Rabu, 06 Juni 2012

Benteng Keraton Buton, Bau Bau. 1597


Kota Bau-Bau di Sulawesi Tenggara merupakan kawasan seribu pulau, seribu benteng dan istilah seribu lainnya. Pulau Buton (Kota Bau-Bau) secara geografis merupakan kawasan timur jazirah tenggara pulau Celebes/Sulawesi. Di Bau-Bau ada objek wisata dan bangunan bersejarah yang sangat terkenal, yakni Benteng Keraton Buton.
Benteng Keraton Buton adalah bekas peninggalan Kesultanan Wolio/Buton dan biasa disebut Benteng Keraton Wolio. Benteng Keraton ini juga masuk Guiness of Record tahun 2006 dan rekor MURI sebagai benteng terluas di dunia. Panjang keliling benteng tersebut 3 kilometer dengan tinggi rata-rata 4 meter dan lebar (tebal) 2 meter.
Bangunannya terdiri atas susunan batu gunung bercampur kapur dengan bahan perekat dari agar-agar, sejenis rumput laut. Luas seluruh kompleks keraton yang dikitari benteng meliputi 401.911 meter persegi. Area yang demikian luas itu mengalahkan benteng terluas di dunia sebelumnya yang berada di Denmark.
Dengan demikian, Benteng Keraton tercatat sebagai yang terluas di dunia. Luasnya benteng ini bukan sekadar isapan jempol, di dalam kompleks benteng melingkupi satu wilayah kelurahan, dengan nama kelurahan Melai, dan tercatat sebagai salah satu kawasan terpadat di kota ini.
Banyak objek menarik di dalam benteng Keraton Wolio itu. Di sana ada batu Wolio, batu popaua, masjid agung, makam Sultan Murhum (Sultan Buton pertama), Istana Badia, dan meriam-meriam kuno. Batu Wolio adalah sebuah batu biasa berwarna gelap. Besarnya kurang lebih sama dengan seekor lembu sedang duduk berkubang. Konon, di sekitar batu inilah rakyat setempat menemukan seorang putri jelita bernama Wakaa-Kaa yang dikatakan berasal dari Tiongkok.
Ada satu hal menarik yang patut diketahui mengenai keberadaan benteng Keraton Buton, yakni sebuah benteng yang tidak hanya berdiri dan diam membisu, tetapi di dalam kawasan benteng keraton terdapat aktivitas masyarakat yang tetap melakukan berbagai macam ritual layaknya yang terjadi pada masa kesultanan berabad-abad lalu.
Di dalam kawasan benteng terdapat permukiman penduduk yang merupakan pewaris keturunan dari para keluarga bangsawan Keraton Buton masa lalu. Di tempat ini juga terdapat situs peninggalan sejarah masa lalu yang masih tetap terpelihara dengan baik. Di tengah benteng terdapat sebuah masjid tua dan tiang bendera yang usianya seumur masjid. Yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Buton III La Sangaji Sultan Kaimuddin atau dikenal dengan julukan ‘Sangia Makengkuna’ yang memegang takhta antara tahun 1591-1597.
Benteng ini memiliki panjang 2.740 meter yang mengelilingi perkampungan adat asli Buton dengan rumah-rumah tua yang tetap terpelihara hingga saat ini. Masyarakat yang bermukim di kawasan benteng ini juga masih menerapkan budaya asli yang dikemas dalam beragam tampilan seni budaya yang kerap ditampilkan pada upacara upacara adat.
Tetapi, ada sedikit bau mistik di dalam masjid tua itu. Di belakang mimbar khatib atau di ujung kepala imam tatkala dalam keadaan sujud terdapat pintu gua yang disebut ”pusena tanah” (pusat bumi) oleh orang-orang tua di Buton. Konon dari dalam gua itu keluar suara azan pada suatu hari Jumat. Peristiwa itu menjadi latar belakang pendirian masjid di tempat tersebut.
Ketika masjid itu direhabilitasi pada tahun 1930-an, pintu gua tadi ditutup dengan semen sehingga ukurannya lebih kecil menjadi sebesar bola kaki. Lubangnya diberi penutup dari papan yang bisa dibuka oleh siapa yang ingin melihat pintu gua itu.
Di salah sebuah kamar Kamali (istana) Badia, masih di kompleks keraton, terdapat meriam bermoncong naga. Meriam bersimbol naga tersebut dibawa leluhurnya Wakaa-kaa dari Tiongkok sekitar 700 tahun silam.
Meriam itu masih memiliki peluru dan masih bisa diledakkan. Kamali Badia itu sendiri tidak lebih dari rumah konstruksi kayu khas Buton sebagaimana rumah anjungan Sultra di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Sesuai tradisi, rumah atau istana Kesultanan Buton harus dibuat keluarga sultan dengan biaya sendiri.
Khusus Benteng Keraton Buton yang aslinya disebut Keraton Wolio dibangun pada masa pemerintahan Sultan Buton VI (1632-1645), bernama Gafurul Wadudu. Benteng ini berbentuk huruf dhal dalam alpabet Arab yang diambil dari huruf terakhir nama Nabi Muhammad SAW.
Benteng Keraton Wolio memiliki 12 pintu gerbang dan 16 pos jaga (bastion). Tiap pintu gerbang (lawa) dan bastion dikawal empat sampai enam meriam. Pada pojok kanan sebelah selatan terdapat godana-oba (gudang mesiu) dan gudang peluru di sebelah kiri.
Konon pada masa pembuatan benteng keraton ini bahan baku utama yang digunakan adalah batu-batu gunung yang disusun rapi dengan kapur dan rumput laut (agar-agar) serta putih telur sebagai bahan perekat.
Peninggalan Dunia
Direktorat Sejarah dan Purbakala, Kementrian Pariwisata dan Kebudayaan RI, Syaiful Mujahid SH, di Baubau, mengatakan bahwa potensi cagar budaya yang dimiliki benteng keraton Buton sangat luar biasa, Benteng Keraton Buton memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan benteng lainnya.
“Melihat potensi tersebut kami akan memasukan Benteng Keraton Buton dalam nominasi kawasan Cagar Budaya Nasional dan akan diusulkan masuk daftar peninggalan dunia,” katanya.
Ia menambahkan, potensi cagar budaya di Kota Baubau sangat besar. Selain itu, banyak pula peninggalan-peninggalan sejarah di dalamnya. salah Satunya Benteng Keraton Buton yang merupakan benteng terluas dan terpanjang di dunia.
“Kami berharap benteng ini dapat terpelihara, dan dapat memberikan informasi penting tentang peninggalan budaya masa lalu yang ada di Kota Baubau ini,” tambahnya.
Menurut Syaiful, sebagai langkah awal pihaknya akan menominasikan pertama masuk ke dalam kawasan cagar budaya secara nasional, kemudian pihaknya akan mengusulkan masukan ke dalam daftar peninggalan budaya dunia.
Lanjut Syaiful, kembalinya kebudayaan pada Kementrian Pendidikan merupakan momen yang tepat untuk melirik sejarah Buton untuk dimasukan dalam kurikulum pendidikan sejarah nasional,
“Ini adalah momen yang tepat, kembalinya bidang kebudayaan kepada dunia pendidikan, tentu kita akan lebih mampu membuat silabus atau membuat bahan pengajaran kurikulum yang berkaitan dengan muatan lokal,” lanjutnya.
Ia menambahkan, termasuk untuk pendidikan sejarah nasional. Namun, pihaknya akan melihat konteks kesejarahan Buton dalam konteks sejarah nasional.
“Kita dapat menempatkan sebagai bagian dari itu, yang diperukan adalah informasi dan banyak peneliti-peneliti yang mengungkapkan itu, ya kenapa tidak, supaya bisa masuk dalam kurikulum sejarah nasional,” tegas Syaiful.
Sumber: kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar