http://scandalizme.blogspot.com
Soekarno bersikap, “Biarkan kekayaan alam kita, hingga insinyur-insinyur
Indonesia mampu mengolahnya sendiri.” Sedangkan Soeharto hingga SBY:
"Wani piro mister?"
Lisa Pease menulis artikel berjudul “JFK, Indonesia, CIA, and Freeport”
dan dimuat dalam majalah Probe. Tulisan bagus ini disimpan di dalam
National Archive di Washington DC. Dalam artikelnya, Lisa Pease menulis
jika dominasi Freeport atas gunung emas di Papua dimulai sejak tahun
1967, namun kiprahnya di Indonesia sudah dimulai beberapa tahun
sebelumnya. Freeport Sulphur, demikian nama perusahaan itu awalnya,
nyaris bangkrut berkeping-keping ketika terjadi pergantian kekuasaan di
Kuba tahun 1959. Saat itu Fidel Castro berhasil menghancurkan rezim
diktator Batista. Oleh Castro, seluruh perusahaan asing di negeri itu
dinasionalisasikan. Freeport Sulphur yang baru saja hendak melakukan
pengapalan nikel produksi perdananya terkena imbasnya. Ketegangan
terjadi. Menurut Lisa Pease, berkali-kali CEO Freeport Sulphur
merencanakan upaya pembunuhan terhadap Castro, namun berkali-kali pula
menemui kegagalan.
Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian, pada Agustus 1959, Forbes
Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur melakukan
pertemuan dengan Direktur Pelaksana East Borneo Company, Jan van
Gruisen. Dalam pertemuan itu Gruisen bercerita jika dirinya menemukan
sebuah laporan penelitian atas Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian
Barat yang ditulis Jean Jaques Dozy di tahun 1936. Uniknya, laporan itu
sebenarnya sudah dianggap tidak berguna dan tersimpan selama
bertahun-tahun begitu saja di Perpusatakaan Belanda. Van Gruisen
tertarik dengan laporan penelitian yang sudah berdebu itu dan
membacanya.
Dengan berapi-api, Van Gruisen bercerita kepada pimpinan Freeport
Sulphur itu jika selain memaparkan tentang keindahan alamnya, Jean
Jaques Dozy juga menulis tentang kekayaan alamnya yang begitu melimpah.
Tidak seperti wilayah lainnya di seluruh dunia, maka kandungan biji
tembaga yang ada di sekujur Gunung Ersberg itu terhampar di atas
permukaan tanah, jadi tidak tersembunyi di dalam tanah. Mendengar hal
itu, Wilson sangat antusias dan segera melakukan perjalanan ke Irian
Barat untuk mengecek kebenaran cerita itu. Di dalam benaknya, jika kisah
laporan ini benar, maka perusahaannya akan bisa bangkit kembali dan
selamat dari kebangkrutan yang sudah di depan mata.
Selama beberapa bulan, Forbes Wilson melakukan survei dengan seksama
atas Gunung Ersberg dan juga wilayah sekitarnya. Penelitiannya ini kelak
ditulisnya dalam sebuah buku berjudul The Conquest of Cooper Mountain.
Wilson menyebut gunung tersebut sebagai harta karun terbesar yang untuk
memperolehnya tidak perlu menyelam lagi karena semua harta karun itu
telah terhampar di permukaan tanah. Dari udara, tanah di sekujur gunung
tersebut berkilauan ditimpa sinar matahari.
Wilson juga mendapatkan temuan yang nyaris membuatnya gila. Karena
selain dipenuhi bijih tembaga, gunung tersebut ternyata juga dipenuhi
bijih emas dan perak! Menurut Wilson, seharusnya gunung tersebut diberi
nama Gold Mountain, bukan Gunung Tembaga. Sebagai seorang pakar
pertambangan, Wilson memperkirakan jika Freeport akan untung besar dan
dalam waktu tiga tahun sudah kembali modal. Piminan Freeport Sulphur ini
pun bergerak dengan cepat. Pada 1 Februari 1960, Freeport Sulphur
menekan kerjasama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi gunung
tersebut.
Namun lagi-lagi Freeport Sulphur mengalami kenyataan yang hampir sama
dengan yang pernah dialaminya di Kuba. Perubahan eskalasi politik atas
tanah Irian Barat tengah mengancam. Hubungan Indonesia dan Belanda telah
memanas dan Soekarno malah mulai menerjunkan pasukannya di Irian Barat.
Tadinya Wilson ingin meminta bantuan kepada Presiden AS John Fitzgerald
Kennedy agar mendinginkan Irian Barat. Namun ironisnya, JFK malah
sepertinya mendukung Soekarno. Kennedy mengancam Belanda akan
menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot mempertahankan Irian
Barat. Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana segar untuk
membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran akibat Perang
Dunia II terpaksa mengalah dan mundur dari Irian Barat.
Ketika itu sepertinya Belanda tidak tahu jika Gunung Ersberg
sesungguhnya mengandung banyak emas, bukan tembaga. Sebab jika saja
Belanda mengetahui fakta sesungguhnya, maka nilai bantuan Marshall Plan
yang diterimanya dari AS tidak ada apa-apanya dibanding nilai emas yang
ada di gunung tersebut.
Dampak dari sikap Belanda untuk mundur dari Irian Barat menyebabkan
perjanjian kerjasama dengan East Borneo Company mentah kembali. Para
pimpinan Freeport jelas marah besar. Apalagi mendengar Kennedy akan
menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 11 juta AS
dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia. Semua ini jelas harus dihentikan!
Segalanya berubah seratus delapan puluh derajat ketika Presiden Kennedy
tewas ditembak pada 22 November 1963. Banyak kalangan menyatakan
penembakan Kenndey merupakan sebuah konspirasi besar menyangkut
kepentingan kaum Globalis yang hendak mempertahankan hegemoninya atas
kebijakan politik di Amerika.
Presiden Johnson yang menggantikan Kennedy mengambil siap yang
bertolak-belakang dengan pendahulunya. Johnson malah mengurangi bantuan
ekonomi kepada Indonesia, kecuali kepada militernya. Salah seorang tokoh
di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye pemilihan
presiden AS tahun 1964, adalah Augustus C. Long, salah seorang anggota
dewan direksi Freeport.
Tokoh yang satu ini memang punya kepentingan besar atas Indonesia.
Selain kaitannya dengan Freeport, Long juga memimpin Texaco, yang
membawahi Caltex (patungan dengan Standard Oil of California). Soekarno
pada tahun 1961 memutuskan kebijakan baru kontrak perminyakan yang
mengharuskan 60 persen labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia.
Caltex sebagai salah satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia
jelas sangat terpukul oleh kebijakan Soekarno ini.
Augustus C. Long amat marah terhadap Soekarno dan amat berkepentingan agar orang ini disingkirkan secepatnya.
Mungkin suatu kebetulan yang ajaib. Augustus C. Long juga aktif di
Presbysterian Hospital NY di mana dia pernah dua kali menjadi
presidennya (1961-1962). Sudah bukan rahasia umum lagi jika tempat ini
merupakan salah satu simpul pertemuan tokoh CIA.
Lisa Pease dengan cermat menelusuri riwayat kehidupan tokoh ini. Antara
tahun 1964 sampai 1970, Long pensiun sementara sebagai pimpinan Texaco.
Apa saja yang dilakukan orang ini dalam masa itu yang di Indonesia
dikenal sebagai masa yang paling krusial.
Pease mendapakan data jika pada Maret 1965, Augustus C. Long terpilih
sebagai Direktur Chemical Bank, salah satu perusahaan Rockefeller.
Agustus 1965, Long diangkat menjadi anggota dewan penasehat intelijen
kepresidenan AS untuk masalah luar negeri. Badan ini memiliki pengaruh
sangat besar untuk menentukan operasi rahasia AS di negara-negara
tertentu. Long diyakini salah satu tokoh yang merancang kudeta terhadap
Soekarno, yang dilakukan AS dengan menggerakkan sejumlah perwira
Angkatan Darat yang disebutnya sebagai Our Local Army Friend.
Salah satu bukti adalah sebuah telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari
1965, pukul 21.48, yang menyatakan jika kelompok Jenderal Suharto akan
mendesak angkatan darat agar mengambil-alih kekuasaan tanpa menunggu
Soekarno berhalangan. Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga pernah
bersaksi jika hal itu benar adanya.
Awal November 1965, satu bulan setelah tragedi 1 Oktober 1965, Forbes
Wilson mendapat telpon dari Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne
Williams, yang menanyakan apakah Freeport sudah siap mengeksplorasi
gunung emas di Irian Barat. Wilson jelas kaget. Ketika itu Soekarno
masih sah sebagai presiden Indonesia bahkan hingga 1967, lalu darimana
Williams yakin gunung emas di Irian Barat akan jatuh ke tangan Freeport?
Lisa Pease mendapatkan jawabannya. Para petinggi Freeport ternyata sudah
mempunyai kontak tokoh penting di dalam lingkaran elit Indonesia.
Mereka adalah Menteri Pertambangan dan Perminyakan Ibnu Soetowo dan
Julius Tahija. Orang yang terakhir ini berperan sebagai penghubung
antara Ibnu Soetowo dengan Freeport. Ibnu Soetowo sendiri sangat
berpengaruh di dalam angkatan darat karena dialah yang menutup seluruh
anggaran operasionil mereka.
Sebab itulah, ketika ketika UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
(PMA) yang draftnya dirancang di Jenewa-Swiss yang didiktekan
Rockefeller, disahkan tahun 1967, maka perusahaan asing pertama yang
kontraknya ditandatangani Suharto adalah Freeport. Inilah kali pertama
kontrak pertambangan yang baru dibuat. Jika di zaman Soekarno
kontrak-kontrak dengan perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia,
maka sejak Suharto berkuasa, kontrak-kontrak seperti itu malah banyak
merugikan Indonesia.
Untuk membangun konstruksi pertambangan emasnya itu, Freeport
menggandeng Bechtel, perusahaan AS yang banyak mempekerjakan pentolan
CIA. Direktur CIA John McCone memiliki saham di Bechtel, sedangkan
mantan Direktur CIA Richards Helms bekerja sebagai konsultan
internasional di tahun 1978.
Tahun 1980, Freeport menggandeng McMoran milik “Jim Bob” Moffet dan
menjadi perusahaan raksasa dunia dengan laba lebih dari 1,5 miliar
dollar AS pertahun. Tahun 1996, seorang eksekutif Freeport-McMoran,
George A. Maley, menulis sebuah buku berjudul “Grasberg” setebal 384
halaman dan memaparkan jika tambang emas di Irian Barat itu memiliki
depost terbesar di dunia, sedangkan untuk bijih tembaganya menempati
urutan ketiga terbesar.
Maley menulis, data tahun 1995 menunjukkan jika di areal ini tersimpan
cadangan bijih tembaga sebesar 40,3 miliar pon dan emas sebesar 52,1
juta ons. Nilai jualnya 77 miliar dollar AS dan masih akan menguntungkan
45 tahun ke depan. Ironisnya, Maley dengan bangga juga menulis jika
biaya produksi tambang emas dan tembaga terbesar dunia yang ada di Irian
Barat itu merupakan yang termurah di dunia.
Istilah Kota Tembagapura itu sebenarnya salah. Seharusnya Emaspura.
Karena gunung tersebut memang gunung emas, walau juga mengandung
tembaga. Karena kandungan emas dan tembaga terserak di permukaan tanah,
maka Freeport tinggal memungutinya dan kemudian baru menggalinya dengan
sangat mudah. Freeport sama sekali tidak mau kehilangan emasnya itu dan
membangun pipa-pipa raksasa dan kuat dari Grasberg-Tembagapura sepanjang
100 kilometer langsung menuju ke Laut Arafuru di mana telah menunggu
kapal-kapal besar yang akan langsung mengangkut emas dan tembaga itu ke
Amerika. “Perampokan legal” ini masih terjadi sampai sekarang.
Kisah Freeport merupakan salah satu dari banyak sekali kisah sedih
tentang bagaimana kekayaan alam Indonesia, oleh para penguasanya malah
digadaikan bulat-bulat untuk dirampok imperialisme asing, demi
memperkaya diri, keluarga, dan kelompoknya sendiri. Kenyataan memilukan
ini masih berlangsung sampai sekarang.
Pertemuan Mafia Berkeley dengan Rockefeller dan kawan-kawannya di
Jenewa-Swiss di bulan November 1967 menjadi bukti tak terbantahkan
tentang permufakatan tersebut. Di saat itulah, rezim Jenderal Soeharto
mencabut kemerdekaan negeri ini dan menjadikan Indonesia kembali sebagai
negeri terjajah. Ironisnya, penjajahan asing atas Indonesia diteruskan
oleh rezim yang tengah berkuasa saat ini yang ternyata “jauh lebih edan”
ketimbang Jenderal Soeharto dulu.
sumber : Studi Filsafat