Rabu, 02 Mei 2012

ANWAR ST. SAIDI : Putra Minang penggagas Bank Nasional


Orang Minang memang sudah lama menjadi pedagang. Tapi sistem berdagang mereka masih bersifat tradisional: mereka menyimpan uang dan emas dalam peti atau karung yang disembunyikan di tempat yang aman di kedai atau di rumah. Mereka amat jarang berurusan dengan bank dan asuransi. Akibatnya, jika terjadi kebakaran, misalnya, uang dan harta benda mereka habis tandas dilalap “sigulambai”, seperti dicatat dalam Kitab Sjair Pasar Kampoeng Djawa Padang terbakar pada 5 Juli 1904 oleh Mohamad Thahar galar Radja Mangkoeta (Padang: De Volharding, 1906): Habis segala barang dagangan / oeang dan emas beriboe etongan / Tidak berapa dapat pertoeloengan / menjadi <h>aboe sampai bilangan (hal.2). Sampai kemudian di tahun 1930-an muncul gagasan dari seorang putra Minang untuk mendirikan bank guna memajukan usaha perdagangan dan perekonomian urang awak. Dialah Anwar St. Saidi.
Lahir di Sungai Puar tanggal 19 April 1910, pendidikan formal Anwar St. Saidi tidaklah tinggi benar: setelah tamat sekolah dasar 5 tahun (Goevernement 2de klas) di Payakumbuh, Anwar, sebagaimana biasanya pemuda-pemuda Sungai Puar, terjun ke dalam usaha dagang dan kerajinan. Ia berdagang kain di kota Bukittinggi.
Usaha dagang Anwar beroleh kemajuan. Pada tahun 1920-an ia ulang-alik ke Jawa mengurus bisnisnya. Angin nasionalisme yang sedang berhembus kencang pada waktu itu juga membakar jiwa pemuda Anwar. Pada masa itu semangat nasionalisme bisa menghinggapi jiwa kaum muda yang berpikiran maju, baik mereka yang berpendidikan akademis maupun yang bergerak di jalur swasta, misalnya perdagangan, seperti yang ditunjukkan oleh pemuda Awar.
Sambil mengurus bisnisnya ke Jawa, Anwar berhubungan dengan Dr. Soetomo yang pada tahun 1929 mendirikan Maskapai Dagang Indonesia dan Bank Nasional Indonesia di Surabaya. Tujuannya untuk memajukan perekonomian rakyat yang tertindas di bawah penjajahan Belanda. Pemuda Anwar belajar kepada Dr. Soetomo mengenai seluk-beluk dunia perbankan, dan ia ingin mengaplikasikannya di kampung halamannya sendiri di Sumatra Barat. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, anwar lalu menghubungi para saudagar anggota H.S.I. (Himpunan Saudagar Indonesia) di Bukittinggi. Kepada mereka Anwar mengutarakan maksudnya untuk mendirikan bank, mengikut model yang dibuat oleh Dr. Soetomo di Jawa.
H.S.I. menyetujui ide Anwar itu. Lalu dibentuklah Panitia Sementara (Voorlopig Committee) yang terdiri dari 10 orang, yaitu  H. Mohd. Jatim, M. Dt. Mangulak Basa, H. Sjamsuddin, H. Mohd. Thaher, H.M.S. Sulaiman, Djamin Tk. Mudo, H. Sjarkawi Chalidi, Rasjid St. Tumanggung, Malin Sulaiman, dan Anwar sendiri yang berusia paling muda. Tugas panitia itu mempersiapkan dan membentuk bank yang dicita-citakan itu.
Anwar mengusulkan agar semua anggota Voorlopig Committee langsung menjadi pendiri (oprichter) bank itu, dengan menyetor modal masing-masing sebanyak Rp.5000,- sehingga terkumpul modal sebanyak Rp. 50.000,- uang masa itu.
Rupanya anggota Panitia yang lain tidak menyanggupi. Namun, Anwar tetap pada pendiriannya: sebanyak itulah minimal modal awal untuk mendirikan sebuah bank. Jumlah itu pun sebenarnya masih  kecil, jauh lebih kecil dari jumlah modal milik bank-bank bangsa asing ketika itu yang punya modal ratusan ribu dan jutaan rupiah. Dalam salah satu rapat Panitia malah terlihat kecurigaan generasi tua terhadap generasi muda.
Akhirnya dicapai suatu konsensus: diusulkan buat sementara mendirikan Abuan Saudagar, menjelang didapat modal sebanyak yang dibutuhkan. Anwar setuju, paling tidak sebagai langkah awal menuju pendirian bank yang dicita-citakannya. Abuan Saudagar segera terbentuk, sekalian dengan pengurusnya: 5 orang dari kalangan Panitia 10, termasuk Anwar yang menjadi sekretaris, sedangkan seorang komisaris bukan berasal dari pendiri, yaitu Buyung St. Burhaman.
Bank yang dicita-citakan Anwar akhirnya terbentuk juga, yang  diberi nama Bank Nasional, seperti nama bank yang dibentuk Dr. Soetomo di Jawa. Bank Nasional milik urang awak itu resmi berdiri tanggal 27 Desember 1930 di Bukittinggi, yang direstui oleh Dr. Soetomo dan juga oleh Bung Hatta. Ketika beliau kembali dari pembuangan di Bandaneira, Bung Hatta bersedia mendidik tiga kader Bank Nasional, yaitu Munir, Bachtul Nazar, dan Damanoeri.
Tahun 1930-an Anwar berkali-kali diangkat menjadi direktur Bank Nasional yang dirintisnya itu. Tahun 1938 ia memprakarsai berdirinya empat perusahaan yaitu, P.T. Inkorba, P.T. Bumi Putera, P.T. Andalas, dan P.T. Fort de Kock. Dalam usaha memajukan perekonomian nasional, Anwar didampingi oleh Chatib Sulaiman, Mr. Nasrun, dll.
Anwar juga mendirikan sekolah Taman Siswa di Bukittinggi. Gedungnya diberi nama  Balairung Nasional (letaknya di komplek S.A.A. dulu), yang diresmikan oleh pantolan gerakan nasional,  M. Yamin.
Bank Nasional dan bisnis Anwar beroleh kemajuan. Tetapi pilitik mengalami instabilitas lagi menyusul meletusnya Perang Dunia ke-2. Jepang menyerbu Indonesia, termasuk Bukittinggi. Mereka menangkapi para pemimpin pergerakan nasional, termasuk Anwar St. Saidi. Namun kemudian Anwar dibebaskan atas bantuan Bung Karno yang kebetulan waktu itu berada di Sumatra Barat.
Di zaman perang itu kegiatan Bank Nasional terus berlanjut. Karena ancaman inflasi di zaman Jepang, modal Bank Nasional coba diselamatkan dengan menjadikannya emas dan benda tetap (bangunan, tanah, dll). Pilihan itu ternyata tepat; inflasi melambung dan banyak bank swasta gulung tikar.
Anwar bersikap anti Jepang. Ketika teman-temannya, seperti M. Sjafei dan Khatib Sulaiman, mendirikan Gyugun (Laskar Rakyat) yang membantu Jepang, Anwar menolak untuk ikut. Tetapi setelah Gyugun diubah menjadi  Tentara Keamanan Rakyat (TKR) setelah proklamasi, Anwar dan Bank Nasional aktif memberikan dukungan moral dan keuangan. Selepas Jepang pergi, Anwar duduk sebagai Eksekutif Komite Nasional Indonesia (KNI) Sumatra Barat, mendampingi Dr. Djamil dan Mr. St. Mohd. Rasjid.
Pada masa revolusi fisik Anwar terjun ke dalam bisnis percetakan: ia mendirikan Percetakan Nusantara. Percetakan ini antara lain menerbitkan buku-buku Tan Malaka, bekerja sama dengan Bagian Penerangan Divisi Banteng.
Anwar juga pernah diculik oleh sekelompok Pembanteras Anti Kemerdekaan Indonesia (PAKI), tapi kemudian dibebaskan oleh TNI atas perintah Kolonel Ismail Lengah. Penculikan itu dilakukan atas hasutan Buya Saalah St. Mangkuto, yang kemudian diadili karena kesalahaannya itu. Waktu itu terjadi perselisihan tajam di antara kelompok-kelompok laskar pejuang republik di Sumatra Barat, yang puncaknya dikenal sebagai Peristiwa 3 Maret (lihat: Audrey R. Kahin, “Some Preliminary Observations on West Sumatra during the Revolution”, Indonesia 18 [October 1974]: 77-117 [pada hal.95-8]). Namun, kemudian laskar-laskar pejuang bersatu lagi menghadapi Agresi Militer Belanda I. Anwar dan Buya Saalah St. Mangkuto malah bahu-membahu melawan Belanda yang hendak menjajah Indonesia kembali.
Setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, Anwar kembali membenahi Bank Nasional, dibantu oleh Dt. Pamuncak. Tahun 1951 bank itu sudah berperasi kembali, dan menunjukkan perkembangan: neraca bank itu per Desember 1957 mencatat angka sebanyak kurang lebih Rp. 66 juta. Badan-badan usaha yang dikelola Bank Nasional juga dibenahinya: N.V. Inkorba dijadikan perusahaan induk yang membawahi N.V. Candi Minang dan N.V. Nusantara.
Anwar juga membangun Hotel Minang di Bukittinggi dan di tepian Danau Maninjau. Walaupun punya banyak uang ia tidak membeli tanah rakyat di tepian Danau Maninjau itu, tapi tetap menyewanya, agar ekonomi rakyat tetap hidup (Sastri Sunarti, email 10-07-2006). Kemudian ia membenahi Percetakan Nusantara dengan menyertakan saham-saham bumiputera. Percetakan ini kemudian menjadi yang terbesar di Sumatra Tengah.
Instabilitas politik kembali terjadi di Sumatra Barat menyusul peristiwa PRRI, yang berdampak kepada bisnis Anwar dan Bank Nasional. Jika instabilitas politik terjadi, Anwar biasanya ‘meloncat’ ke bidang politik. Tahun 1960 Anwar ditunjuk menjadi angota DEPERNAS (Dewan Perancang Nasional) sebagai tenaga ahli. Karena keahliannya di bidang ekonomi, Anwar kemudian diangkat pula menjadi anggota MPRS. Namun, naluri bisnisnya tetap hidup: tahun 1964 ia terjun ke bisnis tekstil, antara lain dengan mengaktifkan kembali pabrik tenun TPA (Tenun Padang Asli) yang sudah lama ditutup.
Pada akhir 1990-an, di zaman Gubernur Hasan Basri Durin, aset Bank Nasional yang dirintisnya diambil alih oleh Grup Bakri, namanya berubah menjadi Bank Nusa Bakri Group. Di salah satu situs internet urang awak saya baca sebuah surat pembaca: inilah salah satu ‘dosa’ Hasan Basri Durin, yaitu merestui pengambilalihan Bank Nasional oleh Grup Bakrie.
Gelombang ekonomi dan politik telah menarik sebagian besar hidup Anwar St. Saidi. Sumbangsihnya terhadap Indonesia, Sumatra Barat khususnya, cukup besar, baik di bidang ekonomi maupun politik (lihat: Audrey R. Kahin, “Repression and Regroupment: Religious and Nationalist Organizations in West Sumatra in the 1930s”, Indonesia 38 [October 1984]: 39-54).
Anwar St. Saidi adalah pengusaha yang rendah hati: di ulang tahunnya ke-60 tahun 1970 di kartu undangan ditulisnya: “tak usah membawa karangan bunga”.  Beliau meninggal di Padang bulan Juni 1976. Penulisan biografi singkat beliau ini, dan juga fotonya ini, sebagian besar merujuk kepada tulisan Aziz Thaib dkk., yaitu Buku Peringatan 40  Tahun P.T. Bank Nasional (Bukittinggi: P.T. Bank Nasional, 1970:349-51). Anwar St. Saidi dan Bank Nasional yang dirintisnya adalah bagian dari jejak sejarah Minang yang harus dicatat dalam Ensiklopedi Minangkabau.
Suryadi
Dosen dan peneliti pada Dept. of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania Leiden University, Belandas.suryadi at let.leidenuniv.nl)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar