Sabtu, 26 Mei 2012
Jumat, 25 Mei 2012
Rumah Tangah Sawah
Sedjarah Kerajaan Bnajarmasin - http://sejarah.info/2012/05/sejarah-perkembangan-kerajaan-banjarmasin-
Kamis, 24 Mei 2012
Penolakan Konser Lady Gaga Masih Bergulir
JAKARTA, KOMPAS.com -- Penolakan terhadap konser penyanyi Lady Gaga menguat. Sejumlah organisasi massa dan lembaga dakwah Islam se-DKI Jakarta, Kamis (24/5), turut menyatakan menolak konser musik penyanyi asal Amerika Serikat yang akan dilaksanakan di Gelora Bung Karno itu.
Penolakan itu diutarakan seusai rapat ormas dan lembaga dakwah Islam di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya, Kamis sore, oleh Agus Suradika, Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah DKI Jakarta.
Pertemuan itu dihadiri, antara lain wakil dari Mathla’ul Anwar, Persatuan Islam, Muslimat NU, Aisyiyah, dan Muhammadiyah.
Mereka mendesak Gubernur DKI Jakarta dan Kepala Polda Metro Jaya mencegah dan tidak memberi izin untuk penyelenggaraan segala macam pertunjukan yang mengumbar syahwat. Konser penyanyi Lady Gaga yang bernama lengkap Stefani Joanne Angelina Germanotta itu dinilai mengumbar aksi kurang pantas dan porno.
Namun, menurut Agus, apabila konser tetap terjadi, mereka tidak akan mengacau. ”Kami mengawasi dan menyiapkan langkah hukum,” katanya.
Langkah yang diambil, lanjut Agus, misalnya memperkarakan promotor dan panitia jika konser ricuh atau muncul konflik horizontal. Pejabat Polri dan pemerintah yang memberi izin juga akan dipersoalkan. ”Kami akan mendorong partai politik untuk menggunakan peran di DPR memanggil para pejabat,” katanya.
Kemarin siang, di Bundaran Hotel Indonesia, puluhan pemuda Hizbut Tahrir Indonesia menggelar unjuk rasa antikonser Lady Gaga
Rekomendasi
Polda Metro kembali memastikan dapat merekomendasi konser Lady Gaga dengan catatan penyelenggara melengkapi persyaratan administrasi dan konser digelar sesuai norma serta estetika masyarakat Indonesia.
Hingga Kamis siang, kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Komisaris Besar Rikwanto, pihaknya belum menerima dokumen kelengkapan persyaratan administrasi dari penyelenggara.
Persyaratan yang belum dipenuhi oleh penyelenggara, seperti visa dan izin kerja dari Imigrasi, ketenagakerjaan, dan pariwisata.
”Kami dapat informasi dari pihak penyelenggara, mereka sudah mengantongi izin visa kerja bagi artis dan pendukung konser dari Imigrasi,” katanya.
(BRO/RTS)
Sumber :
Kompas Cetak
Tujuh Wartawan Australia Kunjungi Kantor Nasdem
Metrotvnews.com, Jakarta: Tujuh wartawan senior
sejumlah media massa Australia mengunjungi kantor organisasi
kemasyarakatan Nasional Demokrat di Gondangdia, Jakarta Pusat, Jumat
(18/5) siang. Mereka berdiskusi dengan Ketua Umum Surya Paloh mengenai
masalah terkini yang dihadapi bangsa Indonesia.
Saat salah satu wartawan senior menanyakan harapan indonesia usai Pemilu 2014. Surya Paloh mengatakan Indonesia tengah memasuki era demokrasi super liberal. Namun dalam perjalanannya, demokrasi belum memberikan manfaat berarti bagi rakyat.
Menurut Surya Paloh, kondisi terjadi akibat ketidakmampuan pemimpin membangun pemerintahan kuat, ditambah kurangnya kesadaran masyarakat dalam menyeimbangkan hak dan kewajiban sebagai rakyat. Dikatakan pula dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara, pemerintah terlalu banyak mempersoalkan kesalahan masa lalu. Imbasnya, banyak pihak yang merasa tidak aman, termasuk dalam sektor usaha.
Menjawab pertanyaan wartawan terkait angka populasi yang tak terkendali, Surya Paloh menyebut hal itu disebabkan lemahnya pemerintahan. Hal ini menyebabkan banyaknya masyarakat yang tidak peduli dengan sejumlah kebijakan.
"Permasalahannya sekarang adalah peraturan apapun dari pemerintah, baik atau buruk, masyarakat tidak mematuhi peraturan tersebut. Ini adalah fakta yang terjadi sekarang," tegas Surya Paloh.
"Dan yang menyedihkan adalah anak-anak lahir setiap menit dan langsung miskin karena lahir dari orangtua miskin. 85 persen dari orangtua yang melahirkan, ada dalam kemiskinan. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya angka kemiskinan. Hal ini sangat menyedihkan," tambahnya.(Anisha Dasuki/wtr6)
Saat salah satu wartawan senior menanyakan harapan indonesia usai Pemilu 2014. Surya Paloh mengatakan Indonesia tengah memasuki era demokrasi super liberal. Namun dalam perjalanannya, demokrasi belum memberikan manfaat berarti bagi rakyat.
Menurut Surya Paloh, kondisi terjadi akibat ketidakmampuan pemimpin membangun pemerintahan kuat, ditambah kurangnya kesadaran masyarakat dalam menyeimbangkan hak dan kewajiban sebagai rakyat. Dikatakan pula dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara, pemerintah terlalu banyak mempersoalkan kesalahan masa lalu. Imbasnya, banyak pihak yang merasa tidak aman, termasuk dalam sektor usaha.
Menjawab pertanyaan wartawan terkait angka populasi yang tak terkendali, Surya Paloh menyebut hal itu disebabkan lemahnya pemerintahan. Hal ini menyebabkan banyaknya masyarakat yang tidak peduli dengan sejumlah kebijakan.
"Permasalahannya sekarang adalah peraturan apapun dari pemerintah, baik atau buruk, masyarakat tidak mematuhi peraturan tersebut. Ini adalah fakta yang terjadi sekarang," tegas Surya Paloh.
"Dan yang menyedihkan adalah anak-anak lahir setiap menit dan langsung miskin karena lahir dari orangtua miskin. 85 persen dari orangtua yang melahirkan, ada dalam kemiskinan. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya angka kemiskinan. Hal ini sangat menyedihkan," tambahnya.(Anisha Dasuki/wtr6)
Selasa, 22 Mei 2012
Senin, 21 Mei 2012
Sabtu, 19 Mei 2012
Jumat, 18 Mei 2012
Rabu, 16 Mei 2012
Warisan Tan Malaka
Asvi Warman Adam
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
MENGAPA Tan Malaka tidak berhasil membesarkan Partai
Murba? Jawabnya jelas, karena ia ditembak mati di Kediri tiga bulan
setelah mendirikan partai itu. Pilihan hari pembentukan partai itu, 7
November 1948—bertepatan dengan hari revolusi Rusia—tentu tak
sembarangan. Murba muncul setelah Partai Komunis Indonesia tersingkir
pasca-Peristiwa Madiun, September 1948. Karena itu Murba dicitrakan
sebagai partai komunis baru atau semacam pengganti PKI.
Itu pula yang kemudian menyebabkan keduanya bukan
hanya bersaing sebagai organisasi kiri melainkan bermusuhan. Pertikaian
paham mengenai pemberontakan PKI 1926/1927 antara Tan Malaka dan Musso
berdampak panjang. Ketika Musso pulang ke Indonesia pada 1948, program
politiknya memiliki berbagai kesamaan dengan Tan Malaka. Namun, ketika
ditanya wartawan apakah mereka akan bekerja sama, Muso menjawabnya
sinis. Bila ia punya kesempatan, katanya, yang pertama dilakukannya
adalah menggantung Tan Malaka.
Sejak awal sudah terjadi perdebatan apakah Murba akan
dijadikan partai kader atau partai massa. Namun yang jelas partai ini
lahir dalam kancah revolusi karena dikembangkan sambil bergerilya. Ada
Chaerul Saleh di Jawa Barat dengan Barisan Bambu Runcing. Sukarni dan
kawan-kawan yang menyebar dari Yogya ke Jawa Tengah, dan Tan Malaka
sendiri di Jawa Timur yang bergabung dengan batalion yang dipimpin Mayor
Sabarudin. Ketiga upaya itu akhirnya gagal. Chaerul Saleh ditangkap,
lalu diperintahkan Presiden Soekarno untuk studi ke Jerman. Dan sebelum
gerakan kelompok Tan Malaka terkristalisasi, terjadilah agresi militer
II Desember pada 1948.
Setelah Tan Malaka tewas, Murba masih memiliki banyak
tokoh seperti Iwa Kusumasumantri, Chaerul Saleh, Adam Malik, Sukarni,
Prijono. Walaupun terdiri dari pemuda yang bersemangat, dalam organisasi
mereka kurang andal. Kisah dan nama besar Tan Malaka dijadikan legenda,
tetapi pemikirannya tidak dijabarkan dalam bentuk aksi. Mesin
(pengkaderan) partai di berbagai sektor tidak jalan. Partai tidak
memiliki penerbitan serius, kecuali Pembela Proklamasi yang terbit 20
edisi. Upaya mendekatkan Murba dengan PKI seperti dirintis Ibnu Parna
dari Acoma (Angkatan Communis Muda) ditolak elite PKI. M.H. Lukman
menulis ”Tan Malaka Pengkhianat Marxisme-Leninisme” (Bintang Merah, 15
November 1950).
Pemilu 1955 adalah pengalaman pahit sekaligus
kehancuran partai (yang kemudian tidak pernah bangkit lagi). Murba hanya
beroleh 2 dari 257 kursi yang diperebutkan. Dalam pemilu selanjutnya
partai ini bahkan tak berhasil masuk parlemen.
Demokrasi terpimpin memberikan peluang bagi Murba.
Soekarno menjadikannya penyeimbang posisi PKI. Kongres Murba kelima,
Desember 1959, dihadiri Presiden. Chaerul Saleh dan Prijono masuk
kabinet, Adam Malik dan Sukarni menjadi Duta Besar di Moskow dan
Beijing. Puncaknya, Tan Malaka diangkat menjadi pahlawan nasional pada
1963.
Pertentangan antara Murba dan PKI menajam. Ketika PKI
semakin kuat, Murba bekerja sama dengan militer dan pihak lain menjegal
dengan membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Namun BPS
dibubarkan Bung Karno. Sukarni dan Syamsudin Chan ditahan pada awal
1965. Murba dibekukan dan kemudian dibubarkan pada September 1965 karena
dituduh menerima uang US$ 100 juta dari CIA untuk menggulingkan
Presiden. Pada 17 Oktober 1966 Soekarno merehabilitasi partai Murba
melalui Keputusan Presiden Nomor 223 Tahun 1966.
Pada awal Orde Baru, Adam Malik menjadi Menteri Luar
Negeri dan kemudian Wakil Presiden. Namun posisinya ini tidak
berpengaruh bagi Partai Murba.
Dalam pemilu pertama era Orde Baru, Juli 1971—dua
bulan setelah wafatnya Sukarni, tokoh partai ini—Murba beroleh 49 ribu
suara (0,09 persen pemilih). Tetapi kegagalan utama Murba disebabkan
oleh stigma rezim Orde Baru terhadap seluruh golongan kiri. Orde Baru
menabukan sosok Tan Malaka. Gelar pahlawannya tak pernah dicabut, tetapi
namanya dihilangkan dari buku pelajaran sejarah di sekolah. Dalam
pemilu selanjutnya Murba berfusi dengan Partai Demokrasi Indonesia.
Setelah Soeharto jatuh, Murba, yang menyebut dirinya ”Musyawarah Rakyat
Banyak” itu, ikut pemilu pada 1999. Sayang, mereka hanya mendapat 62
ribu suara (0,06 persen pemilih).
l l l
Tan Malaka membentuk jaringan revolusioner yang hebat
dalam perjuangannya, tetapi bukan partai yang awet. Ia merantau 30
tahun, dari Pandan Gadang (Suliki), Bukittinggi, Batavia, Semarang,
Yogya, Bandung, Kediri, Surabaya, Amsterdam, Berlin, Moskow, Amoy,
Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hong Kong, Singapura,
Rangoon, sampai Penang.
Meskipun sempat memimpin Partai Komunis Hindia
Belanda pada 1921, Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI pada
1926/1927. Ia sama sekali tidak terlibat dalam peristiwa Madiun 1948.
Murba dalam berbagai hal bertentangan dengan PKI.
Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia
(Pari) di Bangkok pada 1 Juni 1927. Walaupun bukan partai massa,
organisasi ini hidup selama sepuluh tahun pada saat partai-partai
nasionalis di Tanah Air lahir dan mati. Pari dianggap berbahaya oleh
intel Belanda, dan para aktivisnya diburu. Kemudian tibalah saatnya Tan
Malaka berselisih jalan dengan Komunis Internasional (Komintern). Bagi
Komintern, Pan-Islamisme sebuah bentuk imperialisme, padahal gerakan ini
menentang imperialisme, kata Tan Malaka.
Setelah melanglang buana dua dekade,
pascakemerdekaan, perjuangan Tan Malaka mengalami pasang naik dan
pasang-surut. Ia memperoleh testamen Bung Karno untuk menggantikan bila
yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugas. Namun sejak 1946 Tan
Malaka menentang diplomasi yang merugikan Indonesia. Sebagai pemimpin
Persatuan Perjuangan yang terdiri dari 142 organisasi sosial politik, ia
menuntut agar perundingan baru dilakukan bila Belanda mengakui
kemerdekaan Indonesia 100 persen. Posisi ini membuat Tan Malaka
berhadapan diametral dengan Perdana Menteri Sjahrir sehingga di kalangan
sosialis pun narasi tentang Tan Malaka bernada negatif (lihat Kilas
Balik Revolusi, karya A.B. Lubis, 1992).
Bila Tan Malaka dikategorikan sebagai penganut
Trotsky, apakah Persatuan Perjuangan itu merupakan front bersatu untuk
revolusi permanen? Tampaknya tidak. Motivasi organisasi-organisasi itu
hanyalah menolak dominasi Partai Sosialis dalam kabinet. Setelah
tawar-menawar kekuasaan gagal, Persatuan Perjuangan menjadi raksasa
berkaki tanah liat. Tan Malaka ditangkap pada Maret 1946 dan tetap
ditahan sampai September 1948. Ironis, ia dipenjarakan di dalam negeri
dua setengah tahun—lebih lama daripada waktu ditahan pihak Belanda,
Inggris, Amerika, dalam pergerakan selama puluhan tahun pada era
kolonial. Dalam situasi krusial, Tan Malaka tidak bisa mempengaruhi
jalannya revolusi. Pengikutnya juga banyak yang ditahan, terutama
setelah peristiwa 3 Juli 1946.
Soekarno mengakuinya sebagai seorang guru, dalam hal
pengetahuan revolusioner dan pengalaman. Entah kebetulan atau kurang
beruntung, Tan Malaka yang sudah berjuang puluhan tahun di mancanegara
tidak punya peran sama sekali saat proklamasi. Posisi terhormat itu
ditempati Soekarno-Hatta. Meski Harry Poeze punya dokumentasi yang
menunjukkan bahwa Tan Malaka berada di belakang gerakan pemuda, seraya
memobilisasi massa mengikuti rapat akbar di Ikada pada 19 September
1945. Ada beberapa foto yang membuktikan kehadiran Tan Malaka di
lapangan Ikada, Jakarta. Di dalam foto Tan tampak berjalan seiring
dengan Bung Karno (tinggi mereka berbeda, Soekarno 172 sentimeter
sedangkan Tan Malaka 165 sentimeter).
Soekarno memanifestasikan kekagumannya pada Tan
Malaka dalam sebuah Testamen Politik yang isinya kemudian diperlemah
oleh Hatta. Tetapi Tan Malaka tetap bergerak di bawah tanah dan ragu
untuk tampil secara terbuka. Mungkin ini disebabkan pengalaman
pribadinya yang lebih dari dua puluh tahun dikejar-kejar dan (hidup)
dalam ilegalitas. Seperti dikatakan orang-orang dekatnya, Tan Malaka
sulit kembali sebagai orang ”normal”. Tan Malaka baru muncul ke
permukaan pada Januari 1946, ketika melihat diplomasi pemerintah sangat
merugikan Indonesia.
Gagasan Tan Malaka tetap relevan untuk menjawab
ancaman dan tantangan zaman masa kini. ”Dari dalam kubur suara saya
terdengar lebih keras daripada di atas bumi,” kata Tan Malaka ketika
akan ditangkap polisi Hong Kong pada 1932. Tan Malaka tidak mewariskan
partai, tetapi ia meninggalkan pemikiran brilian yang dapat diserap
partai mana saja di Tanah Air.
Selasa, 15 Mei 2012
Batombe Budaya Khas Masyarkat Nagari Abai
Doeloe, batombe menjadi penyemangat orang-orang yang sedang bekerja mengambil kayu di hutan untuk membuat rumah gadang. Kini, tradisi budaya ini tetap dilestarikan untuk acara pesta perkawinan, pengangkatan datuak, dan upacara adat lain, termasuk sebagai sajian khusus untuk rombongan wisatawan yang berkunjung ke Nagari Abai. Jauh sebelum masa penjajahan Belanda, Nagari Abai masih begitu sunyi. Wilayahnya diselimuti hutan belantara berikut satwa liar yang hidup bebas di dalamnya. Penduduknya masih sedikit, hanya terdiri dari beberapa keluarga yang hidup rukun, tenang, dan bersahaja. Suatu hari, pemuka adat, agama, dan tokoh masyarakat Abai berkumpul. Mereka membicarakan sesuatu `proyek' besar, yakni membuat rumah gadang (besar) pertama di Nagari Abai. Maksud dan tujuan pembuatan rumah gadang tersebut untuk menjaga keselamatan warga dari binatang buns, rumah tinggal, sekaligus tempat pertemuan, dan pusat seni dan budaya masyarakat Abai. Maklum meskipun hidup di pelosok, jauh dari keramaian, masyarakat Abai memiliki cara menghibur sendiri untuk mengusir sepi. Dalam pertemuan itu, mereka akhirnya mufakat untuk membuat rumah gadang. Bahan bakunya diambil dari hutan yang ada di sekeliling tempat tinggal mereka. Pagi itu, Nagari Abai tidak seperti biasanya. Di tepi hutan, masyarakat berkumpul. Ada orang tua, muda-mudi, dan anak-anak. Semua nampak sibuk dengan tugas masing-masing. Kaum pria dewasa membawa alat-alat untuk menebang kayu. Mereka menuju hutan untuk menebang pohon besar secara bergotong royong. Sebagian lagi membersihkan batang pohon untuk dijadikan tiang. Batang pohon lainnya dipotong-potong menjadi balok, papan, dan sebagainya. Sementara kaum ibu menyiapkan makanan dan minuman ala kadarnya. Tak terasa matahari sudah di atas kepala. Mereka pun beristirahat sejenak sambil menikmati makan siang bersama. Ketika itulah beberapa muda-mudi termasuk orangtua berpantun irama seperti sedang melantunkan lagu. Pantun yang mereka bawakan berisi kata-kata semangat. Kemudian mereka menari bersama. Tarian mereka energik. Pantunan dan tarian yang mereka bawakan itu kemudian dikenal dengan batombe. Mereka sengaja menampilkan batombe agar kaum pria yang sedang bekerja membuat rumah gadang kembali bersemangat mengambil kayu di hutan. Saat mengambil kayu di hutan, ada kejadian aneh. Sebatang kayu usai ditebang tidak bisa ditarik untuk dijadikan tiang rumah gadang. Kemudian warga Abai menyembelih seekor kerbau. Akhirnya kayu tersebut bisa ditarik oleh beberapa warga Abai dengan menggunakan tali panjang. Sejak kejadian itu, dalam penyelenggaraan batombe selalu menyembelih kerbau atau sapi minimal seekor kambing. Kalau tidak dikenai denda adat. Dengan kata lain berhutang. Setelah beberapa hari bekerja keras secara gotong royong, akhirnya rumah gadang yang diimpikan rampung. Masyarakat Abai pun bergembira dan bangga bisa menyelesaikan rumah gadang pertama di nagarinya. Itulah makna sejati, awal kesenian batombe di Nagari Abai, yakni menyemangati orang-orang yang mengambil kayu di hutan untuk membangun rumah gadang pertama di Abai. Dewasa ini, rumah gadang tersebut menjadi rumah gadang terpanjang di Sumatera Barat yang dikenal dengan sebutan Rumah Gadang 21 Ruang. Kini batombe mengalami perubahan makna. Maklum semenjak tahun 60-an, sudah tidak ada lagi pembangunan rumah gadang di daerah ini. Kendati begitu tradisi batombe tetap dilestarikan, namun dipakai untuk hiburan pada pesta perkawinan dan upacara-upacara adat lain yang dalam penyelenggaraannya minimal membantai seekor jawi (sapi). Dan kini batombe pun menjadi suguhan khas kesenian lokal untuk para wisatawan yang berkunjung ke Nagari Abai. Ajang Cari Jodoh Menurut buku profil Budaya dan Pariwisata Kabupaten Solok Selatan, hasil kerjasama Bapedda Solsel dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisi Padang, batombe adalah salah satu bentuk kesustraan Minangkabau yang dimiliki oleh masyarakat Abai. Batombe ini adalah sejenis pantun yang berfungsi sebagai sebuah ungkapan rasa dan perasaan hati yang memiliki makna yang sangat mendalam bagi masyarakat Abai. Dengan kata lain batombe merupakan seni berbalas pantun antara pria dan perempuan yang kemudian menjadi budaya Minangkabau yang sakral. banyak keunikan di dalam batombe, salah satunya adanya kesempatan seorang pemain batombe untuk mendapatkan jodoh dengan cara membalas pantun secara spontan. Seperti sore itu, ketika beberapa orang Jakarta berkunjung ke Nagari Abai. Batombe pun disajikan di dalam Rumah Gadang 21 Ruang yang masih berdiri kokoh. beberapa warga nampak berkumpul di depan rumah gadang yang berada di tepi jalan utama. Tak berselang lama, warga yang datang semakin banyak. Mereka berdatangan setelah mendengar ajakan tokoh masyarakat lewat pengeras suara untuk berkumpul di rumah gadang tersebut. Di ruang dalam Rumah Gadang 21 Ruang, juga sudah ada beberapa warga Abai, baik orang tua maupun anak-anak. Beberapa orang terlihat sibuk mempersiapkan alat pengeras suara yang akan dipergunakan untuk para pelantun batombe. Di ruangan khusus yang digunakan untuk pertunjukan batombe dihias sedemikian rupa. dinding dan plafonnya dilapisi kain bermotif kotak, segitiga, dan garis berwarna merah, kuning, hijau, putih, biru dan hitam. Bagian atapnya dihiasi potongan-potongan kain yang menjuntai ke bawah dengan warna-warni cerah. Begitu pun pintu masuknya diberi hiasan kain berbentuk pintu melengkung aneka corak dan warna meriah. Sedangkan sebuah tiang kayu yang ada di tengah ruangan itu, dibiarkan telanjang apa adanya. Di dalam ruangan yang diberi lampu penerang listrik itu, juga sudah berkumpul para pemain batombe dan warga Abai. Mereka duduk bersila dengan tenang di atas lantai beralas tikar berwana cerah pula. Para pemain batombe mengenakan pakaian khusus, sepintas mirip pakaian pemain pencak silat. Bedanya, pakaian berlengan panjangnya diberi motif sulaman benang emas di bagian leher dan lengan. Warna pakaiannya pun bermacam-macam, ada merah, hijau dan hitam yang dilengkapi ikat kepala berwarna kuning keemasan serta sehelai kain yang diikatkan dipingang. Sedangkan celana panjangnya dirancang komprang atau lebih besar pada bagian pahanya, seperti sarung. Tak lama kemudian tokoh masyarakat setempat memberi sambutan sebagai pengantar sekaligus ucapan selamat datang kepada para tamu. Lalu para pemain batombe saling berpantun irama dengan menggunakan bahasa daerah setempat. Isinya tentang kisah nasihat orangtua kepada anak, pergaulan, percintaan, dan sebagainya. Pantun ini dilakukan secara bergantian. pertama dilakukan olek pria kemudian disusul wanitanya. Sayangnya dalam pertunjukan ini tidak ada sinopsis yang menceritakan tentang isi pantun tersebut. Alhasil, tamu dari Jakarta yang tidak mengerti bahasa setempat kesulitan menangkap isi pantun. Usai berpantun, kemudian para pemain batombe keluar dari ruangan, diikuti warga dan tamu yang hadir. Di luar Rumah Gadang 21 Ruang, hari sudah gelap. Lampu listrik yang ada di ruangan dalam pun dipindahkan ke luar sebagai penerang, begitu juga alat pengeras suaranya yang kemudian ditempatkan di alas meja kayu. Beberapa warga Abai sudah sedari tadi berkumpul. Mereka begitu antusias menyaksikan sajian batombe selanjutnya. Maklum mereka jarang mendapat hiburan, wajar kalau setiap ada penyelenggaraan batombe selalu ramai disaksikan warga Abai. Seperti malam itu, mereka ada yang duduk dan berdiri di pintu masuk, di tepian, dan luar pagar rumah gadang. Beberapa orang lagi menyaksikan batombe dari dalam rumah gadang lewat jendela yang bertirai kawat hitam. Tak lama kemudian, sembilan pria dan tiga orang perempuan pemain batombe membentuk lingkaran. Satu orang pria lagi berada di tengah lingkaran sebagai penyanyi. Kemudian mereka melakukan gerakan berputar dan kemudan berbalik namun tetap dalam bentuk lingkaran sambil bernyanyi. Gerakan penari lelaki sesekali memukul bagian celananya yang komprang dengan kedua tangan seolah bertepuk tangan sehingga menimbulkan suara khas, bugh-bugh-bugh. Semakin lama gerakan mereka semakin cepat dan dinamis. Warga yang menyaksikan batombe semakin hanyut. Beberapa bocah laki-laki dan perempuan turut bernyanyi dan mengikuti gerakan pemain batombe. Bukti bahwa mereka ikut terhibur dengan sajian batombe. Dan kelak, bisa jadi bocah-bocah itu menjadi pemain batombe selanjutnya. Secara keseluruhan batombe memang menarik dijadikan suguhan bagi rombongan wisatawan yang berkunjung di Nagari Abai. Namun yang perlu diperhatikan, durasi berpantun dan menarinya jangan terlalu panjang agar tidak membosankan penonton. Selain itu, sebaiknya dalam pementasan batombe disertai dengan penterjemah dan sinopsis berbahasa Indonesia maupun Inggris yang menjelaskan mengenai sejarah batombe dan isi pantunnya yang dibagikan kepada wisatawan. Lebih baik lagi kala sinopsisnya itu dibuat beberapa versi bahasa asing lain sesuai dengan asal negara wisatawan yang datang secara individu maupun rombongan. Tips Perjalanan Untuk melihat kesenian batombe ini kita bisa berkunjung ke Rumah Gadang 21 Ruang yang berada Nagari Abai, Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat. Dahulu untuk menuju daerah ini masih banyak mengalami kesulitan lantaran jalannya belum beraspal. Kini, kondisi jalannya sudah baik dan bisa dilalui oleh kendaraan beroda empat maupun beroda dua. Kalau Anda berangkat dari Jakarta, ambil pesawat tujuan Padang. Dari Bandara Internasional Minagkabau (BIM), Kota Padang, Anda bisa mencarter mobil travel ke Padang Aro, Ibukota Kabupaten Solok Selatan. Selanjutnya ke Nagari Abai sekitar 30 Km dari Padang Aro. |
Sumber: Majalah Travel Club |
Ungkapan Minangkabau/Mamangan
1.- Ka lauik riak ma hampeh, ka karang rancam ma aruih, ka pantai ombak ma mamacah.
Jiko ma ngauik kameh-kameh, jiko mancancang putuih-putuih, Alah salasai mangkonyo sudah.
2.- Tukang nan indak mambuang kayu,Nan luruih ka tangkai sapu, Nan bengkok ka singka bajak,
nan ketek ka pasak suntiang,sa tangkok ka papan tuai ( ka ani-ani).
3.- Alah bakarih samparono, bingkisan rajo Majopaik,Tuah ba sabab ba karano,
pandai ba tenggang di nan rumik.
4.- Dek sakato mangkonyo ado, dek sakutu mangkonyo maju,dek ameh sagalo kameh,
dek padi mangko jadi.
5.- Jiko mangaji dari alif, Jiko naiak dari janjang, Jikok turun dari tango, Jiko babilang dari aso,
6.-“bulek aie dek pambuluah bulek kato ka mupakaik.”
7.- “kok gadang indak malendo, kok cadiek indak manjua,
tibo di kaba baik bahimbauan, tibo di kaba buruak bahambauan.
8.- Manyuruah babuek baik, Malarang babuek jahek,
Mahirik mambantang, manunjuak ma-ajari.
Managua manyapo, Tadorong mahelo, talompek manyentak,
9.- Ingek sabalun kanai, kulimek sabalun abih,
Agak-agak nan ka pai, ingek-ingek nan ka tingga,
Patah tumbuah hilang ba ganti
10.- Handak kayo badikik-dikik, Handak mulie tapek i janji,
Handak tuah ba tabue urai, Handak namo tinggakan jaso,
Handak luruih rantangkan tali, Handak pandai rajin baraja,
Handak bulieh kuek mancari,
11.- Kato nan banyak dari bawah, banyak indak buliah dibuang, saketek indak buliah disimpan.
12.- Kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mufakek, mufakek barajo ka nan bana, bana badiri sandirinya, manuruik alua jo patuik.
Senin, 14 Mei 2012
Pergantian Pesawat Masih Misteri
Selasa, 15 May 2012 02:44
JATUHNYA SUKHOI SUPERJET 100
JAKARTA, HALUAN — Seperti diberitakan harian Moskovskiy Komsomolets
yang terbit di Rusia, Sukhoi Superjet 100 yang mengalami kecelakaan di
Gunung Salak sebenarnya, Rabu (9/5) lalu tidak dijadwalkan melakukan
demo terbang di Indonesia. Yang seharusnya melakukan demo itu adalah
pesawat yang sama seperti yang terbang di Kazakhstan dan Pakistan.
Pesawat Sukhoi Superjet 100 yang demo terbang di
Kazakhstan dan Pakistan memiliki nomor registrasi 97005, sementara yang
mengalami kecelakaan di Gunung Salak punya nomor 97004. Sampai sekarang,
alasan pergantian pesawat ini masih misteri.
“Kenapa digantikan, saya tak bisa mengatakan. Tapi, jika
tak diizinkan melanjutkan demo terbang, maka seharusnya ada
penyebabnya,” ujar seorang sumber seperti dikutip Moskovskiy Komsomolets.
Sebelumnya muncul asumsi bahwa Superjet yang mengalami
kecelakaan di Gunung Salak adalah pesawat yang sama seperti yang terbang
di Kazakhstan dan Pakistan dalam bagian pertama tur promosinya.
Kecelakaan itu menewaskan sedikitnya 45 orang, termasuk delapan warga
Rusia.
Juru bicara Sukhoi Civil Aircraft, Olga Kayukova,
mengakui hal tersebut. Menurutnya, Sukhoi Superjet 100 itu bukanlah
pesawat yang sama seperti yang menjalani tur promo pertama di Kazakhstan
dan Pakistan.
Kayukova menyatakan pesawat model pertama sudah kembali ke Moskow setelah menjalani demo terbang di Kazakhstan.
“Untuk menjalani tes,” katanya tanpa memberikan penjelasan lebih panjang soal penyebabnya, Senin (14/5) di Jakarta.
Tapi, dia menambahkan bahwa pesawat kedua itu berada dalam kondisi teknik yang sempurna sebelum terbang.
Boleh Manuver
Sementara itu, Sukhoi Superjet 100 yang menabrak tebing di Gunung Salak mengantongi izin demo flight
di Indonesia. Dengan izin itu, pilot pesawat boleh melakukan
manuver-manuver dalam penerbangan tersebut. Demikian diungkapkan oleh
Sunaryo dari PT Trimarga sebagai agen Sukhoi di Indonesia, Senin di
Jakarta.
“Di dalam surat perizinan dari pihak Rusia mengatakan adanya starting demo dan flight demo,” ujar Sunaryo di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Karena izin yang dikantongi itu flight demo, Sukhoi meminta PT Trimarga mengundang pihak aviation di Indonesia untuk turut dalam penerbangan itu. Setiap penumpang pun diasuransikan sebesar US$50 ribu.
“Pengertian dari pihak Rusia dan kita, flight demo bukan seperti yang kita ketahui bersama, sekadar terbang. Kalau flight demo kita berikan momen-momen dan manuver-manuver. Sehingga mereka mengundang pihak aviation menggunakan SSJ 100,” jelasnya.
Namun, Sunaryo mengaku tak tahu apakah pilot Aleksander
Yablontsev melakukan manuver sebelum pesawat buatan Rusia itu menabrak
tebing. Soal itu, kata dia, hanya pilot dan menara kontrol penerbangan
bandara yang tahu.
“Pihak pilot dengan ATC mesti ada kontaknya, itu KNKT yang bisa buka semuanya,” ujar dia.
Yang disesalkan Sunaryo adalah mengapa manifes penumpang Sukhoi naas itu terbawa rekannya yang ikut terbang dalam joy flight kedua tersebut.
“Karena seharusnya manifes itu orang ground yang bawa. Itu yang saya ketahui,” tutur dia.
PT Trimarga Rekatama sendiri enggan berspekulasi
mengenai dugaan pilot pesawat Sukhoi Superjet 100, Alexander Yablontsev,
melakukan manuver sebelum akhirnya menabrak tebing Gunung Salak.
Sunaryo menjelaskan, komunikasi antara pemandu lalu
lintas udara atau Air Traffic Control (ATC) dengan pilot Alexander
Yablontsev sudah berjalan. Karena izin yang disampaikan ke Kementerian
perhubungan dalam level area yang telah diketahui dalam flight plan kepada ATC.
Sudah Diperiksa
Sebanyak 22 kantong jenazah korban kecelakaan pesawat
Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak, yang dibawa tim evakuasi sudah
diperiksa di Rumah Sakit Polri Said Sukanto Kramat Jati, Jakarta.
“Sampai dengan tadi malam tim Disaster Victim
Identification (DVI) Polri telah melakukan pemeriksaan terhadap 22
kantong jenazah. Ternyata dari 22 kantong tersebut berisi 18 berisi body parts dan empat properti,” kata Kepala Rumah Sakit Polri Said Sukanto, Brigjen Pol Agus Prayitno di Jakarta, Senin.
Pada Senin kemarin ada tiga kantong jenazah kembali tiba
di Rumah Sakit Polri yang dievakuasi dari Gunung Salak dan tiba di
bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta sekitar pukul 08.05 WIB.
“Kemudian tadi pagi (Senin kemarin) datang lagi tiga kantong jenazah yang saat ini sedang dilakukan pemeriksaan post mortem,” kata Agus.
Agus menambahkan bahwa sejak semalam tim DVI telah
melakukan evaluasi dan pengolahan data yang telah dilakukan dari
pemeriksaan post mortem untuk hari pertama dan hari kedua.
“Data-data dari pemeriksaan post mortem inilah yang akan
direkonsiliasi dari data antemortem untuk menentukan identifikasi dari
pada korban tersebut,” katanya.
Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokes) Polri telah
mulai bekerja sejak pengambilan sampel DNA terhadap keluarga korban.
Saat ini laboratorium DNA sudah mulai mencocokan dengan potongan jasad
korban yang diperoleh.
“Kita berharap semua ini tidak berlangsung lama kita
akan berkerja secara maksimal, yang jelas, setiap kali ada kantong
jenazah datang langsung dikerjakan,” kata Agus.
Kritik Tayangan Televisi
Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat
banyak menerima keluhan dari masyarakat terkait tayangan televisi
tentang penayangan evakuasi korban kecelakaan Pesawat Sukhoi Superjet
100 di Gunung Salak.
“Kami banyak menerima aspirasi dari masyarakat melalui
Facebook, SMS dan email yang mengeluhkan tayangan evakuasi korban
pesawat Sukhoi,” kata Komisioner KPID Jawa Barat Bidang Isi Siaran
Nursyawal, di Kota Bandung, Senin.
Nursyawal menuturkan, dalam keluhan yang masuk ke KPID
Jabar masyarakat menilai tayangan tentang evakuasi korban tersebut di
televisi tidak etis.
“Seperti tayangan yang mengambilkan gambar jenazah korban. Masyarakat menilai itu tidak perlu diperlihatkan,” kata dia.
Pihaknya mengatakan, tayangan seperti itu dinilai akan makin membuat pihak keluarga korban akan semakin sedih.
Frekuensi Lama
Sementara itu, pakar telematika Roy Suryo mengatakan
sistem komunikasi yang digunakan pesawat Sukhoi Superjet 100 yang jatuh
di kawasan Gunung Salak Kabupaten Bogor menggunakan frekuensi lama.
Pasalnya, di dunia penerbangan sistem komunikasi sudah
menggunakan peralatan yang memiliki frekuensi 406. Sedangkan alat
komunikasi yang ditemukan berfrekuensi 105.
Kotak komunikasi ini ditemukan tim Basarnas yang berada
di titik bangkai pesawat. Semula kotak ini disebut-sebut sebagai kotak
hitam.
“Sistem komunikasi dengan frekuensi 105 saat ini hanya
digunakan oleh peralatan sekolah penerbangan. Aneh juga kalau pesawat
secanggih sukhoi menggunakan sistem komunikasi ini,” jelas Roy Suryo.
Roy juga mengatakan kemungkinan karena menggunakan frekuensi 105
inilah, pesawat tidak terdeteksi oleh satelit di Singapura. “Jadi sangat
mungkin pesawat kehilangan kontak. Indonesia ini sudah menggunakan
frekuensi 406, jadi sekalipun di pegunungan tetap bisa terpantau,” ujar
Roy. (h/naz/berbagai sumber)Kamis, 10 Mei 2012
Sekilas Tentang Tokoh Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949
Arisun Sutan Alamsyah, Sosok Sejati
Peristiwa Situjuah Batua 15 Januari 1949 adalah mata rantai Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumbar, yang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari sejarah Indonesia. Dalam peristiwa ini puluhan pejuang dan rakyat badarai tewas di tangan Belanda, sehingga menjadi tragedi buruk sepanjang PDRI berdiri. Untuk mengenang para pejuang dan tokoh penting Peristiwa Situjuah, wartawan Padang Ekspres Fajar Rillah Vesky yang sedang menggarap buku tentang Peristiwa Situjuah, menuliskan sekilas sosok mereka buat anda. Selamat membaca!
Air cucuran atap jatuhnya ke genangan juga. Pepatah itu cocok betul untuk mengambarkan sosok Arisun Sutan Alamsyah, mantan Bupati militer Kabupaten Limapuluh Kota, yang dipanggil sang pencipta ketika tragedi berdarah 15 Januari 1949 meletus di Lurah Kincia, Situjuah Batua (sekarang masuk dalam Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumbar). Mengapa tidak? Jauh sebelum menjadi Bupati dan pemimpin rakyat, Arisun telah tumbuh di lingkungan orang-orang besar pun terpandang. Ayahnya adalah Tamin Datuk Bandaro Sati, mantan Kepala Negeri Banuhampu Agam. Pamannya Mr Assa’at, Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sekaligus mantan Pj Presiden Republik Indonesia . Menurut (Alm) HC Israr, seorang penulis sejarah di Sumbar, Arisun Sutan Alamsyah lahir tahun 1915 di Nagari Kubang Putiah, Kabupaten Agam dari ibu bernama Harikam. Dalam keluarganya yang bersuku Piliang, Arisun merupakan anak keempat dari lima bersaudara.
Layaknya banyak pemimpin di negeri ini, Arisun Sutan Alamsyah juga sempat mengecap berbagai jenjang pendidikan. Dia pernah bersekolah di-Hollands Inlands School (HIS), dan Mee Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Bukittingi. Setamat dari Mulo, dia melanjutkan pendidikan ke Algeene Middelbare Scholl (AMS) di Jakarta. Setamat dari AMS, Arisun mendapat tawaran bekerja dari Belanda. Tapi dia bukanlah orang yang haus akan jabatan, karena jauh di balik sanubarinya, terpatri rasa tidak ingin menjadi robot-robot penjajah Belanda! Makanya, Arisun Sutan Alamsyah langsung bertekad untuk terus dan terus menggali ilmu pengetahuan, dengan berencana melanjutkan pendidikan ke Filipina. Namun tragis, sebelum kapal cita-citanya sampai di pulau harapan, Arisun Sutan Alamsyah yang sedang minta izin pulang kampung, mengalami cedera hebat di kaki, karena bermain bola melawan klub REMZ Sawahlunto.
Sejak mengalami cedera panjang, dia terpaksa membatalkan niat untuk berangkat ke negeri Corazon Aquiono (Filipina), dan memilih jalan hidup baru sebagai seorang guru. Pertama-tama, dia mengajar di Perguruan Jirek Bukittingi. Kemudian pindah ke perguruan Training College Payakumbuh. Selain menjadi guru, Arisun Sutan Alamsyah juga aktif kembali dalam perjuangan bangsa. Buktinya, bersama Dokter Anas (orang Indonesia yang agak bergaya Belanda) serta Sudiro, dia membentuk Badan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan atau Geneskunding Transport Colone (GTC) atau sebuah organisasi yang tugasnya mirip dengan Palang Merah Indonesia (PMI). Kemudian, pada zaman pemerintahan Jepang, Arisun aktif pula dalam Hokokai (Badan Kebaktian Rakyat) Kabupaten 50 Kota yang dipimpin Haji Darwis Datuk Tumanggung. Lalu, saat di Payakumbuh muncul Gyu Gun, Arisun St Alamsyah juga turut aktif dalam Gyu Gun ‘Ko En Bu’ Kabupaten 50 Kota .
Menikah dan Jadi Bupati
Pada tahun 1946, Arisun mengakhiri masa lajangnya dengan menyunting gadis manis dari Ladang Laweh Banuhampu Agam, bernama Ros Sa’adah. Kelak, dia dan Ros Sa’adah dikarunai Tuhan seorang putri yang bernama Yulida. Sayang, putri semata wayang itu umurnya tidak panjang, menyusul dengan terjadinya kecelakaan pada pesawat Merpati yang ditumpangi Yulida di sekitar Pulau Katang pada tahun 1969. Masih pada tahun 1946, Arisun mendapat amanah sebagai Wedana pertama di Kewedanaan Suliki, dalam masa kemerdekaan. Wedana Kecamatan Suliki membawahi dua kecamatan, yaitu kecamatan Suliki dengan camatnya DP. Sati, dan Kecamatan Guguk dengan Camatnya Saadudin Syarbani. Setelah terjadi Agresi Belanda, disusul dengan terbentuknya PDRI dan Pemerintahan Militer di Sumbar pada tahun 1948. Arisun Sutan Alamsyah akhirnya diangkat menjadi Bupati Militer Kabupaten 50 Kota. Bersamanya, diangkat pula Anwar ZA menjadi Sekretaris Daerah Kabupaten 50 Kota.
Tapi menjadi Bupati semasa Agresi Belanda ini tentulah tidak menyenangkan. Bila para Bupati hari ini masih bisa memikirkan rakyat sambil duduk di ruangan atau mobil yang memiliki air conditioner (AC). Arisun Sutan Alamsyah, justru memimpin di tengah desingan peluru dan bom musuh. Bahkan, pada tanggal 10 Januari 1949, ketika Belanda melancarkan operasi ke Suliki dan Koto Tinggi. Akibatnya, Arisun Sutan Alamsyah terpaksa mengajak pejuang dan masyarakat, untuk mengosongkan kawasan Suliki lalu kembali bergerilya. Bukan hanya itu, istri dan anaknya terpaksa pula diungsikan ke rumah Anwar ZA di Koto Kociak, Padang Jopang. Masih akibat serangan pada tanggal 10 Januari tersebut, Gubernur Militer Mr Sutan Muhammad Rasyid, langsung membuat agenda rapat di Situjuh Batua. Sebelum berangkat ke Situjuah Batua, Arisun Sutan Alamsyah bersama Komandan Teritorial Sumatera Barat Dahlan Ibrahim, Ketua MPRD Khatib Sulaiman, Mayor Thalib, Arisun Sutan Alamsyah dan sejumlah tokoh lain, berkumpul dulu di Koto Kociak.
Dari sanalah mereka berangkat ke Situjuah, dengan melalui kawasan Batu Hampa yang merupakan kampung asal ayah Proklamator RI Bung Hatta. Setiba di Situjuah tanggal 14 Januari 1949, mereka langsung menggelar rapat di surau Mayor Makinudin HS yang merupakan ayah kandung Haji Khairuddin. Rapat tersebut berlangsung sampai sampai jauh malam. Karena terlalu lelah, selepas rapat, Arisun Sutan Alamsyah langsung istirahat. Namun takdir berkata lain, ketika ayam jantan mulai berkokok dan halimun pagi baru nampak di ufuk timur, tiba-tiba desingan peluru penjajah mulai menyalak. Lurah Kincia dikepung dari berbagai penjuru mata angin. Para pejuang, ada yang mencoba untuk melawan. Tapi kekuatan tidak seimbang. Bayonet di tangan, tentulah tak bisa menandingi peluru yang muncrat dari moncong senapan. Akibatnya, para pejuang gugur satu-persatu. Arisun Sutan Alamsyah, termasuk satu dari banyak syuhada itu. (***)
Chatib Soelaiman, Kesempurnaan Seorang Pahlawan
Dia tidak hanya seorang pemimpin di medan perang. Tapi juga pemikir dengan bejibun teori. Dia bukan sekedar seniman dan penulis hebat. Tapi juga tokoh yang taat beragama dan tahu adat. Dia tidak cuma kekasih yang romantis, tapi juga kawan yang setia!
Bila ada alasan, kenapa Sumatera Barat harus dikenang sepanjang massa, barangkali nama besarnya adalah salah satu jawaban. Itulah dia Chatib Soelaiman. Mantan Ketua MPRD Sumbar yang gugur dalam Peristiwa Situjuh 1 Januari 1949 ini, memang seorang pahlawan sempurna. Ulama legendaris ranah Minang Haji Abdul Malik Karim Amarullah alias Buya Hamka, dalam kenangannya dengan gamblang mengatakan, perjuangan di Sumbar tidaklah dapat memisahkan nama Chatib Soelaiman, baik di zaman Belanda ataupun pendudukan Jepang, apalagi di zaman sesudah proklamasi.
Chatib Soelaiman menurut sejarah terlahir di Sumpur tahun 1906, sebagai anak kelima dari 8 bersaudara, ibunya bernama Siti Rahma, sedangkan ayahnya adalah Haji Soelaiman. Usia 6 tahun (1912), dia bersekolah di Gouvernement Benteng (Sekolah Dasar) Padang. Kemudian berniat memasuki MULO. Tapi untuk memasuki MULO, anak didik haruslah tamatan HIS, semacam sekolah dasar yang menjadikan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
Karena untuk masuk HIS, murid-murid harus dilihat status sosial orangtuanya, dan kedudukan dalam stetsel pemerintah Belanda, atau ketaatan kepada pemerintah Belanda, misalnya dalam membayar pajak, Chatib Soelaiman tidak bisa memasuki HIS milik pemerintah. Untung, ada kawan ayahnya yang berbaik hati, sehingga Chatib bisa masuk HIS Adabiyah, sebuah perguruan swasta yang setingkat dengan HIS Pemerintah.
Setamat dari HIS pada tahun 1919, Chatib Soelaiman baru bercita-cita untuk meneruskan ke MULO. Sayang beribu kali sayang, usaha ayahnya ternyata pailit atau mengalami gulung tikar. Bagaimana mungkin bisa sekolah, jika biaya tidaklah ada. Tapi Chatib tidak menyerah. Berkat bantuan Inyiak Basa Bandaro, lagi-lagi soerang kawan ayahnya yang merupakan tokoh pergerakan dan saudagar di Pasa Gadang, Chatib akhirnya bisa masuk MULO. Cuma sayang, jenjang pendidikan ini tidak selesai ditamatkan oleh Chatib Soelaiman, karena dia justru lebih menekuni dunia seni. Ya, Chatib mulai-mulai ‘tergila-gila’ menggesek Biola.
Jiwa Seniman dan Tentang Pernikahan
‘Kegilaan’ Chatib akan biola, telah berhasil membuatnya menjadi seorang Violis atau penggesek biola terkenal di Kota Padang. Bahkan, dia juga sering untuk mengiringi film-film bioskop yang saat itu masih disebut film bisu alias tanpa suara. Chatib Soelaiman yang terbiasa menikmati kesulitan hidup, mengakhiri masa lajangnya pada tahun 1938. Dia “dinikahkan” dengan gadis sekampung bernama Zubaidah. Dalam pernikahan gaya Siti Nurbaya ini, Chatib Soelaiman memang kurang harmonis. Mungkin karena istrinya Zubaidah berasal dari keluarga berada. Sehingga faktor materi termasuk dalam kalkulasi hidup.
Setelah menikah dengan Zubaidah, Chatib Soelaiman kembali menjalani bahtera rumah tangga dengan menikahi gadis manis dari Bukik Surungan, Padangpanjang bernama Syafiah Emma. Syafiah adalah guru berpendidikan yang menghayati keresahan Chatib. Malang, cinta mereka tidak bertahan lama, karena Syafiah meninggal dunia dalam usia muda dengan dua orang anak. Selang beberapa waktu kemudian, Chatib menikah lagi dengan adik Syafiah Emma bernama Junidar. Junidar adalah seorang bidan. Dengan istrinya ini Chatib Suleman memperoleh tiga orang anak. Dengan demikian, sepanjang hidupnya, Chatib tercatat menjalani tiga kali pernikahan.
Mulai Menjadi Guru
Kisah heroik Chatib Soelaiman sendiri, diawali dengan keaktifan dirinya dalam pergerakan bangsa di Padangpanjang. Dia pernah memimpin HIS Muhammadiyah dan mengajar pada Madratsah Isyadinnas (MIN) Padangpanjang, sekitar tahun 1930. Lalu, pada tanggal 11 Nopember 1932, dia menjadi pengurus PNI Cabang Padangpanjang. Cuma sayang, pada tahun 1934 pemerintah Belanda mengeluarkan larangan mengadakan rapat dan berkumpul (vergader-verbod). Dengan larangan itu otomatis dunia pergerakan mengalami pukulan hebat.
Namun peristiwa itu tidak membuat Chatib berkecil hati. Dia memindahkan gerakannya ke wilayah ekonomi. Bersama Leon Salim, ia menerbitkan Majalah Sinar. Dalam terbitan setebal 32 halaman, Chatib dan Leon membuat karangan untuk saudagar muda dan pelajar-pelajar. Karangan itu terutama menyangkut masalah ekonomi. Setelah itu, Chatib pindah ke Bukittinggi. Bersama dengan teman-temannya Anwar St Saidi, Mr Nasrun dan Marzuki Yatim, Mr Moh Yamin dibangunlah persatuan dagang Bumi Putera. Kecuali di Bumi Putera, ia bersama teman-temannya mendirikan pula sebuah Bank yang dinamakan Bank Nasional. Di zaman penjajahan Belanda sulit ditemui bank-bank swasta. Oleh karena itu mendirikan Bank Nasional harus diakui sebagai suatu keberanian.
Menjelang Belanda Hengkang
Ketika Belanda mulai berakhir dan adanya undang-undang S.O.B yang memunculkan kesadaran politik rakyat. Chatib muncul lagi. Ia merencanakan demonstrasi di Padangpanjang tanggal 12 Maret 1942. Dalam demonstrasi itu pemerintah Belanda dituntut agar menyerahkan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia, atau bukan kepada Jepang. Kecuali itu, Belanda diminta tidak membumihanguskan kekayaaan alam Indonesia .
Waktu demonstrasi, direncanakan akan dikibarkan Merah Putih. Tapi upaya ini dicium Belanda. Akibatnya, pagi Subuh tanggal 12 Maret 1942, Chatib Soelaiman ditangkap dan dibuang ke Kotacane, Aceh. Tanggal 25 Maret 1942, tentara Belanda telah meninggalkan Kotacane. Chatib Soelaiman beserta pejuang bisa menghirup udara bebas. Sementara rakyat, mulai mencari keberadaan mereka. Lalu pada tanggal 31 Maret 1942, Chatib kembali di tengah rakyat Sumbar. (Fajar Rillah Vesky)
Ketika Jepang berkuasa di Indonesia. Chatib Soelaiman membentuk ”Pemuda Nippon Raya”. Sepintas lalu, organisasi ini Pro-Jepang. Tapi ditilik lebih jauh, organisasi ini bertujuan untuk menyelamatkan pergerakan dari Jepang. Awalnya, Jepang suka dengan kehadiran Pemuda Nippon Raya. Tapi kemudian Jepang membubarkan. Chatib Soelaiman ditangkap lagi. Selang beberapa waktu, dia kembali dibebaskan. Kemudian, Jepang membuat Syu Sangi Kai atau sejenis Dewan Perwakilan Rakyat di Sumatera Tengah. Mohammad Syafei ditunjuk sebagai Ketua, Chatib Soelaiman aktif pula di sana .
Saat Indonesia Merdeka
Ketika Republik Indonesia dinyatakan Merdeka, pada Desember 1945 Chatib Soelaiman bergabung dengan Partai Masyumi. Pada akhir tahun, dia mempersiapkan pula Partai sosialis sebagai reinkarnasi dari Pendidikan Nasional Indonesia. Sekitar tahun 1947, tepatnya pada tanggal 21 Januari 1947, Chatib dan kawan-kawan pergi ke Jawa, menghadiri sidang Komite Nasional Indonesia Pusat yang akan diadakan di Malang. Chatib Soelaiman kembali ke Sumbar pada pertengahan Mei 1947.
Mengenai keterlibatan Chatib Soelaiman dalam peristiwa Situjuah 15 Januari 1949. Sesungguhnya, tidak terlepas dari serangan Belanda ke Koto Tinggi pada tanggal 10 Januari 1949. Serangan tersebut sangat telak dan membuat Koto Tingi sebagai tempat kedudukan Gubernur Militer jadi sedikit darurat. Makanya, setelah pasukan Belanda meninggalkan Koto Tinggi, pemimpin republik di Sumatera Tengah langsung berkumpul kembali. Mereka berniat untuk menggelar rapat penting. Dalam rapat tersebut disepakati sejumput keputusan, termasuk menggelar pertemuan yang lebih lengkap singkat dan penting di daerah Situjuah Batua, tanggal 15 Januari 1949.
Untuk pertemuan tersebut, Chatib diutus Gubernur Militer Sumbar Sutan Muhamad Rasyid datang ke Situjuah Batua. Maka pada tanggal 12 Januari 1949, Chatib Soelaiman, bersama Dahlan Ibrahim, Mayor A Thalib, berangkat dari Koto Tinggi menuju Koto Kociak, Padang Jopang. Di sana mereka bermalam, dan sudah dinanti oleh Bupati Militer Limapuluh Kota Arisun Sutan Alamsyah. Setelah menginap semalam di rumah Sekwilda Anwar ZA, rombongan ini kemudian berangkat ke Situjuah Batua tanggal 13 Januari 1949, dengan melewati Nagari Batu Hampa. Di Batu Hampa, mereka bertemu dengan pemimpin setempat dan menggelar pertemuan pula. Baru tanggal 14 Januari 1949, sekitar jam 10 malam, Khatib Sulaiman sampai di Situjuah Batua. Dia langsung memimpin rapat dengan sejumlah tokoh penting.
Karena terlalu lelah, selepas rapat Chatib Soelaiman langsung istirahat. Namun takdir berkata lain, ketika ayam jantan mulai berkokok dan halimun pagi baru nampak di ufuk timur, tiba-tiba desingan peluru penjajah mulai menyalak. Lurah Kincia dikepung dari berbagai penjuru mata angin. Para pejuang, ada yang mencoba untuk melawan. Akibatnya, para pejuang gugur satu persatu, termasuk Chatib Soelaiman. Namun sebelum menghadap Sang Khalik, Chatib Soelaiman sempat menulis puisi pada kertas bungkus rokok. Puisi itu diberikan kepada Dahlan Ibrahim. Sebelum menutup tulisan ini, simaklah sepenggal puisnya: “Kekasihkuhttp://pdri.multiply.com/Siapa kuasa memecah cinta/Tumbuh murni antara kita/Biar aku kejam di asing/Dipaksa suruh beralih kasih/ dan dikau kini jauh/ tiada hilang dimusnahkan orang... (Fajar Rillah Vesky )
Munir Latief, Cincin Cinta Anak Saudagar
Ayahnya seorang saudagar tenun yang terkenal. Pamannya, Wali Kota Padang pertama sejak Indonesia merdeka. Tapi dia tidak pongah, juga tidak suka hura-hura. Paling benci dengan manusia pendendam, selalu hidup sederhana. Ketika menjadi Tentara berpangkat Mayor, fasilitasnya yang cukup justru dimanfaatkan untuk perjuangan bangsa, bukan untuk keluarga! Itulah dia Letnan Kolonel (Anumerta) Munir Latief. Tentara pejuang berdarah Koto Anau Solok dan Silungkang Tanahdatar, yang tewas sebagai Syuhada dalam peristiwa berdarah di Situjuah Batua, Kabupaten Limapuluh Kota, 15 Januari 1949 silam.
Terlahir sekitar tahun 1925 sebagai anak ke 7 dari 14 saudara satu ibu, dan 30 saudara satu ayah di Padang ”Kota Padang Tercinta Kujaga dan Kubela”. Ibunya bernama Hj Siti Dalisah. Kakeknya adalah Tuanku Lareh Silungkang, Dja’ar Sutan Pamuncak. Ayah Munir Latief yang bernama Haji Abdul Latief, pernah menjadi Komisaris sebuah perusahan terkenal milik Belanda, yakni Pabrik Tenun Padang Asli yang memproduksi kain sarung Cap Kopi. Kawan akrab ayahnya sesama Komisaris di perusahan tersebut adalah Haji Turki. Walau agak dekat dengan Belanda, tapi Abdul Latief sangatlah dikagumi rakyat. Apalagi wataknya amatlah dermawan dan suka mewakafkan tanah, termasuk tanah di Simpang Haru dan Pasa Mudiak Padang yang diwakafkan untuk pembangunan masjid. Kelak, sikap derwaman ini juga menurun kepada anaknya Munir Latief.
Pendidikan dan Karier
Kembali pada Letkol (Anumerta) Munir Latief. Dia pernah mengecap pendidikan pada Sekolah Adat dan MULO Padang. Setelah itu melanjutkan ke HBS Jakarta, tapi pendidikannya tidak selesai karena Jepang sudah masuk dan ”menguasai” Indonesia. Lantaran itu, Munir Latief kembali ke Padang sambil memasuki pendidikan calon perwira Gyu Gun angkatan pertama. Menurut pelaku sejarah, saat itu Munir Latief satu angkatan dengan Dahlan Jambek, Ahmad Husen, Ismail Lengah, Dahlan Ibrahim, A Thalib, Sofyan Ibrahim, Syarif Usman, K Datuk Malilik Alam, Nurmatias, dan lainnya. Dalam pendidikan tersebut dia memperoleh pangkat Gyu Syool atau Letnan II.
Setelah Jepang Hengkang, Gyun Gun dibubarkan. Tapi banyak opsirnya tetap aktif dan menyusun kekuatan di Barisan Keamanan Rakyat (BKR) yang tersebar di Sumatera Tengah. BKR ini kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada tanggal 1 Januari 1946 diresmikan TKR Sumatera Barat dan Riau menjadi Divisi III dengan komando Kolonel Dahlan Djambek. Suatu langkah penting yang diambil pada waktu itu adalah mendirikan Sekolah Pendidikan Opsir di Bukittinggi.
Kolonel Ismail Lengah diangkat sebagai Direktur Pendidikan Opsir tersebut. Tetapi kemudian ia dipindahkan ke Komando Sumatera. Kedudukannya sebagai Direktur Pendidikan opsir, digantikan oleh Mayor Munir Latif. Di bawah Pimpinan Munit dilaksanakan pendidikan Angkatan kedua yang diikuti 60 orang Calon Kadet, di antaranya termasuk Jamaris Yunus, Azwar, Anwar Bey, Burhanuddin, Tazwar Akbid, Lukman Madewa dan lainnya. Seusai Pendidikan Opsir angkatan ke-2 ditutup dengan resmi pada tanggal 18 Juni 1947. Mayor Munir Latif akhirnya dipindahkan dan diangkat menjadi Komandan Bataliyon III/Resimen II di Sungai Penuh. Setelah itu, sebagai seorang Tentara ia kembali dimutasi lagi ke Bukittinggi untuk memimpin Pendidikan Divisi IX. Sementara kedudukannya sebagai komandan Bataliyon di Sungai Penuh, digantikan oleh Mayor Sjoeib.
Ode Sebuah Cincin
Meski sudah berpangkat Mayor dan mempunyai cukup fasilitas. Namun Munir Latief tetap sederhana dan menganggap belum waktunya untuk menjalani bahtera rumah tangga. Padahal, keluarganya sudah mendesak, agar Munir Latief segera bekeluarga. Tapi desakan itu selalu ditolak dengan alasan tugas belum mengizinkan dan perjuangan belum selesai. Saat Kota Bukittinggi diduduki Belanda, seluruh pejabar militer dan pemerintahan mulai menyingkir ke luar kota. Paman Munir Latief, Mr Abu Bakar juga menyingkir ke Batusangkar. Sejujurnya, Abu Bakar sudah lama betul meminta Munir Latif menikah dengan anaknya Amalaswinta. Namun ide maminang anak mamak itu selalu ditolak Munir Latief. Tapi entah bagaimana kisahnya, ketika permulaan Agresi Belanda ke-2 meledak. Munir Latief justru tidak bisa menolak ide Abu Bakar yang kembali meminta dirinya menikah dengan Amalaswinta. Tiga hari setelah pernikahan yang berlangsung sederhana, dihadiri kerabat dan dan kawan dekat, Munir Latief berangkat ke Kabupaten Limapuluh Kota untuk menemui Gubernur Militer dan Panglima Territorial di Koto Tinggi.
Syahdan menurut cerita, dalam perjalanan tersebut, Munir Latief yang belum sempat berbulan madu, mampir di sebuah warung. Saat itu, dia tahu kalau cincin permata hadiah cinta dari mertuanya saat pernikahan, justru hilang. Akibatnya, Munir Latief kaget bukan kepalang. Dia yakin, cincin itu hilang tidak jauh dari warung tempat ia duduk. Karenanya, meminta seseorang untuk mencari hingga cincin cinta itu ditemukan kembali. Tapi aneh sekali, setelah cincin didapat, Munir Latief justru enggan untuk memakainya kembali. Seperti pernah ditulis wartawan senior Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie, Kamardi Rais justru menyuruh seorang pembantunya untuk mengantarkan kembali cincin itu kepada mertuanya yang berada di Sumaniak, Tanahdatar. Menerima cincin dari pembantu Munier Latirf, mertuanya jadi terkejut sekali. Timbul pertanyaan dalam hati, ”Apa arti dibalik semua ini”? Adakah ini sebuah firasat aneh?
Di Nagari Andaleh, Munir Latief bertemu dengan Komandan Batalyon Singa Harau Kamaruddin Datuk Machudum, serta Kapten Zainuddin Tembak yang merupakan bekas wakilnya semasa sekolah Pendidikan Opsir ada di Bukittinggi. Pada pertemuan itu, kedua pejuang ini menerima undangan rapat penting yang diadakan di Situjuah Batua, 15 Januari 1949. Karenanya, Munir Latief dan Zainudin Tembak, berangkat dari Andaleh dan sampai di surau milik Mayor Makinudin HS, tanggal 14 Januari 1949. Selesai rapat, Syofyan Ibrahim sempat mengajak Munir Latief untuk tidur di tempat lain. Tapi, dia mengaku terlalu lelah dan ingin tidur di surau saja. Cuma apa hendak dikata, subuh harinya takdir berkata lain. Ia gugur ditembak peluru penjajah, bersama sederet para syuhada. (bersambung)
Syamsul Bahri, Orang Muda yang Menyabung Nyawa
Berpuluh tahun lalu, Proklamator RI Bung Karno pernah mengatakan, ”Berikan kepadaku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan Indonesia”. Pernyataan founding fauther ini jelas memiliki makna, betapa besar peranan anak muda dalam sebuah bangsa. Bahkan, tidak sedikit revolusi di dunia, justru diprakasai oleh orang-orang berusia muda.
Dalam tragedi berdarah mempertahankan merah putih dari gencarnya Agresi Belanda II di Lurah Kincia Situjuah Batua, 15 Januari 1949 lalu, juga ada seorang pejuang berusia muda belia yang gugur di terjang peluru penjajah. Namanya adalah Syamsul Bahri. Pangkat terakhirnya Letnan Dua. Dia lahir di Nagari Ampang Gadang, Kecamatan Guguk, Kabupaten Limapuluh Kota, sekitar tahun 1928. Tahun di mana semangat pemuda Indonesia sedang bergelora sebagai satu bangsa, tanah, pun bahasa!
Masa kecil Syamsul Bahri, sedikit susah dilacak sejarah. Tapi ayahnya diketahui bernama Zainal Abidin Datuk Rajo Ali, seorang pemuka rakyat berjiwa sosial, disegani, dan sering berbuat untuk pembangunan nagari. Semasa tambang emas di Manggani masih jaya, Zainil Abidin Datuk Rajo Ali pernah bekerja sebagai annamer dan leverransir, sekitar tahun 1911 sampai 1930. Sedangkan ibu Syamsul Bahri bernama Zubaidah, perempuan sholehah yang sederhana. Dalam keluarga, Syamsul Bahri diketahui merupakan anak ketiga dari enam bersaudara seayah. Saudaranya yang lain adalah Letnan Damanhhuri ZA, serta Anwar ZA yang merupakan bekas Sekda Limapuluh Kota dan Sekwilda Pasaman. Pendidikan Syamsul Bahri kecil, dimulai dari Sekolah Desa di Padang Japang dan Sekolah Gubernemen di Dangung-dangung. Sayang, kapan tahunnya belum bisa diketahui dengan pasti.
Pernah ke ”Neraka Dalam Rimba”
Semasa Jepang berkuasa di Ranah Minang, Syamsul Bahri Bahri pernah dikirim untuk bekerja paksa ke daerah Logas yang disebut wartawan senior Marthias Duski Pandoe dalam tulisannya di Padang Ekspres, sebagai ”Neraka Dalam Rimba”. Selaku orang yang dipercaya menjadi kepala rombongan ke Logas, Syamsul Bahri ketika itu benar-benar merasakan betapa kejamnya militer Jepang. Betapa pahitnya hidup sebagai bangsa terjajah. Di Logas, ia melihat korban-korban berjatuhan akibat kelaparan dan kerja paksa. Banyak yang mati karena kerja sangat berat, sedangkan makanan tidak ada. Bahkan, ada di antara pekerja yang tubuhnya tinggal kulit pembungkus tulang, tapi tetap dipaksa mengangkat sekarung semen, memikul balok, dan benda berat lain. Atas kondisi tersebut, hati kecil Syamsul Bahri berontak. Dia tidak mau pasrah begitu saja kepada pemerintah Jepang serta Mandor yang sering menghardik-hardik. Dengan kecerdasan dan sikap, akhirnya dia bisa keluar dari pedihnya penyiksaan ”Neraka Dalam Rimba” bersama rombongan yang ia pimpin.
Masuk Batalyon Singa Harau
Ketika Indonesia mulai menghirup udara kemerdekaan sekitar tahun 1946, Syamsul Bahri masuk menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Payakumbuh. Dia bekerja sebagai staf Keuangan bagian perlengkapan dan Pengangkutan (P&P) Batalyon Singa Harau bersama Junahar, dengan pangkat Sersan Mayor. Semasa itu, Bagian P&P yang terletak di bekas gedung gudang garam kampung Cina Payakumbuh, langsung dipimpin oleh Komandan Batalyon Singa Harau, Mayor Makinudin HS. Menurut cerita Makinudin HS pada anaknya Haji Khairuddin, sekitar bulan Juli 1944, Serma Syamsul Bahri dan Serma Junahar ikut pindah tugas ke bagian Perlengkapan dan Pengangkutan Divisi III Bukitttingi.
Bagian yang memiliki kantor di lantai dua Toko Tokra Jalan Kampung Cina ini juga dipimpin masih Makinudin HS. Sedangkan Bagian Perlengkapan dikepalai oleh Kapten Amiruddin Kr, sementara untuk Bagian Pengangkutan dikepalai oleh Letnan Satu Kamaluddin ”Tambiluak”, tokoh kontroversi dalam peristiwa Situjuah. Ketika Bukittinggi dibumihanguskan, pada Desember 1948, Syamsul Bahri ikut menyingkir ke Payakumbuh, kemudian terus ke VII Koto Talago. Lalu, pada tanggal 12 Januari 1949, ia ikut berangkat bersama rombongan Dahlan Ibrahim dari Koto Kociak menuju Situjuah Batua. Terakhir, pada tanggal 15 Januari 1949, dia menghadap Sang Khalik. Anak muda itu pergi untuk selamanya. Walau belum berbuat banyak, setidaknya, Syamsul Bahri telah menjadi icon betapa anak muda, juga memiliki peranan saat Republik ini digempur Agresi II Belanda. Hidup anak muda! (Fajar Rillah Vesky)
Kapten Thantowi, Syahidnya Anak Sahabat
Bagi warga Sumatera Barat yang pernah merunut sejarah pendidikan agama Islam, nama Syekh Mustafa Abdullah dan Syekh Abbas Abdullah, tentu tidaklah asing. Dua saudara ini tidak hanya terkenal sebagai ulama yang memiliki banyak jamaah. Tapi juga kesohor karena mendirikan perguruan Darul Funun El-Abbasiyah di Padang Japang. Pada masa keemasannya, Darul Funun El-Abbasiyah tidak hanya memiliki murid dari berbagai pelosok Sumbar, melainkan juga dari berbagai provinsi sekitar, termasuk dari negeri Jiran Malaysia. Perguruan Islam ini juga pernah dikunjungi Proklamator Republik Indonesia Ir Soekarno.
Konon, kabarnya, Syekh Abbas Abdullah dan Mustafa Abdullah, merupakan dua dari sederet orang yang pernah diminta nasehat spritualnya oleh Bung Karno. Lalu, apa hubungannya dengan Kapten Thantowi, satu dari 69 pejuang yang tewas dalam tragedi peristiwa Situjuah? Nah, Kapten Thantowi yang lahir tahun 1926 di Nagari Aiatabik (sekarang masuk dalam Kecamatan Payakumbuh Timur) dari ibu bernama Dariham, ternyata adalah putra kandung dari Syekh Mustafa Abdullah.
Di Aiatabik, Kapten Thantowi Mustafa yang namanya sekarang sudah diabadikan sebagai nama sebuah lapangan bola kaki di Payakumbuh, terkenal sebagai pemuda berani, ta’at beragama, suka tantangan, dan sering dijuluki ”Tuanku Nan Pahik”.
Gelar ”Tuanku Nan Pahik” tentu tidak diberikan sembarangan saja kepada Kapten Thantowi. Sebab menurut HC Israr, bekas anggota DPRD Sumbar yang semasa hidupnya rajin menulis sejarah, sosok ”Tuanku Nan Pahik” adalah sosok seorang ulama yang berani, berpendirian teguh, serta pengikut dari Tuanku Imam Bonjol. Pernah diceritakan HC Israr kepada penulis, bahwa sekitar tahun 1832, ”Tuanku Nan Pahik” yang setia dengan Tuanku Imam Bonjol, tampil dalam pertempuran melawan Belanda yang hendak menaklukkan Aiatabik, Bukik Sikumpa dan Halaban. ”Sayang, takdir berkata lain. Tuanku Nan Pahik gugur dalam pertempuran tersebut, dan dimakamkan di tanah taban dekat lereng Gunung Sago, dalam Kanagarian Sungai Kamuyang (sekarang masuk dalam Kecamatan Luak),” begitu cerita HC Israr menjelang akhir hayatnya.
Kembali pada Kapten Thantawi, karena dia adalah cicit dari Tuanku Nan Pahik yang pemberani, maka diberilah gelar itu kepadanya. Kapten Thantowi sendiri menempuh pendidikan Sekolah di Aiatabik. Lalu dilanjutkan ke Schakel School Payakumbuh. Setamat dari situ, dia masuk ke sekolah Gubernemen di Dangung-dangung. Kemudian, Kapten Thantowi meneruskan pendidikan di Ambch School Padangpanjang dan pendidikan Kadet Bukittinggi. Selesai menempuh pendidikan Kadet tahun 1947, dia masuk dalam kesatuan Bataliyon Merapi Padangpanjang dengan pangkat Letnan Muda. Selama di Bataliyon Merapi, Kapten Thantowi pernah ditugaskan di Lubukbasung dan Simpang Tonang. Lalu pada tahun 1948, dia pindah ke Padang Mangateh.
Kiprah Semasa Agresi
Ketika permulaan Agresi Belanda II meletus, Kapten Thantowi ditangkap menja di Komandan Kompi I Bataliyon Merapi dengan pangkat Letnan II. Mengenai kehadirannya dalam rapat malam hari tanggal 14 Januari 1949 di Lurah Kincia Situjuah Batua. Kapten Thantowi saat itu bertindak mendampingi komandan Pertempuran Payakumbuh Selatan, Kapten Kamaruddin Datuak Machudum. Namun malang , pada subuh hari dia ikut menjadi korban keganasan peluruh penjajah yang membabi-buta di Lurah Kincia. Sebagai prajurit sejati, ia telah berupaya menghadapi serangan Belanda sampai tetes darah penghabisan. Namun sebelum wafat, Kapten Thantowi seperti halnya Munir Latief, juga meninggalkan prilaku ”aneh” yang selalu dikenang keluarga. Bila Munier Latief mengembalikan cincin permata pemberian mertuanya. Maka, Kapten Thantowi sebagaimana ditulis wartawan senior Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie, pernah tergopoh-gopoh mencari notesnya yang tidak ditemukan dalam.
Padahal saat itu, Kapten Thantowi baru saja minta izin kepada pamannya Rais Datuk Machudum dan adiknya Mustafa untuk pergi meninggalkan rumah. Tapi baru sampai di Balai Adat Nagari Aiatabik, ia kembali pulang untuk mencari buku. Akhirnya, kata Kamardi, buku Kapten Thantowi itu baru ditemukan di tebing sumur, tidak jauh dari rumah gadang kaum mereka. Namun buku itu sudah lembab. Beberapa catatan harian yang ditulisnya juga sudah kabur dan mengembang. Atas peristiwa itu, pamannya yang merupakan ayah kandung Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie memberi wejangan kepada Munir Latief. ”Lain kali, kalau sudah berangkat, jangan balik lagi, celaka kata orang tua-tua!” ”Antah iyo, indak ka babaliak (Apa betul, tidak akan kembali?)”jawab Thantowi pelan, seperti orang bercanda. Ternyata, Thantowi Mustafa memang tak kembali dari Situjuah. Yang pulang ke kampungnya di Aiatabik, cuma nama. (***)
Kamaluddin Tambiluak, Kontroversi Si Sayap Kanan
Ia bertubuh pendek dan gempal. Orang Minang menyebut ukuran tubuh seperti itu dengan istilah ’Sabuku”. Kulitnya agak hitam, tapi larinya kencang bagaikan kilat. Karena itu dia dijuluki ”Tambiluak” atau sejenis serangga berwarna hitam kekuningan yang bisa terbang kencang dan hidup pada pohon kelapa atau aren. Sebelum menjadi serdadu pada Bagian Perlengkapan dan Pengangkutan (P&P) Batalyon Singa Harau pimpinan Mayor Makinuddin HS, Kamaludin Tambiluak bekerja sebagai tukang gunting di pangkas rambut Sutan Kerajaan Barbier, yang terletak di Jalan Gajah Mada Payakumbuh.
Layaknya tukang gunting, Kamaluddin Tambiluak memiliki banyak pelanggan. Salah satu pelanggannya adalah Dokter Anas. Menurut cerita HC Israr (penulis sejarah/mantan Anggota DPRD Sumbar), Dokter Anas adalah bekas Kepala Rumah Sakit Payakumbuh. Dia asli pribumi Indonesia, tapi gaya dan pola pikirnya, sangat kebelanda-belandaan. Dialah intelektual yang pernah mempelopori berdirinya negara ”Minangkabau”. Ketika ide negara ”Minangkabau” ini diusungnya, Dokter Anas mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Belanda. Bahkan, dia dipersiapkan untuk menjadi calon Kepala Negara. Tapi ide negara ”Minangkabau” itu kemudian ”mati dalam kandungan” menyusul dengan tercapainya persetujuaan antara Indonesia-Belanda di Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Selepas persetujuan itu, Dokter Anas langsung memboyong istrinya Jus Anas dan dua anaknya, untuk bertolak ke negeri Kincir Angin Belanda. Di sanalah, sang Dokter yang sempat menjadi Manajer Club Horizon, sebuah kesebelasan dari Payakumbuh ini menikmati masa hidupnya hingga tutup usia.
Kesebelasan Horizon sendiri tercatat sebagai klub tangguh dari Payakumbuh yang tergabung dalam Bond Eleftal (Bond Kesebalasan). Kamaluddin Tambiluak merupakan ”Sayap Kanan” paling kesohor dari Horizon. Kamaluddin Tambiluak sendiri, menurut Haji Kahiruddin (anak Wedana Militer Payakumbuh Selatan Makinudddin HS), asli berasal dari Kota ”Serambi Mekkah” Padangpanjang. Bahkan Haji Khairuddin yakin, kalau Kamaluddin memiliki rumah di belakang Bioskop Karya Padangpanjang. Sepanjang hidupnya, Kamaluddin Tambiluak tercatat pernah menikah satu kali saja, dengan perempuan bernama Nur Cahaya. Dalam pernikahan dengan Nur Cahaya yang asli Payakumbuh, dia dikaruniai seorang anak. Kelak, anak (lagi-lagi belum diketahui namanya) beserta istri Kamaluddin Tambiluak ikut dihabisi nyawanya.
Pengkhianat atau Pahlawan? Alih-alih soal rumah tangga Kamaluddin Tambiluak dengan Nur Cahaya. Sekarang, saatnya menulusuri keberadaan mantan Intel tentara Sumatera Tengah itu dalam peristiwa Situjuah. Betulkah dia seorang pengkianat, sebagaimana cerita yang beredar dari mulut ke mulut, bahkan sampai dari sekolah ke sekolah? Atau jangan-jangan Tambiluak cuma seorang pahlawan bangsa yang menjadi korban hukum revolusi? Dua pertanyaan itu memang seperti mata uang berlainan. Selalu terjadi silang pendapat hebat dan mungkin tidak pernah berkesudahan untuk dijawab. Satu sisi, banyak pejuang dan saksi sejarah dalam Peristiwa Situjuah yang menyebut Tambiluak benarlah seorang pengkhianat bangsa. Bahkan, sebelum insiden berdarah terjadi di Situjuah Batua tepatnya tanggal 13 Januari 1949, seorang anggota Badan Penerangan bernama Syamsul Bahar yang menerima tugas darurat dari komandannya, dilaporkan bertemu dengan Kamaluddin Tambiluak.
Dalam pertemuan itu Kamaluddin mengajak Syamsul Bahar, agar datang dalam rapat penting tanggal 15 Januari 1949. Karena sudah pernah mengenal Tambiluak semasa ikut Kongres BKPRI di Yogyakarta, pada tanggal 14 Januari 1949, Syamsul Bahar ikut berangkat ke Situjuah dan sampai malam hari sekitar pukul 19.00 WIB. Bersama rombongan, dia langsung masuk ke surau milik Mayor Makinuddin HS. Rupanya, dalam surau itu sudah penuh dengan pejuang yang melepas lelah. Karena kondisi tersebut, Syamsul Bahar pindah ke sebuah bangunan yang merupakan surau usang. Dia bermaksud istirahat sejenak, menjelang ikut rapat. Tak tahunya di halaman surau yang gelap, ada seorang lelaki bermenung diri. Awalnya, Syamsul Bahar dan kawan-kawanya, tidak menghiraukan lelaki tersebut. Tapi ketika Syamsul Bahar hendak menjemput barangnya yang masih ketinggalan di Surau Makinuddin, dia mencoba mendekati lelaki yang bermenung diri. Ternyata orangnya adalah Kamaluddin Tambiluak. Merasa kaget dengan prilaku Kamaluddin, Syamsul Bahar lalu menanyakan gerangan apa yang membuat Kamaluddin bermenung diri. Tapi, Kamaluddi hanya menjawab dingin:”Ah, tidak ada apa-apa!”. (bersambung)
Perubahan sikap Kamaluddin yang sangat drastis ketika berada di Lurah Kincia, ternyata tidak hanya dirasakan oleh Syamsul Bahar menjelang rapat di Situjuah. Ketika rapat selesai, Tambiluak juga berpirilaku aneh dan ganji. Waktu itu para pejuang baru saja salam-salaman dan bermaksud hendak istirahat di Surau Makinuddin.
Ketika para pejuang mulai beristirahat, ada seseorang lelaki yang sangat antusias bercerita tentang kemenengan Belanda dan kekalahan Indonesia. Dia bahkan tertawa terbahak-bahak menceritakan itu. Syamsul Bahar yang sedang ”tidur-tidur ayam” kaget bukan kepalang mendengar cerita tersebut. Entah serius, entah berkelakar, yang jelas seumur-umur menjadi pejuang, baru kali itu Syamsul Bahar mendengar ada pemimpin dan tentara yang dengan gembira memuji musuh bernama Belanda.
Maka, timbullah tanda tanya besar di hati Syamsul Bahar. ”Siapa orang yang bercerita itu? Adakah sebuah keseriusan yang ia ucapkan?” Lalu, Syamsul yang tidur beralaskan tikar usang dan berselimut kain sarung sendiri, mengintip orang tersebut. Di balik remangnya lampu cogok (tradisionil), Syamsul bahar melihat dengan jelas wajah orang itu. Ternyata dia adalah Kamaluddin Tambiluak. Waw, mengagetkan sekali!
Setelah Peristiwa Situjuah terjadi, Tambiluak makin berprilaku aneh. Tanda-tanda keanehan Tambiluak itu terlihat ketika ia mencari-mencari Mayor A Thalib yang sedang terluka parah pada bagian paha karena ditembak oleh Belanda (lebih lengkap tentang ini nanti bisa anda baca dalam buku penulis berjudul ”Tambiluak - Secuil Tentang Peristiwa Situjuah” yang akan dilaunching Februari mendatang).
”Menantang Maut” di Padang Mangateh
Sekarang, tinggalkan dulu cerita tentang perubahan sikap dan keanehan Tambiluak, mari melayangkan pikiran pada sebuah peristiwa sejarah tanggal 23 Januari 1949, yang menjadikan Letnan Satu Kamaluddin Tambiluak sebagai aktor penting sekaligus pemeran ”antagonis”. Ketika itu terjadi pertemuan di daerah bernama Aia Randah, antara Dahlah Ibrahim, dengan Syofyan Ibrahim, dan sejumlah pula sejumlah pejuang bangsa.
Dalam pertemuan, Dahlan Ibrahim mendengarkan laporan tentang peristiwa Situjuah. Dari semua laporan, diperoleh benang merah, bahwa Letnan Satu Kamaluddin Tambiluak memang telah menjadi pengkhianat. Karenanya, dia harus diadili! Ketika rapat sedang dilangsungkan, Kamaluddin berada di Gaduik. Karenanya, untuk mengorek keterangan Tambiluak, peserta rapat sepakat, kalau dia harus dijeput. Sebagai dalih, dikatakan bahwa rapat akan dilanjutkan ke daerah Padang Mangateh, dan Tambiluak diminta kehadirannya. Rupanya, ide peserta rapat ini termakan pula oleh Tambiluak. Bak seekor buruan, dia tidak tahu kalau sudah masuk dalam perangkap. Kemudian ikut berangkat ke Padang Mangateh sekitar pukul 18.30 malam.
Akhirnya, sesampai di Padang Mangateh, sebagian rombongan yang pura-pura datang untuk rapat, langsung masuk ke dalam sebuah rumah. Sedangkan sebagian lain, berjaga-jaga di luar rumah yang konon kabarnya, merupakan bekas tempat tinggal seorang dokter hewan. Dari dalam rumah, Tambiluak akhirnya mulai diinterogasi. Ditanya ini dan itu. Namun dia justru ”dianggap” menjawab dengan bertele-tele. Tak lama kemudian, Tambiluak dipanggil ke luar rumah oleh seseorang. Belum sampai di luar rumah atau baru tiba di pintu. Seorang bernama Tobing, tiba-tiba tak bisa mehanan emosi. Diserangnya Tambiluak dengan golok. Ditebasnya bagian kepala itu hingga tinggal rambut di golok.
Ajaib sekali. Serangan untuk Tambiluak ternyata tidak tepat sasaran. Mungkin rambutnya terlalu tebal, mungkin juga karena dia pakai topi warna hitam. Tapi beberapa pelor yang ditembakkan, juga melenceng. Sehingga Tambiluak bisa melarikan diri dalam kegelapan malam. Dia melompat tebing, melewati sungai kecil. Orang-orang yang ada di Padang Mangateh, berupaya untuk mengejar. Tapi sia-sia. Tambiluak menghilang tanpa jejak. Mereka yang mencari, terpaksa kembali dengan tangan kosong. Tak lama Tambiluak akhirnya benar-benar menghilang tanpa jejak. Kemudian, beredar informasi, dia tewas dibunuh pasukan Panah Beracun yang merupakan bekas anak buahnya sendiri, di kawasan Padang Tarok.
Tambiluak Juga Pahlawan?
Kini, Kamaluddin Tambiluak memang telah tiada. Stigma pengkhianat, melekat pada tubuhnya. Tapi, di balik kematian Tambiluak, sekarang justru muncul berbagai kontraversi. Bahkan, ada yang berani menyebut Tambiluak juga pahlawan. Adalah Haji Khairuddin Makinuddin, putra mantan Wedana Militer Payakumbuh Selatan, yang menilai Tambiluak tidak bisa disebut sebagai pengkhianat di balik peristiwa Situjuah.
Sebab menurut Haji Khairuddin, beberapa hari menjelang tanggal 15 Januari 1949, pesawat capung alias helikopter milik Belanda, telah berputar-putar di sekitar Lurah Kincia. Kemungkinan besar, awak pesawat tersebut sedang mengawasi kegiatan yang dilakukan warga dan pejuang. (bersambung)
Selain alasan tersebut, Haji Khairuddin menganalisa, bisa jadi Tambiluak dicap sebagai pengkhianat, karena faktor kecumburuan sosial. Alasannya, secara ekonomi Tambiluak memang lebih mapan dari beberapa pejuang. Sebab sebelum Agresi Belanda Kedua, sosok yang pernah menjadi Wakil Kepala Intelijen Sumatera Tengah ini, pernah dipercaya untuk menukar getah dan candu dengan senjata ke Singapura.
Kamaluddin Tambiluak berangkat menaiki kapal lewat ke Sungai Siak. Namun kemudian, getah dan candu yang dibawah Tambiluak tidak jadi bertukar dengan senjata. Karena dia dicegat oleh kapal patroli Belanda yang ada di Sungai Siak. Bisa candu dan getah yang dibawa Tambiluak, tidak dia setorkan seluruhnya atau dijual. Sehingga dia memiliki sisa barang berharga itu sebagai tambahan hidup. Karenanya, tentu saja akan ada pejuang yang mengalami kecemburuan sosial.
Sebelumnya, sejarahwan UNP Mestika Zed juga pernah menyatakan, bahwa Tambiluak bukanlah pengkhianat. Ditegaskan Mestika Zed, tidak ada data kuat yang menunjukkan, bahwa Tambiluak adalah pengkhianat dalam Peristiwa Situjuh Batua 15 Januari 1949. Karena itu hanya sebatas isu yang kemudian sengaja dibesar-besarkan. Untuk mendukung pendapatnya, Mestika dalam tulisan itu memunculkan argumen dengan teori dan logika. Dia menjelaskan, bahwa ketika pagi-pagi Peristiwa Situjuah terjadi, Tambiluak lari mencari Dahlan Jambek (Pimpinan Militer Sumbar paling disegani saat itu, Red).
Akhirnya, terlepas dari berbagai versi di atas, agaknya memang perlu diambil sebuah benang merah, bahwa revolusi memang kerap memakan anak sendiri. Walau begitu bukan berarti pula, revolusi harus disalahkan. Peristiwa Situjuah adalah peristiwa besar untuk tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apapun romantika dan kisah di belakangnya, janganlah membuat Peristiwa Situjuah jadi bernilai kecil. (Fajar rillah vesky)
Sekilas Tokoh Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949 (10), Kapten Zainuddin, Penembak Jitu Berdisiplin
Jumat, 25 Januari 2008
Dia adalah tipe pejuang berkemauan keras, pantang menyerah, dan sangat menjunjung tinggi disipilin. Baginya, setiap tentara harus bisa berbuat apa saja. Kalau tidak, jangan menjadi abdi negara! Prinsip itulah yang membuat sosok dengan panggilan populer Kapten Zainuddin ”Tembak” ini, jadi disegani pasukannya di Batalyon Singa Harau. Baginya tidak ada kata menyerah sebelum dicoba. Sekali layar terkembang, pantang surut biduk kembali. Sekali senapang dikokang, pantang untuk terbuang, kecuali bersarang di tubuh penjajah. Meski demikian, sebagai manusia ciptaan Tuhan, Zainuddin juga memiliki sedikit sifat yang susah untuk dikendalikan, apalagi kalau bukan pemarah dan tempramen. Buktinya, gelar ”Kapten Tembak” yang dijuluki kepada Zainuddin, tercipta karena dia memang gampang main tembak. Dia tidak senang kalau ada anak buahnya yang tidak berdisplin, apalagi melanggar jati diri prajurit sejati.
Kapten Zainuddin sendiri menurut beberapa keterangan lahir di kawasan Lubuak Bagaluang, Kota Padang, sekitar tahun 1924 dari perempuan yang biasa dipanggil Mak Inen. Sedangkan ayahnya bernama Bachtiar, seorang pejabat pada Kantor Gemente Pemerintah Belanda di Padang. Lalu beberapa tahun terakhir, juga diperoleh informasi kalau Zainnuddin Tembak memiliki seorang putra yang sempat menjadi petinggi TNI, dia adalah almarhum Mayjend Ismed Yuzairi. Sebagai anak seorang Amtenar, Kapten Zainuddin bersekolah di HIS. Setelah itu dia melanjutkan ke MULO. Bagaimana aktivitas Zainuddin selanjutnya, tidak banyak referensi maupun sakasi sejarah tentan hal tersebut. Pada tahun 1943 para pemimpin di Sumbar mendirikan Tentara Rakyat yang dinamai Gyu Gun. Tentara Rakyat ini sama dengan Pembela Tanah Air (PETA) di Pulau Jawa. Pemuda Zainuddin dengan penuh semangat masuk Gyu Gun. Di sana dia menyelesaikan pendidikan dengan memperoleh gelar ”Minerai Sikang” alias Calon Perwira.
Waktu Kemerdekaan
Ketika Republik Indonesia sudah merdeka, Zainuddin bergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dia memperoleh tugas sebagai Wakil Komandan Perlengkapan dan Pengangkutan dengan Pangkat Kapten. Komandannya ketika itu adalah Mayor Sofyan Ibrahim. Kemudian, pada bulan Januari 1946, menurut HC Israr, Divisi III TKR di bawah komando Kolonel Dahlan Jambek, untuk pertama kalinya memanggil dan memberikan kesempatan kepada para pemuda untuk dididik menjadi Calon Opsir. Sekolah Pendidikan Opsir angkatan pertama ini dipimpin oleh Letkol Ismail Lengah. Pendidikannya berlangsung selama sembilan bulan dan sangat keras. Selesai pendidikan, hanya 84 orang yang dinyatakan lulus sampai selesai. Kemudian, pada bulan Juli 1946 Letkol Ismail Lengah diangkat menjadi Kepala Seksi Persenjataan Markas Umum Komandemen Sumatera. Sebagai pengganti Pimpinan Sekolah Pendidikan Opsir, diangkatlah Mayor Munir Latif. Kemudian untuk wakilnya sekaligus merangkap Kepala Pelatih, ditunjuk Kapten Zainuddin Tembak.
Saat Agresi II Belanda
Ketika Agresi II Belanda ”meledak” di Indonesia, Markas Batalyon III/Singa Harau terpaksa dipindahkan dari Talawi. Kapten Zainuddin yang tergabung dalam Batalyon tersebut, langsung melakukan konsolidasi dengan pasukan, tentu saja bersama Letnan Kolonen Ahmad Husein. Ketika konsolidasi dilangsungkan, Nagari Talawi sudah dipenuhi pula oleh keluarga tentara dan para pengungsi. Sehingga berbagai kesulitan logistik dan kebutuhan pokok sehari-hari mulai terasa. Akibat sulitnya mendapat perbekalan, banyak anggota pasukan yang tidak memegang senjata, disuruh untuk pulang ke kampung masing-masing beserta keluarga mereka. Kebetulan, kebanyakan anggota Bataliyon Singa Harau berasal dari Kabupaten 50 Kota.
Saat disuruh pulang tersebut, beredar pula isu bahwa mereka harus meninggalkan senjata, lalu siap-siap untuk cuti. Mungkin karena merebaknya isu tersebut, Letnan Satu Bainal Datuk Paduko Malano, mengajak kawan-kawannya untuk segera berangkat ke Payakumbuh awal Januari 1949. Dengan keyakinan, mereka tidak akan susah dalam mendapatkan perbekalan di daerah tersebut ataupun di Kabupaten Limapuluh Kota . Kedatangan pasukan Singa Harau yang terdiri dari Letnan Satu Bainal Datuk Paduko Malano CS, disusul pula oleh Opsir Muda Azwar yang merupakan Komandan Kompi Markas, yang tiba di Pakan Raba’a Gaduik pada tanggal 8 Januari 1949. Lalu besok harinya, tiba pula Komandan Bataliyon singa Harau Kapten Zainuddin Tembak. Mereka bermaksud hendak menjemput kembali pasukan pasukan Singa Harau yang pergi tanpa sepengetahuan komandan/Zainuddin mengecam keras tindakan tersebut dan menganggap sebagai sebuat pelanggaran disiplin militer. Karenanya, Zainuddin melaporkan kepada Komandan Sub Territorial Sumatera yang berkedudukan di Koto Tinggi.
Bertemu Dengan Munir Latief
Tidak lama setelah peristiwa di atas, Kapten Zainuddin Tembak bertemu dengan Mayor Munir Latief di nagari Andaleh (sekarang masuk dalam Kecamatan Luak, dulu tercatat sebagai wilayah Kewedanaan Militer Payakumbuh Selatan). Dalam pertemuan tersebut, kedua perwira ini menerima undangan rapat penting di Lurah Kincia Situjuah Batua, pada tanggal 15 Februari 1949. Karenanya, sehari sebelum rapat, Zainuddin Tembak dan Munir Latief sama-sama berangkat. Namun sebelum sampai di Situjuah Batua, mereka bermaksud akan menemui opsir muda Azwar yang sedang berada di Limbukan. Tapi kebetulan Azwar sedang pergi ke Koto Nan Ampek menemui Kapten Nurmatis, dan baru akan kembali esok harinya. Karena batal menemui Azwar Tontong, Kapten Zainuddin dan Mayor Munir Latif meneruskan perjalanan ke Situjuah Batua. Sore harinya, mereka berdua sampai di lokasi rapat. Malam hari langsung ikut berdiskusi. Tapi belum sampai Matahari esok terbit, penjajah Belanda telah duluan memberondongkan senjata. Apalah daya, Zainuddin tembak ikut menjadi syuhada.
http://www.padangekspres.co.id
Sebelumnya: KRONOLOGIS SEJARAH PDRI (19 DESEMBER 1948 – 13 JULI 1949)Peristiwa Situjuah Batua 15 Januari 1949 adalah mata rantai Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumbar, yang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari sejarah Indonesia. Dalam peristiwa ini puluhan pejuang dan rakyat badarai tewas di tangan Belanda, sehingga menjadi tragedi buruk sepanjang PDRI berdiri. Untuk mengenang para pejuang dan tokoh penting Peristiwa Situjuah, wartawan Padang Ekspres Fajar Rillah Vesky yang sedang menggarap buku tentang Peristiwa Situjuah, menuliskan sekilas sosok mereka buat anda. Selamat membaca!
Air cucuran atap jatuhnya ke genangan juga. Pepatah itu cocok betul untuk mengambarkan sosok Arisun Sutan Alamsyah, mantan Bupati militer Kabupaten Limapuluh Kota, yang dipanggil sang pencipta ketika tragedi berdarah 15 Januari 1949 meletus di Lurah Kincia, Situjuah Batua (sekarang masuk dalam Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumbar). Mengapa tidak? Jauh sebelum menjadi Bupati dan pemimpin rakyat, Arisun telah tumbuh di lingkungan orang-orang besar pun terpandang. Ayahnya adalah Tamin Datuk Bandaro Sati, mantan Kepala Negeri Banuhampu Agam. Pamannya Mr Assa’at, Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sekaligus mantan Pj Presiden Republik Indonesia . Menurut (Alm) HC Israr, seorang penulis sejarah di Sumbar, Arisun Sutan Alamsyah lahir tahun 1915 di Nagari Kubang Putiah, Kabupaten Agam dari ibu bernama Harikam. Dalam keluarganya yang bersuku Piliang, Arisun merupakan anak keempat dari lima bersaudara.
Layaknya banyak pemimpin di negeri ini, Arisun Sutan Alamsyah juga sempat mengecap berbagai jenjang pendidikan. Dia pernah bersekolah di-Hollands Inlands School (HIS), dan Mee Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Bukittingi. Setamat dari Mulo, dia melanjutkan pendidikan ke Algeene Middelbare Scholl (AMS) di Jakarta. Setamat dari AMS, Arisun mendapat tawaran bekerja dari Belanda. Tapi dia bukanlah orang yang haus akan jabatan, karena jauh di balik sanubarinya, terpatri rasa tidak ingin menjadi robot-robot penjajah Belanda! Makanya, Arisun Sutan Alamsyah langsung bertekad untuk terus dan terus menggali ilmu pengetahuan, dengan berencana melanjutkan pendidikan ke Filipina. Namun tragis, sebelum kapal cita-citanya sampai di pulau harapan, Arisun Sutan Alamsyah yang sedang minta izin pulang kampung, mengalami cedera hebat di kaki, karena bermain bola melawan klub REMZ Sawahlunto.
Sejak mengalami cedera panjang, dia terpaksa membatalkan niat untuk berangkat ke negeri Corazon Aquiono (Filipina), dan memilih jalan hidup baru sebagai seorang guru. Pertama-tama, dia mengajar di Perguruan Jirek Bukittingi. Kemudian pindah ke perguruan Training College Payakumbuh. Selain menjadi guru, Arisun Sutan Alamsyah juga aktif kembali dalam perjuangan bangsa. Buktinya, bersama Dokter Anas (orang Indonesia yang agak bergaya Belanda) serta Sudiro, dia membentuk Badan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan atau Geneskunding Transport Colone (GTC) atau sebuah organisasi yang tugasnya mirip dengan Palang Merah Indonesia (PMI). Kemudian, pada zaman pemerintahan Jepang, Arisun aktif pula dalam Hokokai (Badan Kebaktian Rakyat) Kabupaten 50 Kota yang dipimpin Haji Darwis Datuk Tumanggung. Lalu, saat di Payakumbuh muncul Gyu Gun, Arisun St Alamsyah juga turut aktif dalam Gyu Gun ‘Ko En Bu’ Kabupaten 50 Kota .
Menikah dan Jadi Bupati
Pada tahun 1946, Arisun mengakhiri masa lajangnya dengan menyunting gadis manis dari Ladang Laweh Banuhampu Agam, bernama Ros Sa’adah. Kelak, dia dan Ros Sa’adah dikarunai Tuhan seorang putri yang bernama Yulida. Sayang, putri semata wayang itu umurnya tidak panjang, menyusul dengan terjadinya kecelakaan pada pesawat Merpati yang ditumpangi Yulida di sekitar Pulau Katang pada tahun 1969. Masih pada tahun 1946, Arisun mendapat amanah sebagai Wedana pertama di Kewedanaan Suliki, dalam masa kemerdekaan. Wedana Kecamatan Suliki membawahi dua kecamatan, yaitu kecamatan Suliki dengan camatnya DP. Sati, dan Kecamatan Guguk dengan Camatnya Saadudin Syarbani. Setelah terjadi Agresi Belanda, disusul dengan terbentuknya PDRI dan Pemerintahan Militer di Sumbar pada tahun 1948. Arisun Sutan Alamsyah akhirnya diangkat menjadi Bupati Militer Kabupaten 50 Kota. Bersamanya, diangkat pula Anwar ZA menjadi Sekretaris Daerah Kabupaten 50 Kota.
Tapi menjadi Bupati semasa Agresi Belanda ini tentulah tidak menyenangkan. Bila para Bupati hari ini masih bisa memikirkan rakyat sambil duduk di ruangan atau mobil yang memiliki air conditioner (AC). Arisun Sutan Alamsyah, justru memimpin di tengah desingan peluru dan bom musuh. Bahkan, pada tanggal 10 Januari 1949, ketika Belanda melancarkan operasi ke Suliki dan Koto Tinggi. Akibatnya, Arisun Sutan Alamsyah terpaksa mengajak pejuang dan masyarakat, untuk mengosongkan kawasan Suliki lalu kembali bergerilya. Bukan hanya itu, istri dan anaknya terpaksa pula diungsikan ke rumah Anwar ZA di Koto Kociak, Padang Jopang. Masih akibat serangan pada tanggal 10 Januari tersebut, Gubernur Militer Mr Sutan Muhammad Rasyid, langsung membuat agenda rapat di Situjuh Batua. Sebelum berangkat ke Situjuah Batua, Arisun Sutan Alamsyah bersama Komandan Teritorial Sumatera Barat Dahlan Ibrahim, Ketua MPRD Khatib Sulaiman, Mayor Thalib, Arisun Sutan Alamsyah dan sejumlah tokoh lain, berkumpul dulu di Koto Kociak.
Dari sanalah mereka berangkat ke Situjuah, dengan melalui kawasan Batu Hampa yang merupakan kampung asal ayah Proklamator RI Bung Hatta. Setiba di Situjuah tanggal 14 Januari 1949, mereka langsung menggelar rapat di surau Mayor Makinudin HS yang merupakan ayah kandung Haji Khairuddin. Rapat tersebut berlangsung sampai sampai jauh malam. Karena terlalu lelah, selepas rapat, Arisun Sutan Alamsyah langsung istirahat. Namun takdir berkata lain, ketika ayam jantan mulai berkokok dan halimun pagi baru nampak di ufuk timur, tiba-tiba desingan peluru penjajah mulai menyalak. Lurah Kincia dikepung dari berbagai penjuru mata angin. Para pejuang, ada yang mencoba untuk melawan. Tapi kekuatan tidak seimbang. Bayonet di tangan, tentulah tak bisa menandingi peluru yang muncrat dari moncong senapan. Akibatnya, para pejuang gugur satu-persatu. Arisun Sutan Alamsyah, termasuk satu dari banyak syuhada itu. (***)
Chatib Soelaiman, Kesempurnaan Seorang Pahlawan
Dia tidak hanya seorang pemimpin di medan perang. Tapi juga pemikir dengan bejibun teori. Dia bukan sekedar seniman dan penulis hebat. Tapi juga tokoh yang taat beragama dan tahu adat. Dia tidak cuma kekasih yang romantis, tapi juga kawan yang setia!
Bila ada alasan, kenapa Sumatera Barat harus dikenang sepanjang massa, barangkali nama besarnya adalah salah satu jawaban. Itulah dia Chatib Soelaiman. Mantan Ketua MPRD Sumbar yang gugur dalam Peristiwa Situjuh 1 Januari 1949 ini, memang seorang pahlawan sempurna. Ulama legendaris ranah Minang Haji Abdul Malik Karim Amarullah alias Buya Hamka, dalam kenangannya dengan gamblang mengatakan, perjuangan di Sumbar tidaklah dapat memisahkan nama Chatib Soelaiman, baik di zaman Belanda ataupun pendudukan Jepang, apalagi di zaman sesudah proklamasi.
Chatib Soelaiman menurut sejarah terlahir di Sumpur tahun 1906, sebagai anak kelima dari 8 bersaudara, ibunya bernama Siti Rahma, sedangkan ayahnya adalah Haji Soelaiman. Usia 6 tahun (1912), dia bersekolah di Gouvernement Benteng (Sekolah Dasar) Padang. Kemudian berniat memasuki MULO. Tapi untuk memasuki MULO, anak didik haruslah tamatan HIS, semacam sekolah dasar yang menjadikan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
Karena untuk masuk HIS, murid-murid harus dilihat status sosial orangtuanya, dan kedudukan dalam stetsel pemerintah Belanda, atau ketaatan kepada pemerintah Belanda, misalnya dalam membayar pajak, Chatib Soelaiman tidak bisa memasuki HIS milik pemerintah. Untung, ada kawan ayahnya yang berbaik hati, sehingga Chatib bisa masuk HIS Adabiyah, sebuah perguruan swasta yang setingkat dengan HIS Pemerintah.
Setamat dari HIS pada tahun 1919, Chatib Soelaiman baru bercita-cita untuk meneruskan ke MULO. Sayang beribu kali sayang, usaha ayahnya ternyata pailit atau mengalami gulung tikar. Bagaimana mungkin bisa sekolah, jika biaya tidaklah ada. Tapi Chatib tidak menyerah. Berkat bantuan Inyiak Basa Bandaro, lagi-lagi soerang kawan ayahnya yang merupakan tokoh pergerakan dan saudagar di Pasa Gadang, Chatib akhirnya bisa masuk MULO. Cuma sayang, jenjang pendidikan ini tidak selesai ditamatkan oleh Chatib Soelaiman, karena dia justru lebih menekuni dunia seni. Ya, Chatib mulai-mulai ‘tergila-gila’ menggesek Biola.
Jiwa Seniman dan Tentang Pernikahan
‘Kegilaan’ Chatib akan biola, telah berhasil membuatnya menjadi seorang Violis atau penggesek biola terkenal di Kota Padang. Bahkan, dia juga sering untuk mengiringi film-film bioskop yang saat itu masih disebut film bisu alias tanpa suara. Chatib Soelaiman yang terbiasa menikmati kesulitan hidup, mengakhiri masa lajangnya pada tahun 1938. Dia “dinikahkan” dengan gadis sekampung bernama Zubaidah. Dalam pernikahan gaya Siti Nurbaya ini, Chatib Soelaiman memang kurang harmonis. Mungkin karena istrinya Zubaidah berasal dari keluarga berada. Sehingga faktor materi termasuk dalam kalkulasi hidup.
Setelah menikah dengan Zubaidah, Chatib Soelaiman kembali menjalani bahtera rumah tangga dengan menikahi gadis manis dari Bukik Surungan, Padangpanjang bernama Syafiah Emma. Syafiah adalah guru berpendidikan yang menghayati keresahan Chatib. Malang, cinta mereka tidak bertahan lama, karena Syafiah meninggal dunia dalam usia muda dengan dua orang anak. Selang beberapa waktu kemudian, Chatib menikah lagi dengan adik Syafiah Emma bernama Junidar. Junidar adalah seorang bidan. Dengan istrinya ini Chatib Suleman memperoleh tiga orang anak. Dengan demikian, sepanjang hidupnya, Chatib tercatat menjalani tiga kali pernikahan.
Mulai Menjadi Guru
Kisah heroik Chatib Soelaiman sendiri, diawali dengan keaktifan dirinya dalam pergerakan bangsa di Padangpanjang. Dia pernah memimpin HIS Muhammadiyah dan mengajar pada Madratsah Isyadinnas (MIN) Padangpanjang, sekitar tahun 1930. Lalu, pada tanggal 11 Nopember 1932, dia menjadi pengurus PNI Cabang Padangpanjang. Cuma sayang, pada tahun 1934 pemerintah Belanda mengeluarkan larangan mengadakan rapat dan berkumpul (vergader-verbod). Dengan larangan itu otomatis dunia pergerakan mengalami pukulan hebat.
Namun peristiwa itu tidak membuat Chatib berkecil hati. Dia memindahkan gerakannya ke wilayah ekonomi. Bersama Leon Salim, ia menerbitkan Majalah Sinar. Dalam terbitan setebal 32 halaman, Chatib dan Leon membuat karangan untuk saudagar muda dan pelajar-pelajar. Karangan itu terutama menyangkut masalah ekonomi. Setelah itu, Chatib pindah ke Bukittinggi. Bersama dengan teman-temannya Anwar St Saidi, Mr Nasrun dan Marzuki Yatim, Mr Moh Yamin dibangunlah persatuan dagang Bumi Putera. Kecuali di Bumi Putera, ia bersama teman-temannya mendirikan pula sebuah Bank yang dinamakan Bank Nasional. Di zaman penjajahan Belanda sulit ditemui bank-bank swasta. Oleh karena itu mendirikan Bank Nasional harus diakui sebagai suatu keberanian.
Menjelang Belanda Hengkang
Ketika Belanda mulai berakhir dan adanya undang-undang S.O.B yang memunculkan kesadaran politik rakyat. Chatib muncul lagi. Ia merencanakan demonstrasi di Padangpanjang tanggal 12 Maret 1942. Dalam demonstrasi itu pemerintah Belanda dituntut agar menyerahkan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia, atau bukan kepada Jepang. Kecuali itu, Belanda diminta tidak membumihanguskan kekayaaan alam Indonesia .
Waktu demonstrasi, direncanakan akan dikibarkan Merah Putih. Tapi upaya ini dicium Belanda. Akibatnya, pagi Subuh tanggal 12 Maret 1942, Chatib Soelaiman ditangkap dan dibuang ke Kotacane, Aceh. Tanggal 25 Maret 1942, tentara Belanda telah meninggalkan Kotacane. Chatib Soelaiman beserta pejuang bisa menghirup udara bebas. Sementara rakyat, mulai mencari keberadaan mereka. Lalu pada tanggal 31 Maret 1942, Chatib kembali di tengah rakyat Sumbar. (Fajar Rillah Vesky)
Ketika Jepang berkuasa di Indonesia. Chatib Soelaiman membentuk ”Pemuda Nippon Raya”. Sepintas lalu, organisasi ini Pro-Jepang. Tapi ditilik lebih jauh, organisasi ini bertujuan untuk menyelamatkan pergerakan dari Jepang. Awalnya, Jepang suka dengan kehadiran Pemuda Nippon Raya. Tapi kemudian Jepang membubarkan. Chatib Soelaiman ditangkap lagi. Selang beberapa waktu, dia kembali dibebaskan. Kemudian, Jepang membuat Syu Sangi Kai atau sejenis Dewan Perwakilan Rakyat di Sumatera Tengah. Mohammad Syafei ditunjuk sebagai Ketua, Chatib Soelaiman aktif pula di sana .
Saat Indonesia Merdeka
Ketika Republik Indonesia dinyatakan Merdeka, pada Desember 1945 Chatib Soelaiman bergabung dengan Partai Masyumi. Pada akhir tahun, dia mempersiapkan pula Partai sosialis sebagai reinkarnasi dari Pendidikan Nasional Indonesia. Sekitar tahun 1947, tepatnya pada tanggal 21 Januari 1947, Chatib dan kawan-kawan pergi ke Jawa, menghadiri sidang Komite Nasional Indonesia Pusat yang akan diadakan di Malang. Chatib Soelaiman kembali ke Sumbar pada pertengahan Mei 1947.
Mengenai keterlibatan Chatib Soelaiman dalam peristiwa Situjuah 15 Januari 1949. Sesungguhnya, tidak terlepas dari serangan Belanda ke Koto Tinggi pada tanggal 10 Januari 1949. Serangan tersebut sangat telak dan membuat Koto Tingi sebagai tempat kedudukan Gubernur Militer jadi sedikit darurat. Makanya, setelah pasukan Belanda meninggalkan Koto Tinggi, pemimpin republik di Sumatera Tengah langsung berkumpul kembali. Mereka berniat untuk menggelar rapat penting. Dalam rapat tersebut disepakati sejumput keputusan, termasuk menggelar pertemuan yang lebih lengkap singkat dan penting di daerah Situjuah Batua, tanggal 15 Januari 1949.
Untuk pertemuan tersebut, Chatib diutus Gubernur Militer Sumbar Sutan Muhamad Rasyid datang ke Situjuah Batua. Maka pada tanggal 12 Januari 1949, Chatib Soelaiman, bersama Dahlan Ibrahim, Mayor A Thalib, berangkat dari Koto Tinggi menuju Koto Kociak, Padang Jopang. Di sana mereka bermalam, dan sudah dinanti oleh Bupati Militer Limapuluh Kota Arisun Sutan Alamsyah. Setelah menginap semalam di rumah Sekwilda Anwar ZA, rombongan ini kemudian berangkat ke Situjuah Batua tanggal 13 Januari 1949, dengan melewati Nagari Batu Hampa. Di Batu Hampa, mereka bertemu dengan pemimpin setempat dan menggelar pertemuan pula. Baru tanggal 14 Januari 1949, sekitar jam 10 malam, Khatib Sulaiman sampai di Situjuah Batua. Dia langsung memimpin rapat dengan sejumlah tokoh penting.
Karena terlalu lelah, selepas rapat Chatib Soelaiman langsung istirahat. Namun takdir berkata lain, ketika ayam jantan mulai berkokok dan halimun pagi baru nampak di ufuk timur, tiba-tiba desingan peluru penjajah mulai menyalak. Lurah Kincia dikepung dari berbagai penjuru mata angin. Para pejuang, ada yang mencoba untuk melawan. Akibatnya, para pejuang gugur satu persatu, termasuk Chatib Soelaiman. Namun sebelum menghadap Sang Khalik, Chatib Soelaiman sempat menulis puisi pada kertas bungkus rokok. Puisi itu diberikan kepada Dahlan Ibrahim. Sebelum menutup tulisan ini, simaklah sepenggal puisnya: “Kekasihkuhttp://pdri.multiply.com/Siapa kuasa memecah cinta/Tumbuh murni antara kita/Biar aku kejam di asing/Dipaksa suruh beralih kasih/ dan dikau kini jauh/ tiada hilang dimusnahkan orang... (Fajar Rillah Vesky )
Munir Latief, Cincin Cinta Anak Saudagar
Ayahnya seorang saudagar tenun yang terkenal. Pamannya, Wali Kota Padang pertama sejak Indonesia merdeka. Tapi dia tidak pongah, juga tidak suka hura-hura. Paling benci dengan manusia pendendam, selalu hidup sederhana. Ketika menjadi Tentara berpangkat Mayor, fasilitasnya yang cukup justru dimanfaatkan untuk perjuangan bangsa, bukan untuk keluarga! Itulah dia Letnan Kolonel (Anumerta) Munir Latief. Tentara pejuang berdarah Koto Anau Solok dan Silungkang Tanahdatar, yang tewas sebagai Syuhada dalam peristiwa berdarah di Situjuah Batua, Kabupaten Limapuluh Kota, 15 Januari 1949 silam.
Terlahir sekitar tahun 1925 sebagai anak ke 7 dari 14 saudara satu ibu, dan 30 saudara satu ayah di Padang ”Kota Padang Tercinta Kujaga dan Kubela”. Ibunya bernama Hj Siti Dalisah. Kakeknya adalah Tuanku Lareh Silungkang, Dja’ar Sutan Pamuncak. Ayah Munir Latief yang bernama Haji Abdul Latief, pernah menjadi Komisaris sebuah perusahan terkenal milik Belanda, yakni Pabrik Tenun Padang Asli yang memproduksi kain sarung Cap Kopi. Kawan akrab ayahnya sesama Komisaris di perusahan tersebut adalah Haji Turki. Walau agak dekat dengan Belanda, tapi Abdul Latief sangatlah dikagumi rakyat. Apalagi wataknya amatlah dermawan dan suka mewakafkan tanah, termasuk tanah di Simpang Haru dan Pasa Mudiak Padang yang diwakafkan untuk pembangunan masjid. Kelak, sikap derwaman ini juga menurun kepada anaknya Munir Latief.
Pendidikan dan Karier
Kembali pada Letkol (Anumerta) Munir Latief. Dia pernah mengecap pendidikan pada Sekolah Adat dan MULO Padang. Setelah itu melanjutkan ke HBS Jakarta, tapi pendidikannya tidak selesai karena Jepang sudah masuk dan ”menguasai” Indonesia. Lantaran itu, Munir Latief kembali ke Padang sambil memasuki pendidikan calon perwira Gyu Gun angkatan pertama. Menurut pelaku sejarah, saat itu Munir Latief satu angkatan dengan Dahlan Jambek, Ahmad Husen, Ismail Lengah, Dahlan Ibrahim, A Thalib, Sofyan Ibrahim, Syarif Usman, K Datuk Malilik Alam, Nurmatias, dan lainnya. Dalam pendidikan tersebut dia memperoleh pangkat Gyu Syool atau Letnan II.
Setelah Jepang Hengkang, Gyun Gun dibubarkan. Tapi banyak opsirnya tetap aktif dan menyusun kekuatan di Barisan Keamanan Rakyat (BKR) yang tersebar di Sumatera Tengah. BKR ini kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada tanggal 1 Januari 1946 diresmikan TKR Sumatera Barat dan Riau menjadi Divisi III dengan komando Kolonel Dahlan Djambek. Suatu langkah penting yang diambil pada waktu itu adalah mendirikan Sekolah Pendidikan Opsir di Bukittinggi.
Kolonel Ismail Lengah diangkat sebagai Direktur Pendidikan Opsir tersebut. Tetapi kemudian ia dipindahkan ke Komando Sumatera. Kedudukannya sebagai Direktur Pendidikan opsir, digantikan oleh Mayor Munir Latif. Di bawah Pimpinan Munit dilaksanakan pendidikan Angkatan kedua yang diikuti 60 orang Calon Kadet, di antaranya termasuk Jamaris Yunus, Azwar, Anwar Bey, Burhanuddin, Tazwar Akbid, Lukman Madewa dan lainnya. Seusai Pendidikan Opsir angkatan ke-2 ditutup dengan resmi pada tanggal 18 Juni 1947. Mayor Munir Latif akhirnya dipindahkan dan diangkat menjadi Komandan Bataliyon III/Resimen II di Sungai Penuh. Setelah itu, sebagai seorang Tentara ia kembali dimutasi lagi ke Bukittinggi untuk memimpin Pendidikan Divisi IX. Sementara kedudukannya sebagai komandan Bataliyon di Sungai Penuh, digantikan oleh Mayor Sjoeib.
Ode Sebuah Cincin
Meski sudah berpangkat Mayor dan mempunyai cukup fasilitas. Namun Munir Latief tetap sederhana dan menganggap belum waktunya untuk menjalani bahtera rumah tangga. Padahal, keluarganya sudah mendesak, agar Munir Latief segera bekeluarga. Tapi desakan itu selalu ditolak dengan alasan tugas belum mengizinkan dan perjuangan belum selesai. Saat Kota Bukittinggi diduduki Belanda, seluruh pejabar militer dan pemerintahan mulai menyingkir ke luar kota. Paman Munir Latief, Mr Abu Bakar juga menyingkir ke Batusangkar. Sejujurnya, Abu Bakar sudah lama betul meminta Munir Latif menikah dengan anaknya Amalaswinta. Namun ide maminang anak mamak itu selalu ditolak Munir Latief. Tapi entah bagaimana kisahnya, ketika permulaan Agresi Belanda ke-2 meledak. Munir Latief justru tidak bisa menolak ide Abu Bakar yang kembali meminta dirinya menikah dengan Amalaswinta. Tiga hari setelah pernikahan yang berlangsung sederhana, dihadiri kerabat dan dan kawan dekat, Munir Latief berangkat ke Kabupaten Limapuluh Kota untuk menemui Gubernur Militer dan Panglima Territorial di Koto Tinggi.
Syahdan menurut cerita, dalam perjalanan tersebut, Munir Latief yang belum sempat berbulan madu, mampir di sebuah warung. Saat itu, dia tahu kalau cincin permata hadiah cinta dari mertuanya saat pernikahan, justru hilang. Akibatnya, Munir Latief kaget bukan kepalang. Dia yakin, cincin itu hilang tidak jauh dari warung tempat ia duduk. Karenanya, meminta seseorang untuk mencari hingga cincin cinta itu ditemukan kembali. Tapi aneh sekali, setelah cincin didapat, Munir Latief justru enggan untuk memakainya kembali. Seperti pernah ditulis wartawan senior Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie, Kamardi Rais justru menyuruh seorang pembantunya untuk mengantarkan kembali cincin itu kepada mertuanya yang berada di Sumaniak, Tanahdatar. Menerima cincin dari pembantu Munier Latirf, mertuanya jadi terkejut sekali. Timbul pertanyaan dalam hati, ”Apa arti dibalik semua ini”? Adakah ini sebuah firasat aneh?
Di Nagari Andaleh, Munir Latief bertemu dengan Komandan Batalyon Singa Harau Kamaruddin Datuk Machudum, serta Kapten Zainuddin Tembak yang merupakan bekas wakilnya semasa sekolah Pendidikan Opsir ada di Bukittinggi. Pada pertemuan itu, kedua pejuang ini menerima undangan rapat penting yang diadakan di Situjuah Batua, 15 Januari 1949. Karenanya, Munir Latief dan Zainudin Tembak, berangkat dari Andaleh dan sampai di surau milik Mayor Makinudin HS, tanggal 14 Januari 1949. Selesai rapat, Syofyan Ibrahim sempat mengajak Munir Latief untuk tidur di tempat lain. Tapi, dia mengaku terlalu lelah dan ingin tidur di surau saja. Cuma apa hendak dikata, subuh harinya takdir berkata lain. Ia gugur ditembak peluru penjajah, bersama sederet para syuhada. (bersambung)
Syamsul Bahri, Orang Muda yang Menyabung Nyawa
Berpuluh tahun lalu, Proklamator RI Bung Karno pernah mengatakan, ”Berikan kepadaku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan Indonesia”. Pernyataan founding fauther ini jelas memiliki makna, betapa besar peranan anak muda dalam sebuah bangsa. Bahkan, tidak sedikit revolusi di dunia, justru diprakasai oleh orang-orang berusia muda.
Dalam tragedi berdarah mempertahankan merah putih dari gencarnya Agresi Belanda II di Lurah Kincia Situjuah Batua, 15 Januari 1949 lalu, juga ada seorang pejuang berusia muda belia yang gugur di terjang peluru penjajah. Namanya adalah Syamsul Bahri. Pangkat terakhirnya Letnan Dua. Dia lahir di Nagari Ampang Gadang, Kecamatan Guguk, Kabupaten Limapuluh Kota, sekitar tahun 1928. Tahun di mana semangat pemuda Indonesia sedang bergelora sebagai satu bangsa, tanah, pun bahasa!
Masa kecil Syamsul Bahri, sedikit susah dilacak sejarah. Tapi ayahnya diketahui bernama Zainal Abidin Datuk Rajo Ali, seorang pemuka rakyat berjiwa sosial, disegani, dan sering berbuat untuk pembangunan nagari. Semasa tambang emas di Manggani masih jaya, Zainil Abidin Datuk Rajo Ali pernah bekerja sebagai annamer dan leverransir, sekitar tahun 1911 sampai 1930. Sedangkan ibu Syamsul Bahri bernama Zubaidah, perempuan sholehah yang sederhana. Dalam keluarga, Syamsul Bahri diketahui merupakan anak ketiga dari enam bersaudara seayah. Saudaranya yang lain adalah Letnan Damanhhuri ZA, serta Anwar ZA yang merupakan bekas Sekda Limapuluh Kota dan Sekwilda Pasaman. Pendidikan Syamsul Bahri kecil, dimulai dari Sekolah Desa di Padang Japang dan Sekolah Gubernemen di Dangung-dangung. Sayang, kapan tahunnya belum bisa diketahui dengan pasti.
Pernah ke ”Neraka Dalam Rimba”
Semasa Jepang berkuasa di Ranah Minang, Syamsul Bahri Bahri pernah dikirim untuk bekerja paksa ke daerah Logas yang disebut wartawan senior Marthias Duski Pandoe dalam tulisannya di Padang Ekspres, sebagai ”Neraka Dalam Rimba”. Selaku orang yang dipercaya menjadi kepala rombongan ke Logas, Syamsul Bahri ketika itu benar-benar merasakan betapa kejamnya militer Jepang. Betapa pahitnya hidup sebagai bangsa terjajah. Di Logas, ia melihat korban-korban berjatuhan akibat kelaparan dan kerja paksa. Banyak yang mati karena kerja sangat berat, sedangkan makanan tidak ada. Bahkan, ada di antara pekerja yang tubuhnya tinggal kulit pembungkus tulang, tapi tetap dipaksa mengangkat sekarung semen, memikul balok, dan benda berat lain. Atas kondisi tersebut, hati kecil Syamsul Bahri berontak. Dia tidak mau pasrah begitu saja kepada pemerintah Jepang serta Mandor yang sering menghardik-hardik. Dengan kecerdasan dan sikap, akhirnya dia bisa keluar dari pedihnya penyiksaan ”Neraka Dalam Rimba” bersama rombongan yang ia pimpin.
Masuk Batalyon Singa Harau
Ketika Indonesia mulai menghirup udara kemerdekaan sekitar tahun 1946, Syamsul Bahri masuk menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Payakumbuh. Dia bekerja sebagai staf Keuangan bagian perlengkapan dan Pengangkutan (P&P) Batalyon Singa Harau bersama Junahar, dengan pangkat Sersan Mayor. Semasa itu, Bagian P&P yang terletak di bekas gedung gudang garam kampung Cina Payakumbuh, langsung dipimpin oleh Komandan Batalyon Singa Harau, Mayor Makinudin HS. Menurut cerita Makinudin HS pada anaknya Haji Khairuddin, sekitar bulan Juli 1944, Serma Syamsul Bahri dan Serma Junahar ikut pindah tugas ke bagian Perlengkapan dan Pengangkutan Divisi III Bukitttingi.
Bagian yang memiliki kantor di lantai dua Toko Tokra Jalan Kampung Cina ini juga dipimpin masih Makinudin HS. Sedangkan Bagian Perlengkapan dikepalai oleh Kapten Amiruddin Kr, sementara untuk Bagian Pengangkutan dikepalai oleh Letnan Satu Kamaluddin ”Tambiluak”, tokoh kontroversi dalam peristiwa Situjuah. Ketika Bukittinggi dibumihanguskan, pada Desember 1948, Syamsul Bahri ikut menyingkir ke Payakumbuh, kemudian terus ke VII Koto Talago. Lalu, pada tanggal 12 Januari 1949, ia ikut berangkat bersama rombongan Dahlan Ibrahim dari Koto Kociak menuju Situjuah Batua. Terakhir, pada tanggal 15 Januari 1949, dia menghadap Sang Khalik. Anak muda itu pergi untuk selamanya. Walau belum berbuat banyak, setidaknya, Syamsul Bahri telah menjadi icon betapa anak muda, juga memiliki peranan saat Republik ini digempur Agresi II Belanda. Hidup anak muda! (Fajar Rillah Vesky)
Kapten Thantowi, Syahidnya Anak Sahabat
Bagi warga Sumatera Barat yang pernah merunut sejarah pendidikan agama Islam, nama Syekh Mustafa Abdullah dan Syekh Abbas Abdullah, tentu tidaklah asing. Dua saudara ini tidak hanya terkenal sebagai ulama yang memiliki banyak jamaah. Tapi juga kesohor karena mendirikan perguruan Darul Funun El-Abbasiyah di Padang Japang. Pada masa keemasannya, Darul Funun El-Abbasiyah tidak hanya memiliki murid dari berbagai pelosok Sumbar, melainkan juga dari berbagai provinsi sekitar, termasuk dari negeri Jiran Malaysia. Perguruan Islam ini juga pernah dikunjungi Proklamator Republik Indonesia Ir Soekarno.
Konon, kabarnya, Syekh Abbas Abdullah dan Mustafa Abdullah, merupakan dua dari sederet orang yang pernah diminta nasehat spritualnya oleh Bung Karno. Lalu, apa hubungannya dengan Kapten Thantowi, satu dari 69 pejuang yang tewas dalam tragedi peristiwa Situjuah? Nah, Kapten Thantowi yang lahir tahun 1926 di Nagari Aiatabik (sekarang masuk dalam Kecamatan Payakumbuh Timur) dari ibu bernama Dariham, ternyata adalah putra kandung dari Syekh Mustafa Abdullah.
Di Aiatabik, Kapten Thantowi Mustafa yang namanya sekarang sudah diabadikan sebagai nama sebuah lapangan bola kaki di Payakumbuh, terkenal sebagai pemuda berani, ta’at beragama, suka tantangan, dan sering dijuluki ”Tuanku Nan Pahik”.
Gelar ”Tuanku Nan Pahik” tentu tidak diberikan sembarangan saja kepada Kapten Thantowi. Sebab menurut HC Israr, bekas anggota DPRD Sumbar yang semasa hidupnya rajin menulis sejarah, sosok ”Tuanku Nan Pahik” adalah sosok seorang ulama yang berani, berpendirian teguh, serta pengikut dari Tuanku Imam Bonjol. Pernah diceritakan HC Israr kepada penulis, bahwa sekitar tahun 1832, ”Tuanku Nan Pahik” yang setia dengan Tuanku Imam Bonjol, tampil dalam pertempuran melawan Belanda yang hendak menaklukkan Aiatabik, Bukik Sikumpa dan Halaban. ”Sayang, takdir berkata lain. Tuanku Nan Pahik gugur dalam pertempuran tersebut, dan dimakamkan di tanah taban dekat lereng Gunung Sago, dalam Kanagarian Sungai Kamuyang (sekarang masuk dalam Kecamatan Luak),” begitu cerita HC Israr menjelang akhir hayatnya.
Kembali pada Kapten Thantawi, karena dia adalah cicit dari Tuanku Nan Pahik yang pemberani, maka diberilah gelar itu kepadanya. Kapten Thantowi sendiri menempuh pendidikan Sekolah di Aiatabik. Lalu dilanjutkan ke Schakel School Payakumbuh. Setamat dari situ, dia masuk ke sekolah Gubernemen di Dangung-dangung. Kemudian, Kapten Thantowi meneruskan pendidikan di Ambch School Padangpanjang dan pendidikan Kadet Bukittinggi. Selesai menempuh pendidikan Kadet tahun 1947, dia masuk dalam kesatuan Bataliyon Merapi Padangpanjang dengan pangkat Letnan Muda. Selama di Bataliyon Merapi, Kapten Thantowi pernah ditugaskan di Lubukbasung dan Simpang Tonang. Lalu pada tahun 1948, dia pindah ke Padang Mangateh.
Kiprah Semasa Agresi
Ketika permulaan Agresi Belanda II meletus, Kapten Thantowi ditangkap menja di Komandan Kompi I Bataliyon Merapi dengan pangkat Letnan II. Mengenai kehadirannya dalam rapat malam hari tanggal 14 Januari 1949 di Lurah Kincia Situjuah Batua. Kapten Thantowi saat itu bertindak mendampingi komandan Pertempuran Payakumbuh Selatan, Kapten Kamaruddin Datuak Machudum. Namun malang , pada subuh hari dia ikut menjadi korban keganasan peluruh penjajah yang membabi-buta di Lurah Kincia. Sebagai prajurit sejati, ia telah berupaya menghadapi serangan Belanda sampai tetes darah penghabisan. Namun sebelum wafat, Kapten Thantowi seperti halnya Munir Latief, juga meninggalkan prilaku ”aneh” yang selalu dikenang keluarga. Bila Munier Latief mengembalikan cincin permata pemberian mertuanya. Maka, Kapten Thantowi sebagaimana ditulis wartawan senior Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie, pernah tergopoh-gopoh mencari notesnya yang tidak ditemukan dalam.
Padahal saat itu, Kapten Thantowi baru saja minta izin kepada pamannya Rais Datuk Machudum dan adiknya Mustafa untuk pergi meninggalkan rumah. Tapi baru sampai di Balai Adat Nagari Aiatabik, ia kembali pulang untuk mencari buku. Akhirnya, kata Kamardi, buku Kapten Thantowi itu baru ditemukan di tebing sumur, tidak jauh dari rumah gadang kaum mereka. Namun buku itu sudah lembab. Beberapa catatan harian yang ditulisnya juga sudah kabur dan mengembang. Atas peristiwa itu, pamannya yang merupakan ayah kandung Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie memberi wejangan kepada Munir Latief. ”Lain kali, kalau sudah berangkat, jangan balik lagi, celaka kata orang tua-tua!” ”Antah iyo, indak ka babaliak (Apa betul, tidak akan kembali?)”jawab Thantowi pelan, seperti orang bercanda. Ternyata, Thantowi Mustafa memang tak kembali dari Situjuah. Yang pulang ke kampungnya di Aiatabik, cuma nama. (***)
Kamaluddin Tambiluak, Kontroversi Si Sayap Kanan
Ia bertubuh pendek dan gempal. Orang Minang menyebut ukuran tubuh seperti itu dengan istilah ’Sabuku”. Kulitnya agak hitam, tapi larinya kencang bagaikan kilat. Karena itu dia dijuluki ”Tambiluak” atau sejenis serangga berwarna hitam kekuningan yang bisa terbang kencang dan hidup pada pohon kelapa atau aren. Sebelum menjadi serdadu pada Bagian Perlengkapan dan Pengangkutan (P&P) Batalyon Singa Harau pimpinan Mayor Makinuddin HS, Kamaludin Tambiluak bekerja sebagai tukang gunting di pangkas rambut Sutan Kerajaan Barbier, yang terletak di Jalan Gajah Mada Payakumbuh.
Layaknya tukang gunting, Kamaluddin Tambiluak memiliki banyak pelanggan. Salah satu pelanggannya adalah Dokter Anas. Menurut cerita HC Israr (penulis sejarah/mantan Anggota DPRD Sumbar), Dokter Anas adalah bekas Kepala Rumah Sakit Payakumbuh. Dia asli pribumi Indonesia, tapi gaya dan pola pikirnya, sangat kebelanda-belandaan. Dialah intelektual yang pernah mempelopori berdirinya negara ”Minangkabau”. Ketika ide negara ”Minangkabau” ini diusungnya, Dokter Anas mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Belanda. Bahkan, dia dipersiapkan untuk menjadi calon Kepala Negara. Tapi ide negara ”Minangkabau” itu kemudian ”mati dalam kandungan” menyusul dengan tercapainya persetujuaan antara Indonesia-Belanda di Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Selepas persetujuan itu, Dokter Anas langsung memboyong istrinya Jus Anas dan dua anaknya, untuk bertolak ke negeri Kincir Angin Belanda. Di sanalah, sang Dokter yang sempat menjadi Manajer Club Horizon, sebuah kesebelasan dari Payakumbuh ini menikmati masa hidupnya hingga tutup usia.
Kesebelasan Horizon sendiri tercatat sebagai klub tangguh dari Payakumbuh yang tergabung dalam Bond Eleftal (Bond Kesebalasan). Kamaluddin Tambiluak merupakan ”Sayap Kanan” paling kesohor dari Horizon. Kamaluddin Tambiluak sendiri, menurut Haji Kahiruddin (anak Wedana Militer Payakumbuh Selatan Makinudddin HS), asli berasal dari Kota ”Serambi Mekkah” Padangpanjang. Bahkan Haji Khairuddin yakin, kalau Kamaluddin memiliki rumah di belakang Bioskop Karya Padangpanjang. Sepanjang hidupnya, Kamaluddin Tambiluak tercatat pernah menikah satu kali saja, dengan perempuan bernama Nur Cahaya. Dalam pernikahan dengan Nur Cahaya yang asli Payakumbuh, dia dikaruniai seorang anak. Kelak, anak (lagi-lagi belum diketahui namanya) beserta istri Kamaluddin Tambiluak ikut dihabisi nyawanya.
Pengkhianat atau Pahlawan? Alih-alih soal rumah tangga Kamaluddin Tambiluak dengan Nur Cahaya. Sekarang, saatnya menulusuri keberadaan mantan Intel tentara Sumatera Tengah itu dalam peristiwa Situjuah. Betulkah dia seorang pengkianat, sebagaimana cerita yang beredar dari mulut ke mulut, bahkan sampai dari sekolah ke sekolah? Atau jangan-jangan Tambiluak cuma seorang pahlawan bangsa yang menjadi korban hukum revolusi? Dua pertanyaan itu memang seperti mata uang berlainan. Selalu terjadi silang pendapat hebat dan mungkin tidak pernah berkesudahan untuk dijawab. Satu sisi, banyak pejuang dan saksi sejarah dalam Peristiwa Situjuah yang menyebut Tambiluak benarlah seorang pengkhianat bangsa. Bahkan, sebelum insiden berdarah terjadi di Situjuah Batua tepatnya tanggal 13 Januari 1949, seorang anggota Badan Penerangan bernama Syamsul Bahar yang menerima tugas darurat dari komandannya, dilaporkan bertemu dengan Kamaluddin Tambiluak.
Dalam pertemuan itu Kamaluddin mengajak Syamsul Bahar, agar datang dalam rapat penting tanggal 15 Januari 1949. Karena sudah pernah mengenal Tambiluak semasa ikut Kongres BKPRI di Yogyakarta, pada tanggal 14 Januari 1949, Syamsul Bahar ikut berangkat ke Situjuah dan sampai malam hari sekitar pukul 19.00 WIB. Bersama rombongan, dia langsung masuk ke surau milik Mayor Makinuddin HS. Rupanya, dalam surau itu sudah penuh dengan pejuang yang melepas lelah. Karena kondisi tersebut, Syamsul Bahar pindah ke sebuah bangunan yang merupakan surau usang. Dia bermaksud istirahat sejenak, menjelang ikut rapat. Tak tahunya di halaman surau yang gelap, ada seorang lelaki bermenung diri. Awalnya, Syamsul Bahar dan kawan-kawanya, tidak menghiraukan lelaki tersebut. Tapi ketika Syamsul Bahar hendak menjemput barangnya yang masih ketinggalan di Surau Makinuddin, dia mencoba mendekati lelaki yang bermenung diri. Ternyata orangnya adalah Kamaluddin Tambiluak. Merasa kaget dengan prilaku Kamaluddin, Syamsul Bahar lalu menanyakan gerangan apa yang membuat Kamaluddin bermenung diri. Tapi, Kamaluddi hanya menjawab dingin:”Ah, tidak ada apa-apa!”. (bersambung)
Perubahan sikap Kamaluddin yang sangat drastis ketika berada di Lurah Kincia, ternyata tidak hanya dirasakan oleh Syamsul Bahar menjelang rapat di Situjuah. Ketika rapat selesai, Tambiluak juga berpirilaku aneh dan ganji. Waktu itu para pejuang baru saja salam-salaman dan bermaksud hendak istirahat di Surau Makinuddin.
Ketika para pejuang mulai beristirahat, ada seseorang lelaki yang sangat antusias bercerita tentang kemenengan Belanda dan kekalahan Indonesia. Dia bahkan tertawa terbahak-bahak menceritakan itu. Syamsul Bahar yang sedang ”tidur-tidur ayam” kaget bukan kepalang mendengar cerita tersebut. Entah serius, entah berkelakar, yang jelas seumur-umur menjadi pejuang, baru kali itu Syamsul Bahar mendengar ada pemimpin dan tentara yang dengan gembira memuji musuh bernama Belanda.
Maka, timbullah tanda tanya besar di hati Syamsul Bahar. ”Siapa orang yang bercerita itu? Adakah sebuah keseriusan yang ia ucapkan?” Lalu, Syamsul yang tidur beralaskan tikar usang dan berselimut kain sarung sendiri, mengintip orang tersebut. Di balik remangnya lampu cogok (tradisionil), Syamsul bahar melihat dengan jelas wajah orang itu. Ternyata dia adalah Kamaluddin Tambiluak. Waw, mengagetkan sekali!
Setelah Peristiwa Situjuah terjadi, Tambiluak makin berprilaku aneh. Tanda-tanda keanehan Tambiluak itu terlihat ketika ia mencari-mencari Mayor A Thalib yang sedang terluka parah pada bagian paha karena ditembak oleh Belanda (lebih lengkap tentang ini nanti bisa anda baca dalam buku penulis berjudul ”Tambiluak - Secuil Tentang Peristiwa Situjuah” yang akan dilaunching Februari mendatang).
”Menantang Maut” di Padang Mangateh
Sekarang, tinggalkan dulu cerita tentang perubahan sikap dan keanehan Tambiluak, mari melayangkan pikiran pada sebuah peristiwa sejarah tanggal 23 Januari 1949, yang menjadikan Letnan Satu Kamaluddin Tambiluak sebagai aktor penting sekaligus pemeran ”antagonis”. Ketika itu terjadi pertemuan di daerah bernama Aia Randah, antara Dahlah Ibrahim, dengan Syofyan Ibrahim, dan sejumlah pula sejumlah pejuang bangsa.
Dalam pertemuan, Dahlan Ibrahim mendengarkan laporan tentang peristiwa Situjuah. Dari semua laporan, diperoleh benang merah, bahwa Letnan Satu Kamaluddin Tambiluak memang telah menjadi pengkhianat. Karenanya, dia harus diadili! Ketika rapat sedang dilangsungkan, Kamaluddin berada di Gaduik. Karenanya, untuk mengorek keterangan Tambiluak, peserta rapat sepakat, kalau dia harus dijeput. Sebagai dalih, dikatakan bahwa rapat akan dilanjutkan ke daerah Padang Mangateh, dan Tambiluak diminta kehadirannya. Rupanya, ide peserta rapat ini termakan pula oleh Tambiluak. Bak seekor buruan, dia tidak tahu kalau sudah masuk dalam perangkap. Kemudian ikut berangkat ke Padang Mangateh sekitar pukul 18.30 malam.
Akhirnya, sesampai di Padang Mangateh, sebagian rombongan yang pura-pura datang untuk rapat, langsung masuk ke dalam sebuah rumah. Sedangkan sebagian lain, berjaga-jaga di luar rumah yang konon kabarnya, merupakan bekas tempat tinggal seorang dokter hewan. Dari dalam rumah, Tambiluak akhirnya mulai diinterogasi. Ditanya ini dan itu. Namun dia justru ”dianggap” menjawab dengan bertele-tele. Tak lama kemudian, Tambiluak dipanggil ke luar rumah oleh seseorang. Belum sampai di luar rumah atau baru tiba di pintu. Seorang bernama Tobing, tiba-tiba tak bisa mehanan emosi. Diserangnya Tambiluak dengan golok. Ditebasnya bagian kepala itu hingga tinggal rambut di golok.
Ajaib sekali. Serangan untuk Tambiluak ternyata tidak tepat sasaran. Mungkin rambutnya terlalu tebal, mungkin juga karena dia pakai topi warna hitam. Tapi beberapa pelor yang ditembakkan, juga melenceng. Sehingga Tambiluak bisa melarikan diri dalam kegelapan malam. Dia melompat tebing, melewati sungai kecil. Orang-orang yang ada di Padang Mangateh, berupaya untuk mengejar. Tapi sia-sia. Tambiluak menghilang tanpa jejak. Mereka yang mencari, terpaksa kembali dengan tangan kosong. Tak lama Tambiluak akhirnya benar-benar menghilang tanpa jejak. Kemudian, beredar informasi, dia tewas dibunuh pasukan Panah Beracun yang merupakan bekas anak buahnya sendiri, di kawasan Padang Tarok.
Tambiluak Juga Pahlawan?
Kini, Kamaluddin Tambiluak memang telah tiada. Stigma pengkhianat, melekat pada tubuhnya. Tapi, di balik kematian Tambiluak, sekarang justru muncul berbagai kontraversi. Bahkan, ada yang berani menyebut Tambiluak juga pahlawan. Adalah Haji Khairuddin Makinuddin, putra mantan Wedana Militer Payakumbuh Selatan, yang menilai Tambiluak tidak bisa disebut sebagai pengkhianat di balik peristiwa Situjuah.
Sebab menurut Haji Khairuddin, beberapa hari menjelang tanggal 15 Januari 1949, pesawat capung alias helikopter milik Belanda, telah berputar-putar di sekitar Lurah Kincia. Kemungkinan besar, awak pesawat tersebut sedang mengawasi kegiatan yang dilakukan warga dan pejuang. (bersambung)
Selain alasan tersebut, Haji Khairuddin menganalisa, bisa jadi Tambiluak dicap sebagai pengkhianat, karena faktor kecumburuan sosial. Alasannya, secara ekonomi Tambiluak memang lebih mapan dari beberapa pejuang. Sebab sebelum Agresi Belanda Kedua, sosok yang pernah menjadi Wakil Kepala Intelijen Sumatera Tengah ini, pernah dipercaya untuk menukar getah dan candu dengan senjata ke Singapura.
Kamaluddin Tambiluak berangkat menaiki kapal lewat ke Sungai Siak. Namun kemudian, getah dan candu yang dibawah Tambiluak tidak jadi bertukar dengan senjata. Karena dia dicegat oleh kapal patroli Belanda yang ada di Sungai Siak. Bisa candu dan getah yang dibawa Tambiluak, tidak dia setorkan seluruhnya atau dijual. Sehingga dia memiliki sisa barang berharga itu sebagai tambahan hidup. Karenanya, tentu saja akan ada pejuang yang mengalami kecemburuan sosial.
Sebelumnya, sejarahwan UNP Mestika Zed juga pernah menyatakan, bahwa Tambiluak bukanlah pengkhianat. Ditegaskan Mestika Zed, tidak ada data kuat yang menunjukkan, bahwa Tambiluak adalah pengkhianat dalam Peristiwa Situjuh Batua 15 Januari 1949. Karena itu hanya sebatas isu yang kemudian sengaja dibesar-besarkan. Untuk mendukung pendapatnya, Mestika dalam tulisan itu memunculkan argumen dengan teori dan logika. Dia menjelaskan, bahwa ketika pagi-pagi Peristiwa Situjuah terjadi, Tambiluak lari mencari Dahlan Jambek (Pimpinan Militer Sumbar paling disegani saat itu, Red).
Akhirnya, terlepas dari berbagai versi di atas, agaknya memang perlu diambil sebuah benang merah, bahwa revolusi memang kerap memakan anak sendiri. Walau begitu bukan berarti pula, revolusi harus disalahkan. Peristiwa Situjuah adalah peristiwa besar untuk tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apapun romantika dan kisah di belakangnya, janganlah membuat Peristiwa Situjuah jadi bernilai kecil. (Fajar rillah vesky)
Sekilas Tokoh Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949 (10), Kapten Zainuddin, Penembak Jitu Berdisiplin
Jumat, 25 Januari 2008
Dia adalah tipe pejuang berkemauan keras, pantang menyerah, dan sangat menjunjung tinggi disipilin. Baginya, setiap tentara harus bisa berbuat apa saja. Kalau tidak, jangan menjadi abdi negara! Prinsip itulah yang membuat sosok dengan panggilan populer Kapten Zainuddin ”Tembak” ini, jadi disegani pasukannya di Batalyon Singa Harau. Baginya tidak ada kata menyerah sebelum dicoba. Sekali layar terkembang, pantang surut biduk kembali. Sekali senapang dikokang, pantang untuk terbuang, kecuali bersarang di tubuh penjajah. Meski demikian, sebagai manusia ciptaan Tuhan, Zainuddin juga memiliki sedikit sifat yang susah untuk dikendalikan, apalagi kalau bukan pemarah dan tempramen. Buktinya, gelar ”Kapten Tembak” yang dijuluki kepada Zainuddin, tercipta karena dia memang gampang main tembak. Dia tidak senang kalau ada anak buahnya yang tidak berdisplin, apalagi melanggar jati diri prajurit sejati.
Kapten Zainuddin sendiri menurut beberapa keterangan lahir di kawasan Lubuak Bagaluang, Kota Padang, sekitar tahun 1924 dari perempuan yang biasa dipanggil Mak Inen. Sedangkan ayahnya bernama Bachtiar, seorang pejabat pada Kantor Gemente Pemerintah Belanda di Padang. Lalu beberapa tahun terakhir, juga diperoleh informasi kalau Zainnuddin Tembak memiliki seorang putra yang sempat menjadi petinggi TNI, dia adalah almarhum Mayjend Ismed Yuzairi. Sebagai anak seorang Amtenar, Kapten Zainuddin bersekolah di HIS. Setelah itu dia melanjutkan ke MULO. Bagaimana aktivitas Zainuddin selanjutnya, tidak banyak referensi maupun sakasi sejarah tentan hal tersebut. Pada tahun 1943 para pemimpin di Sumbar mendirikan Tentara Rakyat yang dinamai Gyu Gun. Tentara Rakyat ini sama dengan Pembela Tanah Air (PETA) di Pulau Jawa. Pemuda Zainuddin dengan penuh semangat masuk Gyu Gun. Di sana dia menyelesaikan pendidikan dengan memperoleh gelar ”Minerai Sikang” alias Calon Perwira.
Waktu Kemerdekaan
Ketika Republik Indonesia sudah merdeka, Zainuddin bergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dia memperoleh tugas sebagai Wakil Komandan Perlengkapan dan Pengangkutan dengan Pangkat Kapten. Komandannya ketika itu adalah Mayor Sofyan Ibrahim. Kemudian, pada bulan Januari 1946, menurut HC Israr, Divisi III TKR di bawah komando Kolonel Dahlan Jambek, untuk pertama kalinya memanggil dan memberikan kesempatan kepada para pemuda untuk dididik menjadi Calon Opsir. Sekolah Pendidikan Opsir angkatan pertama ini dipimpin oleh Letkol Ismail Lengah. Pendidikannya berlangsung selama sembilan bulan dan sangat keras. Selesai pendidikan, hanya 84 orang yang dinyatakan lulus sampai selesai. Kemudian, pada bulan Juli 1946 Letkol Ismail Lengah diangkat menjadi Kepala Seksi Persenjataan Markas Umum Komandemen Sumatera. Sebagai pengganti Pimpinan Sekolah Pendidikan Opsir, diangkatlah Mayor Munir Latif. Kemudian untuk wakilnya sekaligus merangkap Kepala Pelatih, ditunjuk Kapten Zainuddin Tembak.
Saat Agresi II Belanda
Ketika Agresi II Belanda ”meledak” di Indonesia, Markas Batalyon III/Singa Harau terpaksa dipindahkan dari Talawi. Kapten Zainuddin yang tergabung dalam Batalyon tersebut, langsung melakukan konsolidasi dengan pasukan, tentu saja bersama Letnan Kolonen Ahmad Husein. Ketika konsolidasi dilangsungkan, Nagari Talawi sudah dipenuhi pula oleh keluarga tentara dan para pengungsi. Sehingga berbagai kesulitan logistik dan kebutuhan pokok sehari-hari mulai terasa. Akibat sulitnya mendapat perbekalan, banyak anggota pasukan yang tidak memegang senjata, disuruh untuk pulang ke kampung masing-masing beserta keluarga mereka. Kebetulan, kebanyakan anggota Bataliyon Singa Harau berasal dari Kabupaten 50 Kota.
Saat disuruh pulang tersebut, beredar pula isu bahwa mereka harus meninggalkan senjata, lalu siap-siap untuk cuti. Mungkin karena merebaknya isu tersebut, Letnan Satu Bainal Datuk Paduko Malano, mengajak kawan-kawannya untuk segera berangkat ke Payakumbuh awal Januari 1949. Dengan keyakinan, mereka tidak akan susah dalam mendapatkan perbekalan di daerah tersebut ataupun di Kabupaten Limapuluh Kota . Kedatangan pasukan Singa Harau yang terdiri dari Letnan Satu Bainal Datuk Paduko Malano CS, disusul pula oleh Opsir Muda Azwar yang merupakan Komandan Kompi Markas, yang tiba di Pakan Raba’a Gaduik pada tanggal 8 Januari 1949. Lalu besok harinya, tiba pula Komandan Bataliyon singa Harau Kapten Zainuddin Tembak. Mereka bermaksud hendak menjemput kembali pasukan pasukan Singa Harau yang pergi tanpa sepengetahuan komandan/Zainuddin mengecam keras tindakan tersebut dan menganggap sebagai sebuat pelanggaran disiplin militer. Karenanya, Zainuddin melaporkan kepada Komandan Sub Territorial Sumatera yang berkedudukan di Koto Tinggi.
Bertemu Dengan Munir Latief
Tidak lama setelah peristiwa di atas, Kapten Zainuddin Tembak bertemu dengan Mayor Munir Latief di nagari Andaleh (sekarang masuk dalam Kecamatan Luak, dulu tercatat sebagai wilayah Kewedanaan Militer Payakumbuh Selatan). Dalam pertemuan tersebut, kedua perwira ini menerima undangan rapat penting di Lurah Kincia Situjuah Batua, pada tanggal 15 Februari 1949. Karenanya, sehari sebelum rapat, Zainuddin Tembak dan Munir Latief sama-sama berangkat. Namun sebelum sampai di Situjuah Batua, mereka bermaksud akan menemui opsir muda Azwar yang sedang berada di Limbukan. Tapi kebetulan Azwar sedang pergi ke Koto Nan Ampek menemui Kapten Nurmatis, dan baru akan kembali esok harinya. Karena batal menemui Azwar Tontong, Kapten Zainuddin dan Mayor Munir Latif meneruskan perjalanan ke Situjuah Batua. Sore harinya, mereka berdua sampai di lokasi rapat. Malam hari langsung ikut berdiskusi. Tapi belum sampai Matahari esok terbit, penjajah Belanda telah duluan memberondongkan senjata. Apalah daya, Zainuddin tembak ikut menjadi syuhada.
http://www.padangekspres.co.id
Selanjutnya : Dewan Banteng dan PRRI
Rabu, 02 Mei 2012
ANWAR ST. SAIDI : Putra Minang penggagas Bank Nasional
Orang Minang memang sudah lama menjadi pedagang. Tapi sistem berdagang mereka masih bersifat tradisional: mereka menyimpan uang dan emas dalam peti atau karung yang disembunyikan di tempat yang aman di kedai atau di rumah. Mereka amat jarang berurusan dengan bank dan asuransi. Akibatnya, jika terjadi kebakaran, misalnya, uang dan harta benda mereka habis tandas dilalap “sigulambai”, seperti dicatat dalam Kitab Sjair Pasar Kampoeng Djawa Padang terbakar pada 5 Juli 1904 oleh Mohamad Thahar galar Radja Mangkoeta (Padang: De Volharding, 1906): Habis segala barang dagangan / oeang dan emas beriboe etongan / Tidak berapa dapat pertoeloengan / menjadi <h>aboe sampai bilangan (hal.2). Sampai kemudian di tahun 1930-an muncul gagasan dari seorang putra Minang untuk mendirikan bank guna memajukan usaha perdagangan dan perekonomian urang awak. Dialah Anwar St. Saidi.
Lahir di Sungai Puar tanggal 19 April 1910, pendidikan formal Anwar St. Saidi tidaklah tinggi benar: setelah tamat sekolah dasar 5 tahun (Goevernement 2de klas) di Payakumbuh, Anwar, sebagaimana biasanya pemuda-pemuda Sungai Puar, terjun ke dalam usaha dagang dan kerajinan. Ia berdagang kain di kota Bukittinggi.
Usaha dagang Anwar beroleh kemajuan. Pada tahun 1920-an ia ulang-alik ke Jawa mengurus bisnisnya. Angin nasionalisme yang sedang berhembus kencang pada waktu itu juga membakar jiwa pemuda Anwar. Pada masa itu semangat nasionalisme bisa menghinggapi jiwa kaum muda yang berpikiran maju, baik mereka yang berpendidikan akademis maupun yang bergerak di jalur swasta, misalnya perdagangan, seperti yang ditunjukkan oleh pemuda Awar.
Sambil mengurus bisnisnya ke Jawa, Anwar berhubungan dengan Dr. Soetomo yang pada tahun 1929 mendirikan Maskapai Dagang Indonesia dan Bank Nasional Indonesia di Surabaya. Tujuannya untuk memajukan perekonomian rakyat yang tertindas di bawah penjajahan Belanda. Pemuda Anwar belajar kepada Dr. Soetomo mengenai seluk-beluk dunia perbankan, dan ia ingin mengaplikasikannya di kampung halamannya sendiri di Sumatra Barat. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, anwar lalu menghubungi para saudagar anggota H.S.I. (Himpunan Saudagar Indonesia) di Bukittinggi. Kepada mereka Anwar mengutarakan maksudnya untuk mendirikan bank, mengikut model yang dibuat oleh Dr. Soetomo di Jawa.
H.S.I. menyetujui ide Anwar itu. Lalu dibentuklah Panitia Sementara (Voorlopig Committee) yang terdiri dari 10 orang, yaitu H. Mohd. Jatim, M. Dt. Mangulak Basa, H. Sjamsuddin, H. Mohd. Thaher, H.M.S. Sulaiman, Djamin Tk. Mudo, H. Sjarkawi Chalidi, Rasjid St. Tumanggung, Malin Sulaiman, dan Anwar sendiri yang berusia paling muda. Tugas panitia itu mempersiapkan dan membentuk bank yang dicita-citakan itu.
Anwar mengusulkan agar semua anggota Voorlopig Committee langsung menjadi pendiri (oprichter) bank itu, dengan menyetor modal masing-masing sebanyak Rp.5000,- sehingga terkumpul modal sebanyak Rp. 50.000,- uang masa itu.
Rupanya anggota Panitia yang lain tidak menyanggupi. Namun, Anwar tetap pada pendiriannya: sebanyak itulah minimal modal awal untuk mendirikan sebuah bank. Jumlah itu pun sebenarnya masih kecil, jauh lebih kecil dari jumlah modal milik bank-bank bangsa asing ketika itu yang punya modal ratusan ribu dan jutaan rupiah. Dalam salah satu rapat Panitia malah terlihat kecurigaan generasi tua terhadap generasi muda.
Akhirnya dicapai suatu konsensus: diusulkan buat sementara mendirikan Abuan Saudagar, menjelang didapat modal sebanyak yang dibutuhkan. Anwar setuju, paling tidak sebagai langkah awal menuju pendirian bank yang dicita-citakannya. Abuan Saudagar segera terbentuk, sekalian dengan pengurusnya: 5 orang dari kalangan Panitia 10, termasuk Anwar yang menjadi sekretaris, sedangkan seorang komisaris bukan berasal dari pendiri, yaitu Buyung St. Burhaman.
Bank yang dicita-citakan Anwar akhirnya terbentuk juga, yang diberi nama Bank Nasional, seperti nama bank yang dibentuk Dr. Soetomo di Jawa. Bank Nasional milik urang awak itu resmi berdiri tanggal 27 Desember 1930 di Bukittinggi, yang direstui oleh Dr. Soetomo dan juga oleh Bung Hatta. Ketika beliau kembali dari pembuangan di Bandaneira, Bung Hatta bersedia mendidik tiga kader Bank Nasional, yaitu Munir, Bachtul Nazar, dan Damanoeri.
Tahun 1930-an Anwar berkali-kali diangkat menjadi direktur Bank Nasional yang dirintisnya itu. Tahun 1938 ia memprakarsai berdirinya empat perusahaan yaitu, P.T. Inkorba, P.T. Bumi Putera, P.T. Andalas, dan P.T. Fort de Kock. Dalam usaha memajukan perekonomian nasional, Anwar didampingi oleh Chatib Sulaiman, Mr. Nasrun, dll.
Anwar juga mendirikan sekolah Taman Siswa di Bukittinggi. Gedungnya diberi nama Balairung Nasional (letaknya di komplek S.A.A. dulu), yang diresmikan oleh pantolan gerakan nasional, M. Yamin.
Bank Nasional dan bisnis Anwar beroleh kemajuan. Tetapi pilitik mengalami instabilitas lagi menyusul meletusnya Perang Dunia ke-2. Jepang menyerbu Indonesia, termasuk Bukittinggi. Mereka menangkapi para pemimpin pergerakan nasional, termasuk Anwar St. Saidi. Namun kemudian Anwar dibebaskan atas bantuan Bung Karno yang kebetulan waktu itu berada di Sumatra Barat.
Di zaman perang itu kegiatan Bank Nasional terus berlanjut. Karena ancaman inflasi di zaman Jepang, modal Bank Nasional coba diselamatkan dengan menjadikannya emas dan benda tetap (bangunan, tanah, dll). Pilihan itu ternyata tepat; inflasi melambung dan banyak bank swasta gulung tikar.
Anwar bersikap anti Jepang. Ketika teman-temannya, seperti M. Sjafei dan Khatib Sulaiman, mendirikan Gyugun (Laskar Rakyat) yang membantu Jepang, Anwar menolak untuk ikut. Tetapi setelah Gyugun diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) setelah proklamasi, Anwar dan Bank Nasional aktif memberikan dukungan moral dan keuangan. Selepas Jepang pergi, Anwar duduk sebagai Eksekutif Komite Nasional Indonesia (KNI) Sumatra Barat, mendampingi Dr. Djamil dan Mr. St. Mohd. Rasjid.
Pada masa revolusi fisik Anwar terjun ke dalam bisnis percetakan: ia mendirikan Percetakan Nusantara. Percetakan ini antara lain menerbitkan buku-buku Tan Malaka, bekerja sama dengan Bagian Penerangan Divisi Banteng.
Anwar juga pernah diculik oleh sekelompok Pembanteras Anti Kemerdekaan Indonesia (PAKI), tapi kemudian dibebaskan oleh TNI atas perintah Kolonel Ismail Lengah. Penculikan itu dilakukan atas hasutan Buya Saalah St. Mangkuto, yang kemudian diadili karena kesalahaannya itu. Waktu itu terjadi perselisihan tajam di antara kelompok-kelompok laskar pejuang republik di Sumatra Barat, yang puncaknya dikenal sebagai Peristiwa 3 Maret (lihat: Audrey R. Kahin, “Some Preliminary Observations on West Sumatra during the Revolution”, Indonesia 18 [October 1974]: 77-117 [pada hal.95-8]). Namun, kemudian laskar-laskar pejuang bersatu lagi menghadapi Agresi Militer Belanda I. Anwar dan Buya Saalah St. Mangkuto malah bahu-membahu melawan Belanda yang hendak menjajah Indonesia kembali.
Setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, Anwar kembali membenahi Bank Nasional, dibantu oleh Dt. Pamuncak. Tahun 1951 bank itu sudah berperasi kembali, dan menunjukkan perkembangan: neraca bank itu per Desember 1957 mencatat angka sebanyak kurang lebih Rp. 66 juta. Badan-badan usaha yang dikelola Bank Nasional juga dibenahinya: N.V. Inkorba dijadikan perusahaan induk yang membawahi N.V. Candi Minang dan N.V. Nusantara.
Anwar juga membangun Hotel Minang di Bukittinggi dan di tepian Danau Maninjau. Walaupun punya banyak uang ia tidak membeli tanah rakyat di tepian Danau Maninjau itu, tapi tetap menyewanya, agar ekonomi rakyat tetap hidup (Sastri Sunarti, email 10-07-2006). Kemudian ia membenahi Percetakan Nusantara dengan menyertakan saham-saham bumiputera. Percetakan ini kemudian menjadi yang terbesar di Sumatra Tengah.
Instabilitas politik kembali terjadi di Sumatra Barat menyusul peristiwa PRRI, yang berdampak kepada bisnis Anwar dan Bank Nasional. Jika instabilitas politik terjadi, Anwar biasanya ‘meloncat’ ke bidang politik. Tahun 1960 Anwar ditunjuk menjadi angota DEPERNAS (Dewan Perancang Nasional) sebagai tenaga ahli. Karena keahliannya di bidang ekonomi, Anwar kemudian diangkat pula menjadi anggota MPRS. Namun, naluri bisnisnya tetap hidup: tahun 1964 ia terjun ke bisnis tekstil, antara lain dengan mengaktifkan kembali pabrik tenun TPA (Tenun Padang Asli) yang sudah lama ditutup.
Pada akhir 1990-an, di zaman Gubernur Hasan Basri Durin, aset Bank Nasional yang dirintisnya diambil alih oleh Grup Bakri, namanya berubah menjadi Bank Nusa Bakri Group. Di salah satu situs internet urang awak saya baca sebuah surat pembaca: inilah salah satu ‘dosa’ Hasan Basri Durin, yaitu merestui pengambilalihan Bank Nasional oleh Grup Bakrie.
Gelombang ekonomi dan politik telah menarik sebagian besar hidup Anwar St. Saidi. Sumbangsihnya terhadap Indonesia, Sumatra Barat khususnya, cukup besar, baik di bidang ekonomi maupun politik (lihat: Audrey R. Kahin, “Repression and Regroupment: Religious and Nationalist Organizations in West Sumatra in the 1930s”, Indonesia 38 [October 1984]: 39-54).
Anwar St. Saidi adalah pengusaha yang rendah hati: di ulang tahunnya ke-60 tahun 1970 di kartu undangan ditulisnya: “tak usah membawa karangan bunga”. Beliau meninggal di Padang bulan Juni 1976. Penulisan biografi singkat beliau ini, dan juga fotonya ini, sebagian besar merujuk kepada tulisan Aziz Thaib dkk., yaitu Buku Peringatan 40 Tahun P.T. Bank Nasional (Bukittinggi: P.T. Bank Nasional, 1970:349-51). Anwar St. Saidi dan Bank Nasional yang dirintisnya adalah bagian dari jejak sejarah Minang yang harus dicatat dalam Ensiklopedi Minangkabau.
Suryadi
Dosen dan peneliti pada Dept. of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania Leiden University, Belanda ( s.suryadi at let.leidenuniv.nl)
Langganan:
Postingan (Atom)