In Historia, Politik on May 23, 2012 at 10:48 AM
APAKAH orang-orang yang oleh Jenderal Soeharto tak ingin diterima dan dijumpai lagi, setelah lengser, bisa dianggap bagaikan Brutus bagi mantan Presiden kedua Republik Indonesia itu? Sejauh yang bisa dicatat, Soeharto tak pernah terbuka mengatakan keengganannya terhadap orang-orang yang masuk ‘daftar hitam’. Namun, ada orang-orang tertentu yang memang tak lagi diterima kedatangannya seperti sediakala di Jalan Cendana. Dua di antaranya adalah Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita dan Menteri Perumahan Rakyat Akbar Tandjung, yang pada 20 Mei 1998 bersama duabelas menteri bidang ekonomi lainnya mengajukan surat menyatakan tak bersedia ikut dalam kabinet reformasi yang akan dibentuk Presiden Soeharto.
Dalam sudut pandang hitam-putih, di mata Soeharto, sebelas menteri ini bagaikan awak kapal yang meloncat awal saat menduga kapal akan karam, dan bukannya lebih dulu ikut mencoba menyelamatkan kapal. Meminjam uraian Donald K. Emerson dalam buku ‘Indonesia Beyond Soeharto’ (Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2001, edisi bahasa Indonesia), bagi Soeharto, pembelotan para menteri pada 20 Mei merupakan pukulan terakhir, atau penutupan pintu terakhir. Pada malam hari itu juga setelah menerima laporan tentang surat Ginandjar dan kawan-kawan itu dari Saadilah Mursjid, Soeharto memutuskan untuk berhenti dan melaksanakan niat itu esok harinya, meski sempat meminta Habibie ‘membujuk’ mereka.
Pukulan lain, sebelumnya diterima Soeharto dari Harmoko –yang oleh Indonesianis William Liddle disebut sebagai “pembantu lama dan setia dari Soeharto”– yang dalam tempo kurang dari tiga bulan telah memainkan dua lakon berbeda. Pada tanggal 10 Maret 1998, sebagai Ketua MPR, Harmoko sukses mengendalikan Sidang Umum MPR untuk memperpanjang masa kepresidenan Soeharto sekali lagi, untuk periode 1998-2003. Presiden Soeharto yang beberapa kali sebelumnya –sejak pidato miris sejak 10 tahun sebelumnya di acara HUT Golkar 1987–melakukan ‘duga dalamnya air’ dengan pernyataan-pernyataan seakan tak terlalu menghendaki lagi terus menerus dipilih sebagai Presiden RI, ‘berhasil diyakinkan’ Akan tetapi dalam suatu keterangan pers di sore hari 18 Mei 1998 dari mulut Harmoko pula keluar kalimat “Pimpinan Dewan baik Ketua maupun Wakil-wakil Ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri”. Pernyataan ini disambut gegap gempita oleh massa mahasiswa yang telah menduduki halaman gedung MPR/DPR itu. Keberhasilan massa mahasiswa menduduki gedung perwakilan rakyat itu, tak terlepas dari kesempatan yang diberikan Jenderal Wiranto, Panglima ABRI kala itu. Peran Wiranto ini, menjadi suatu cerita tersendiri lainnya.
Kesetiaan bagai selembar kertas tisu. APAKAH kesetiaan Harmoko kepada Soeharto yang telah mengangkat posisi dan karir politiknya ke tempat yang begitu tinggi, memang hanya setipis dan serapuh selembar kertas tisu? Mungkin saja, tapi yang jelas, Harmoko juga tertekan oleh situasi makin meningkatnya gerakan perlawanan yang menuntut Presiden Soeharto turun tahta. Hanya beberapa hari sebelum pernyataan pers itu, rumah keluarga Harmoko di Solo dibakar massa. Agaknya ini yang menambah ‘ketakutan’ Harmoko, sehingga balik badan ikut arus. Dalam percakapan politik sehari-hari sebelumnya, Harmoko tergambarkan memiliki kesetiaan, atau tepatnya kepatuhan berkadar tinggi kepada Soeharto sehingga bisa melakukan apapun untuk sang pemimpin. Saat menjadi Menteri Penerangan beberapa periode ia melakukan safari ke mana-mana untuk sang Bapak Pembangunan dan menjadi juru bicara yang ‘terbaik’ bagi sang pemimpin. Dan menciptakan kelompencapir segala macam buat sang Presiden. Untuk itu, namanya sampai dijadikan akronim bagi “Hari-hari Omong Kosong”. Sebuah pertanyaan dalam humor politik yang beredar berbunyi “Kenapa rambut Harmoko belah miring?”, dan mendapat jawaban “Sesuai petunjuk bapak Presiden”.
Harmoko sepanjang yang bisa diketahui, termasuk di antara deretan orang yang tak lagi mau diterima dan ditemui Soeharto. Tetapi menurut buku yang menjadikan Harmoko sebagai narasumber utama, ‘Berhentinya Soeharto, Fakta dan Kesaksian Harmoko’ (Firdaus Syam, Penerbit Gria Media Prima, 2008) yang terbit setelah meninggalnya Soeharto, saat mantan Presiden itu menjelang kematian di Rumah Sakit, Harmoko datang bersama santri pondok pesantren Al Barokah Nganjuk untuk mendoakan. BJ Habibie dalam pada itu, saat datang menjenguk Soeharto di Rumah Sakit tak diberi kesempatan oleh pihak keluarga untuk menemui Soeharto. Apa salah BJ Habibie? Ketika Presiden Soeharto menyampaikan niatnya untuk lengser, ia memaksudkan mundur satu paket bersama Wakil Presiden BJ Habibie. Namun, saat Soeharto mengutarakan rencana ini ke BJ Habibie, ia ini dengan sigap menukas, bahwa bila Presiden mengundurkan diri, menurut konstitusi, dengan sendirinya Wakil Presiden naik menggantikan. Sejak itu Soeharto tak mau lagi menyapa Habibie. Sewaktu berjalan ke ruangan Istana tempat akan menyampaikan keputusannya mengundurkan diri, Soeharto melewati Habibie tanpa menoleh dan menyapa sedikitpun. Habibie menceritakan kemudian, ia sangat sakit hati diperlakukan seperti itu oleh Soeharto.
Tokoh lain yang tak pernah bisa menemui Soeharto lagi sampai akhir hayatnya, adalah Ginandjar Kartasasmita. Mantan Wakil Presiden Sudharmono berkali-kali mencoba mengusahakan mempertemukan Ginandjar dengan Soeharto, tapi Soeharto tak pernah mengabulkan. Ini berbeda dengan Akbar Tandjung, yang pada salah satu Idul Fitri bisa dipertemukan oleh Sudharmono untuk bersilaturahmi dengan Soeharto. Agaknya, Soeharto masih memberi kategori berbeda di antara keduanya. Akbar Tandjung tidak pernah menjadi lingkaran dalam, sementara Ginandjar sempat menjadi salah satu di antara golden boys dan masuk lingkaran dalam, sehingga lebih tak terampunkan pembelotannya.
Secara manusiawi, perlu juga dipahami bahwa apa yang dilakukan Harmoko atau Ginandjar Kartasasmita yang dengan cepat ikut arus bah anti Soeharto, buru-buru melompat dari kapal yang akan karam, tak lain adalah bagian dari survival of the fittest di arena politik dan kekuasaan. Juga, sambil menyelam minum air, dalam artian menyelamatkan diri sambil memesan tempat dalam barisan reformasi. Tidak peduli akan digolongkan kaum Brutus atau sebaliknya sekedar sebagai batu pijakan reformasi atau syukur-syukur ikut dianggap jadi pahlawan bagi era reformasi. Inilah yang disebut seni akrobat politik. Mereka yang kurang gesit, dan mungkin agak gugup dan rada ‘bodoh’ atau kurang pintar, cenderung memilih tiarap di sudut netral. Sementara itu, mereka yang ditendang keluar dari rezim Soeharto sebelumnya, entah karena korupsi di luar sistem dan konvensi, entah melakukan kesalahan fatal lainnya, menggunakan kesempatan untuk bersih diri dengan mengidealisir diri sebagai tokoh yang ditendang karena melawan Soeharto.
Terlepas dari ada maaf atau tidak, Ginandjar Kartasasmita sempat berjaya dalam melanjutkan karir politik maupun karirnya dalam kekuasaan. Ini ada lika-liku ceritanya. Dalam penuturan Donald K. Emerson, yang sekali lagi dipinjam di sini, sehari setelah Ginandjar dan Akbar Tandjung memimpin para menteri bidang ekonomi menulis surat menolak untuk ikut lagi dalam kabinet Soeharto yang akan dibentuk, Soeharto meminta Habibie membujuk mereka mengubah niat. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, Habibie menggunakan kesempatan itu untuk meminta para menteri bidang ekonomi supaya mendukung dirinya seandainya Presiden nanti berhenti dan diganti Habibie. “Ginandjar dan Akbar diberi imbalan dua hari kemudian ketika Habibie yang sudah menjadi presiden, mengangkat mereka dalam kabinetnya yang pertama”. Ginandjar dalam kedudukan yang sama yang dipegangnya sebelumnya, Akbar sebagai Menteri Sekertaris Negara. “Ketidaksetiaan, kalau hanya berasal dari seorang atau dua orang menteri yang kurang kunci kedudukannya, mungkin tidak akan berakibat fatal. Sedangkan semangat besar Soeharto bagi pertumbuhan ekonomi, yang data statistiknya mengisi pidato-pidatonya, mungkin sekali menimbulkan kesakitan yang dirasakannya, meningkat akibat ambruknya pembangunan kesayangannya serta murtadnya mereka yang justru dipercayainya untuk memulihkan ekonomi itu”.
Apapun soalnya, setelah itu karir politik Ginandjar dan Akbar terus melesat. Akbar kemudian berhasil menjadi Ketua Umum Golkar yang secara retoris selalu dinyatakan sebagai Golkar Baru. Ginandjar Kartasasmita bersama tokoh HAM Marzuki Darusman mendampingi kepemimpinan Akbar dalam Golkar Baru (Partai Golkar). Ketua Umum DPP Golkar 1982-1987, Sudharmono SH, menyebut mereka bertiga sebagai triumvirat tumpuan harapan baru menyelamatkan Golkar. Maka, ketika Marzuki Darusman SH dalam kedudukan Jaksa Agung RI menyeret dan menangkap Ginandjar Kartasasmita dengan tuduhan korupsi di masa Soeharto, Sudharmono menjadi orang yang paling kecewa. Ia mencoba melunakkan Marzuki Darusman yang tetap bersikeras, melalui seorang yang adalah kenalan kedua-duanya. Akhirnya Ginandjar lolos melalui upaya berbagai pihak, termasuk unsur tentara, dimulai dengan memenangkan pra-peradilan di PN Jakarta Selatan yang dikenal kemudian sebagai salah satu kuburan kasus-kasus korupsi. Belakangan, Marzuki Darusman lah yang justru terhenti dari posisi Jaksa Agung, yang tak terlepas dari konspirasi gabungan kekuatan korup lama dan baru yang berhasil memelihara eksistensi dalam era reformasi.
Berlanjut ke Bagian 2
(sociopoliica's blog)
APAKAH orang-orang yang oleh Jenderal Soeharto tak ingin diterima dan dijumpai lagi, setelah lengser, bisa dianggap bagaikan Brutus bagi mantan Presiden kedua Republik Indonesia itu? Sejauh yang bisa dicatat, Soeharto tak pernah terbuka mengatakan keengganannya terhadap orang-orang yang masuk ‘daftar hitam’. Namun, ada orang-orang tertentu yang memang tak lagi diterima kedatangannya seperti sediakala di Jalan Cendana. Dua di antaranya adalah Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita dan Menteri Perumahan Rakyat Akbar Tandjung, yang pada 20 Mei 1998 bersama duabelas menteri bidang ekonomi lainnya mengajukan surat menyatakan tak bersedia ikut dalam kabinet reformasi yang akan dibentuk Presiden Soeharto.
Dalam sudut pandang hitam-putih, di mata Soeharto, sebelas menteri ini bagaikan awak kapal yang meloncat awal saat menduga kapal akan karam, dan bukannya lebih dulu ikut mencoba menyelamatkan kapal. Meminjam uraian Donald K. Emerson dalam buku ‘Indonesia Beyond Soeharto’ (Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2001, edisi bahasa Indonesia), bagi Soeharto, pembelotan para menteri pada 20 Mei merupakan pukulan terakhir, atau penutupan pintu terakhir. Pada malam hari itu juga setelah menerima laporan tentang surat Ginandjar dan kawan-kawan itu dari Saadilah Mursjid, Soeharto memutuskan untuk berhenti dan melaksanakan niat itu esok harinya, meski sempat meminta Habibie ‘membujuk’ mereka.
Pukulan lain, sebelumnya diterima Soeharto dari Harmoko –yang oleh Indonesianis William Liddle disebut sebagai “pembantu lama dan setia dari Soeharto”– yang dalam tempo kurang dari tiga bulan telah memainkan dua lakon berbeda. Pada tanggal 10 Maret 1998, sebagai Ketua MPR, Harmoko sukses mengendalikan Sidang Umum MPR untuk memperpanjang masa kepresidenan Soeharto sekali lagi, untuk periode 1998-2003. Presiden Soeharto yang beberapa kali sebelumnya –sejak pidato miris sejak 10 tahun sebelumnya di acara HUT Golkar 1987–melakukan ‘duga dalamnya air’ dengan pernyataan-pernyataan seakan tak terlalu menghendaki lagi terus menerus dipilih sebagai Presiden RI, ‘berhasil diyakinkan’ Akan tetapi dalam suatu keterangan pers di sore hari 18 Mei 1998 dari mulut Harmoko pula keluar kalimat “Pimpinan Dewan baik Ketua maupun Wakil-wakil Ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri”. Pernyataan ini disambut gegap gempita oleh massa mahasiswa yang telah menduduki halaman gedung MPR/DPR itu. Keberhasilan massa mahasiswa menduduki gedung perwakilan rakyat itu, tak terlepas dari kesempatan yang diberikan Jenderal Wiranto, Panglima ABRI kala itu. Peran Wiranto ini, menjadi suatu cerita tersendiri lainnya.
Kesetiaan bagai selembar kertas tisu. APAKAH kesetiaan Harmoko kepada Soeharto yang telah mengangkat posisi dan karir politiknya ke tempat yang begitu tinggi, memang hanya setipis dan serapuh selembar kertas tisu? Mungkin saja, tapi yang jelas, Harmoko juga tertekan oleh situasi makin meningkatnya gerakan perlawanan yang menuntut Presiden Soeharto turun tahta. Hanya beberapa hari sebelum pernyataan pers itu, rumah keluarga Harmoko di Solo dibakar massa. Agaknya ini yang menambah ‘ketakutan’ Harmoko, sehingga balik badan ikut arus. Dalam percakapan politik sehari-hari sebelumnya, Harmoko tergambarkan memiliki kesetiaan, atau tepatnya kepatuhan berkadar tinggi kepada Soeharto sehingga bisa melakukan apapun untuk sang pemimpin. Saat menjadi Menteri Penerangan beberapa periode ia melakukan safari ke mana-mana untuk sang Bapak Pembangunan dan menjadi juru bicara yang ‘terbaik’ bagi sang pemimpin. Dan menciptakan kelompencapir segala macam buat sang Presiden. Untuk itu, namanya sampai dijadikan akronim bagi “Hari-hari Omong Kosong”. Sebuah pertanyaan dalam humor politik yang beredar berbunyi “Kenapa rambut Harmoko belah miring?”, dan mendapat jawaban “Sesuai petunjuk bapak Presiden”.
Harmoko sepanjang yang bisa diketahui, termasuk di antara deretan orang yang tak lagi mau diterima dan ditemui Soeharto. Tetapi menurut buku yang menjadikan Harmoko sebagai narasumber utama, ‘Berhentinya Soeharto, Fakta dan Kesaksian Harmoko’ (Firdaus Syam, Penerbit Gria Media Prima, 2008) yang terbit setelah meninggalnya Soeharto, saat mantan Presiden itu menjelang kematian di Rumah Sakit, Harmoko datang bersama santri pondok pesantren Al Barokah Nganjuk untuk mendoakan. BJ Habibie dalam pada itu, saat datang menjenguk Soeharto di Rumah Sakit tak diberi kesempatan oleh pihak keluarga untuk menemui Soeharto. Apa salah BJ Habibie? Ketika Presiden Soeharto menyampaikan niatnya untuk lengser, ia memaksudkan mundur satu paket bersama Wakil Presiden BJ Habibie. Namun, saat Soeharto mengutarakan rencana ini ke BJ Habibie, ia ini dengan sigap menukas, bahwa bila Presiden mengundurkan diri, menurut konstitusi, dengan sendirinya Wakil Presiden naik menggantikan. Sejak itu Soeharto tak mau lagi menyapa Habibie. Sewaktu berjalan ke ruangan Istana tempat akan menyampaikan keputusannya mengundurkan diri, Soeharto melewati Habibie tanpa menoleh dan menyapa sedikitpun. Habibie menceritakan kemudian, ia sangat sakit hati diperlakukan seperti itu oleh Soeharto.
Tokoh lain yang tak pernah bisa menemui Soeharto lagi sampai akhir hayatnya, adalah Ginandjar Kartasasmita. Mantan Wakil Presiden Sudharmono berkali-kali mencoba mengusahakan mempertemukan Ginandjar dengan Soeharto, tapi Soeharto tak pernah mengabulkan. Ini berbeda dengan Akbar Tandjung, yang pada salah satu Idul Fitri bisa dipertemukan oleh Sudharmono untuk bersilaturahmi dengan Soeharto. Agaknya, Soeharto masih memberi kategori berbeda di antara keduanya. Akbar Tandjung tidak pernah menjadi lingkaran dalam, sementara Ginandjar sempat menjadi salah satu di antara golden boys dan masuk lingkaran dalam, sehingga lebih tak terampunkan pembelotannya.
Secara manusiawi, perlu juga dipahami bahwa apa yang dilakukan Harmoko atau Ginandjar Kartasasmita yang dengan cepat ikut arus bah anti Soeharto, buru-buru melompat dari kapal yang akan karam, tak lain adalah bagian dari survival of the fittest di arena politik dan kekuasaan. Juga, sambil menyelam minum air, dalam artian menyelamatkan diri sambil memesan tempat dalam barisan reformasi. Tidak peduli akan digolongkan kaum Brutus atau sebaliknya sekedar sebagai batu pijakan reformasi atau syukur-syukur ikut dianggap jadi pahlawan bagi era reformasi. Inilah yang disebut seni akrobat politik. Mereka yang kurang gesit, dan mungkin agak gugup dan rada ‘bodoh’ atau kurang pintar, cenderung memilih tiarap di sudut netral. Sementara itu, mereka yang ditendang keluar dari rezim Soeharto sebelumnya, entah karena korupsi di luar sistem dan konvensi, entah melakukan kesalahan fatal lainnya, menggunakan kesempatan untuk bersih diri dengan mengidealisir diri sebagai tokoh yang ditendang karena melawan Soeharto.
Terlepas dari ada maaf atau tidak, Ginandjar Kartasasmita sempat berjaya dalam melanjutkan karir politik maupun karirnya dalam kekuasaan. Ini ada lika-liku ceritanya. Dalam penuturan Donald K. Emerson, yang sekali lagi dipinjam di sini, sehari setelah Ginandjar dan Akbar Tandjung memimpin para menteri bidang ekonomi menulis surat menolak untuk ikut lagi dalam kabinet Soeharto yang akan dibentuk, Soeharto meminta Habibie membujuk mereka mengubah niat. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, Habibie menggunakan kesempatan itu untuk meminta para menteri bidang ekonomi supaya mendukung dirinya seandainya Presiden nanti berhenti dan diganti Habibie. “Ginandjar dan Akbar diberi imbalan dua hari kemudian ketika Habibie yang sudah menjadi presiden, mengangkat mereka dalam kabinetnya yang pertama”. Ginandjar dalam kedudukan yang sama yang dipegangnya sebelumnya, Akbar sebagai Menteri Sekertaris Negara. “Ketidaksetiaan, kalau hanya berasal dari seorang atau dua orang menteri yang kurang kunci kedudukannya, mungkin tidak akan berakibat fatal. Sedangkan semangat besar Soeharto bagi pertumbuhan ekonomi, yang data statistiknya mengisi pidato-pidatonya, mungkin sekali menimbulkan kesakitan yang dirasakannya, meningkat akibat ambruknya pembangunan kesayangannya serta murtadnya mereka yang justru dipercayainya untuk memulihkan ekonomi itu”.
Apapun soalnya, setelah itu karir politik Ginandjar dan Akbar terus melesat. Akbar kemudian berhasil menjadi Ketua Umum Golkar yang secara retoris selalu dinyatakan sebagai Golkar Baru. Ginandjar Kartasasmita bersama tokoh HAM Marzuki Darusman mendampingi kepemimpinan Akbar dalam Golkar Baru (Partai Golkar). Ketua Umum DPP Golkar 1982-1987, Sudharmono SH, menyebut mereka bertiga sebagai triumvirat tumpuan harapan baru menyelamatkan Golkar. Maka, ketika Marzuki Darusman SH dalam kedudukan Jaksa Agung RI menyeret dan menangkap Ginandjar Kartasasmita dengan tuduhan korupsi di masa Soeharto, Sudharmono menjadi orang yang paling kecewa. Ia mencoba melunakkan Marzuki Darusman yang tetap bersikeras, melalui seorang yang adalah kenalan kedua-duanya. Akhirnya Ginandjar lolos melalui upaya berbagai pihak, termasuk unsur tentara, dimulai dengan memenangkan pra-peradilan di PN Jakarta Selatan yang dikenal kemudian sebagai salah satu kuburan kasus-kasus korupsi. Belakangan, Marzuki Darusman lah yang justru terhenti dari posisi Jaksa Agung, yang tak terlepas dari konspirasi gabungan kekuatan korup lama dan baru yang berhasil memelihara eksistensi dalam era reformasi.
Berlanjut ke Bagian 2
(sociopoliica's blog)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar