sosial.

Sebelumnya, sejarahwan UNP Mestika Zed juga pernah menyatakan, bahwa Tambiluak bukanlah pengkhianat. Ditegaskan Mestika Zed, tidak ada data kuat yang menunjukkan, bahwa Tambiluak adalah pengkhianat dalam Peristiwa Situjuh Batua 15 Januari 1949. Karena itu hanya sebatas isu yang kemudian sengaja dibesar-besarkan. Untuk mendukung pendapatnya, Mestika dalam tulisan itu memunculkan argumen dengan teori dan logika. Dia menjelaskan, bahwa ketika pagi-pagi Peristiwa Situjuah terjadi, Tambiluak lari mencari Dahlan Jambek (Pimpinan Militer Sumbar paling disegani saat itu, Red).

Akhirnya, terlepas dari berbagai versi di atas, agaknya memang perlu diambil sebuah benang merah, bahwa revolusi memang kerap memakan anak sendiri. Walau begitu bukan berarti pula, revolusi harus disalahkan. Peristiwa Situjuah adalah peristiwa besar untuk tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apapun romantika dan kisah di belakangnya, janganlah membuat Peristiwa Situjuah jadi bernilai kecil. (Fajar rillah vesky)

   



Sekilas Tokoh Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949 (10), Kapten Zainuddin, Penembak Jitu Berdisiplin

   





Jumat, 25 Januari 2008

   
Dia adalah tipe pejuang berkemauan keras, pantang menyerah, dan sangat menjunjung tinggi disipilin. Baginya, setiap tentara harus bisa berbuat apa saja. Kalau tidak, jangan menjadi abdi negara! Prinsip itulah yang membuat sosok dengan panggilan populer Kapten Zainuddin ”Tembak” ini, jadi disegani pasukannya di Batalyon Singa Harau. Baginya tidak ada kata menyerah sebelum dicoba. Sekali layar terkembang, pantang surut biduk kembali. Sekali senapang dikokang, pantang untuk terbuang, kecuali bersarang di tubuh penjajah. Meski demikian, sebagai manusia ciptaan Tuhan, Zainuddin juga memiliki sedikit sifat yang susah untuk dikendalikan, apalagi kalau bukan pemarah dan tempramen. Buktinya, gelar ”Kapten Tembak” yang dijuluki kepada Zainuddin, tercipta karena dia memang gampang main tembak. Dia tidak senang kalau ada anak buahnya yang tidak berdisplin, apalagi melanggar jati diri prajurit sejati.

Kapten Zainuddin sendiri menurut beberapa keterangan lahir di kawasan Lubuak Bagaluang, Kota Padang, sekitar tahun 1924 dari perempuan yang biasa dipanggil Mak Inen. Sedangkan ayahnya bernama Bachtiar, seorang pejabat pada Kantor Gemente Pemerintah Belanda di Padang. Lalu beberapa tahun terakhir, juga diperoleh informasi kalau Zainnuddin Tembak memiliki seorang putra yang sempat menjadi petinggi TNI, dia adalah almarhum Mayjend Ismed Yuzairi. Sebagai anak seorang Amtenar, Kapten Zainuddin bersekolah di HIS. Setelah itu dia melanjutkan ke MULO. Bagaimana aktivitas Zainuddin selanjutnya, tidak banyak referensi maupun sakasi sejarah tentan hal tersebut. Pada tahun 1943 para pemimpin di Sumbar mendirikan Tentara Rakyat yang dinamai Gyu Gun. Tentara Rakyat ini sama dengan Pembela Tanah Air (PETA) di Pulau Jawa. Pemuda Zainuddin dengan penuh semangat masuk Gyu Gun. Di sana dia menyelesaikan pendidikan dengan memperoleh gelar ”Minerai Sikang” alias Calon Perwira.

Waktu Kemerdekaan

Ketika Republik Indonesia sudah merdeka, Zainuddin bergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dia memperoleh tugas sebagai Wakil Komandan Perlengkapan dan Pengangkutan dengan Pangkat Kapten. Komandannya ketika itu adalah Mayor Sofyan Ibrahim. Kemudian, pada bulan Januari 1946, menurut HC Israr, Divisi III TKR di bawah komando Kolonel Dahlan Jambek, untuk pertama kalinya memanggil dan memberikan kesempatan kepada para pemuda untuk dididik menjadi Calon Opsir.  Sekolah Pendidikan Opsir angkatan pertama ini dipimpin oleh Letkol Ismail Lengah. Pendidikannya berlangsung selama sembilan bulan dan sangat keras. Selesai pendidikan, hanya 84 orang yang dinyatakan lulus sampai selesai. Kemudian, pada bulan Juli 1946 Letkol Ismail Lengah diangkat menjadi Kepala Seksi Persenjataan Markas Umum Komandemen Sumatera. Sebagai pengganti Pimpinan Sekolah Pendidikan Opsir, diangkatlah Mayor Munir Latif. Kemudian untuk wakilnya sekaligus merangkap Kepala Pelatih, ditunjuk Kapten Zainuddin Tembak.

Saat Agresi II Belanda

Ketika Agresi II Belanda ”meledak” di Indonesia, Markas Batalyon III/Singa Harau terpaksa dipindahkan dari Talawi. Kapten Zainuddin yang tergabung dalam Batalyon tersebut, langsung melakukan konsolidasi dengan pasukan, tentu saja bersama Letnan Kolonen Ahmad Husein. Ketika konsolidasi dilangsungkan, Nagari Talawi sudah dipenuhi pula oleh keluarga tentara dan para pengungsi. Sehingga berbagai kesulitan logistik dan kebutuhan pokok sehari-hari mulai terasa. Akibat sulitnya mendapat perbekalan, banyak anggota pasukan yang tidak memegang senjata, disuruh untuk pulang ke kampung masing-masing beserta keluarga mereka. Kebetulan, kebanyakan anggota Bataliyon Singa Harau berasal dari Kabupaten 50 Kota.

Saat disuruh pulang tersebut, beredar pula isu bahwa mereka harus meninggalkan senjata, lalu siap-siap untuk cuti. Mungkin karena merebaknya isu tersebut, Letnan Satu Bainal Datuk Paduko Malano, mengajak kawan-kawannya untuk segera berangkat ke Payakumbuh awal Januari 1949. Dengan keyakinan, mereka tidak akan susah dalam mendapatkan perbekalan di daerah tersebut ataupun di Kabupaten Limapuluh Kota . Kedatangan pasukan Singa Harau yang terdiri dari Letnan Satu Bainal Datuk Paduko Malano CS, disusul pula oleh Opsir Muda Azwar yang merupakan Komandan Kompi Markas, yang tiba di Pakan Raba’a Gaduik pada tanggal  8 Januari 1949. Lalu besok harinya, tiba pula Komandan Bataliyon singa Harau Kapten Zainuddin Tembak. Mereka bermaksud hendak menjemput kembali pasukan pasukan Singa Harau yang pergi tanpa sepengetahuan komandan/Zainuddin mengecam keras tindakan tersebut dan menganggap sebagai sebuat pelanggaran disiplin militer. Karenanya, Zainuddin melaporkan kepada Komandan Sub Territorial Sumatera yang berkedudukan di Koto Tinggi.

Bertemu Dengan Munir Latief

Tidak lama setelah peristiwa di atas, Kapten Zainuddin Tembak bertemu dengan Mayor Munir Latief di nagari Andaleh (sekarang masuk dalam Kecamatan Luak, dulu tercatat sebagai wilayah Kewedanaan Militer Payakumbuh Selatan). Dalam pertemuan tersebut, kedua perwira ini menerima undangan rapat penting di Lurah Kincia Situjuah Batua, pada tanggal 15 Februari 1949. Karenanya, sehari sebelum rapat, Zainuddin Tembak dan Munir Latief sama-sama berangkat. Namun sebelum sampai di Situjuah Batua, mereka bermaksud akan menemui opsir muda Azwar yang sedang berada di Limbukan. Tapi kebetulan Azwar sedang pergi ke Koto Nan Ampek menemui Kapten Nurmatis, dan baru akan kembali esok harinya. Karena batal menemui Azwar Tontong, Kapten Zainuddin dan Mayor Munir Latif meneruskan perjalanan ke Situjuah Batua. Sore harinya, mereka berdua sampai di lokasi rapat. Malam hari langsung ikut berdiskusi. Tapi belum sampai Matahari esok terbit, penjajah Belanda telah duluan memberondongkan senjata. Apalah daya, Zainuddin tembak ikut menjadi syuhada.

http://www.padangekspres.co.id
Sebelumnya: KRONOLOGIS SEJARAH PDRI (19 DESEMBER 1948 – 13 JULI 1949)
Selanjutnya : Dewan Banteng dan PRRI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar