(Tulisan ini adalah copy-paste dari
www.kartini-online.com 6 tahun yang lalu, berhubung yang bersangkutan
telah almarhumah, saya hanya ingin agar kabar ini tidak mati juga)
Belum banyak yang tahu, bahwa Bung Karno
punya seorang putra hasil pernikahannya dengan Ny Jetje Langelo (70
tahun), putri petani kopra Desa Lembean, Manado, Sulawesi Utara.
Sesuai amanat Bung Karno, anak yang
diberi nama Mohammad Fatahillah Gempar Soekarno Putra tersebut (kini
berusia 44 tahun), ‘disembunyikan’ ibunya pada sebuah keluarga, kemudian
diberi nama lain, yakni Charles Christofel.
Hampir 40 tahun Ny Jetje memendam
rahasia, siapa Gempar sebenarnya. Selama itu pula Gempar menjalani hidup
yang pahit dan getir. Mulai dari menjadi pembantu rumah tangga, tidur
di emperan toko, jadi preman pasar atau tukang panjat kelapa, pernah ia
lakoni.
Bahkan saat ia masih kecil, berbagai
siksaan fisik pernah pula menderanya. Beberapa kali ia nyaris mati
disiksa kakak dan ibu angkatnya.Akibat beratnya penderitaan, pernah pula
ia mencoba bunuh diri dengan minum racun serangga. Untungya tidak mati.
Meski dalam kemelaratan dan kesulitan
hidup, ia tetap sekolah hingga meraih gelar sarjana dari Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, menjadi Pengacara kondang dan terjun ke dunia
politik. Siapa sebenarnya Gempar dan bagaimana beratnya jalan hidup yang
telah ia tempuh hingga meraih apa yang ia peroleh sekarang? Inilah
kisahnya.
Adalah Jetje Langelo, gadis cantik yang
tampil sebagai pemenang dalam pemilihan Puteri Kacantikan dan Siswa
Teladan se-Sulawesi, tahun 1953 di Manado. Saat itulah Bung Karno,
Presiden RI masa itu hadir di sana, didampingi ajudan Soegandi (suami
Mien Soegandi – Mantan Menteri UPW pada masa Soeharto. Waktu itu
Soegandi berpangkat Mayor).
Selain itu, hadir pula Heng Ngantung,
Gubernur DKI Jakarta asal Manado dan beberapa pembesar lainnya. Saat
itulah untuk pertamakali Bung karno kenal dengan Jetje Langelo, pelajar
SGA Roma Katolik Manado yang dalam acara tersebut tampil sebagai
pemenang.
Pada pesta ramah tamah malam harinya
kedua insan ini sempat berbincang dan berdansa bersama. Saat itulah
keterpautan antara keduanya mulai melekat. Waktu itu Bung Karno adalah
suami dari ibu Fatmawati, sekaligus Ibu Negara RI.
Jetje sendiri baru berusia 15 tahun
ketika itu. Ia adalah puteri pasangan keluarga petani kopra, Emile
Langelo dan ibu Durine Dayoh. Jetje anak tertua dari tiga orang
bersaudara. Adik-adiknya, Boy Langelo dan Heng Langelo. Mereka menetap
di Desa Lembean, Kecamatan Kauditan Kabupaten Minahasa, satu jam
perjalanan dari Manado arah ke Bitung, pelabuhan terbesar di provinsi
paling utara Indonesia.
Sejak perkenalan tersebut, surat menyurat
dan telegram, sebagai alat komunikasi masa itu, antara Jetje dan Bung
Karno berjalan lancar. Tidak hanya itu, dalam kesempatan lain, Bung
Karno pun sering berkunjung ke Manado. Jalinan cinta antara keduanya pun
terpaut, hingga Jete merampungkan sekolahnya tahun itu juga.
Ketika niat Bung Karno ingin menikahi
Jetje, konon, sebagaimana diceritakan Gempar pada KARTINI, orang tua
Jetje, Emile Langelo, tidak memberi restu, “Dengan pertimbangan, Opa
tidak mau menyakiti hati ibu negara, yakni Ibu Fatmawati.”
Karena itulah, buru-buru Emile
menjodohkan Jetje dengan Letnan Satu TNI Leo Nico Christofel. Dari
perkawinan tersebut, lahir dua orang anak, Linda Christofel dan Lonce
Christofel. Akhir 1955, Jetje bercerai dengan Leo.
Sementara komunikasi Jetje dengan Bung
Karno bertaut kembali, hingga akhirnya mereka menikah secara Islam di
Manado pada tahun 1957. Usai nikah, Jetje menolak ikut ke Jakarta,
dengan pertimbangan, tidak mau menyakiti hati Fatmawati, sebagai Ibu
Negara.
Dalam kesempatan lain, ketika Jetje
tengah mengandung anak dari perkawinannya dengan Bung Karno, Jetje
berencana akan melahirkan anak tersebut di Jakarta, sebagaimana anjuran
Bung Karno. Namun, disaat akan melahirkan, tiba-tiba pecah
pemeberontakan Permesta di daratan Sulawesi.
Anak yang dikandung Jetje pun kemudian
lahir di Manado atas pertolongan seorang bidan. Tepatnya pada tanggal 13
Januari 1958, di rumah kakeknya, Desa Lembean. Berita kelahiran ini
segera dikabarkan kepada Bung Karno di Jakarta lewat telegram.
Bersamaan dengan itu, meletus pula Gunung
Lokon di Tomohon, gunung tertinggi di Sulawesi Utara. Sementara,
pemberontakan masih terus berkecamuk. Sebagaimana diceritakan Gempar,
belakangan ia tahu, lewat Laksamana John Lie, Komandan Kapal Perang KRI
Gajah Mada yang diperintahkan Bung Karno untuk menumpas pemeberontakan
di Sulawesi Utara.
Begitu KRI Gajah Mada mendekati pantai
Manado, datang instruksi mendadak dari Bung Karno, jangan ada satupun
meriam mendarat di kota Manado. “Belakangan saya tahu, rupanya waktu itu
ada isteri dan anak Bung Karno di sana,” kata John Lie, dalam sebuah
pertemuan masyarakat Manado di Jakarta.
“DISEMBUNYIKAN” DALAM PENDERITAAN
Sesuai amanah, konon lewat sebuah
suratnya, Bung Karno memberi nama anaknya Mohammad Fatahillah Gempar
Soekarno Putra. “Gempar ini akan menggemparkan Nusantara, bahkan dunia
nantinya. Keberadaan anak ini harus dirahasiakan dulu, sampai ia berusia
40 tahun atau sudah matang dalam dunia politik.” Demikian pesan yang
disimpan begitu rapi oleh Ny Jetje, sebagaimana ia ceritakan kepada
Gempar.
Untuk itulah, Gempar kecil diberi nama
oleh ibunya Charles Christofel. Nama Christofel sendiri, diambil dari
nama mantan suaminya, Leo Christofel, lelaki yang sampai akhir hayatnya
masih berhubungan baik dengan Ny Jetje. “Lebih dari itu, pengambilan
nama Christofel dipakai untuk menyamarkan, menutupi, agar tidak
ada yang tahu kalau Gempar adalah anak
Bung Karno. Sebagaimana amanat Bung Karno, bahwa anak ini harus
dirahasiakan, hingga saatnya kelak ia akan tahu, anak siapa ia
sebenarnya, ” tutur Gempar sebagaiama cerita ibunya.
Saat pemberontakan Permesta berakhir,
dipenghujung tahun 1960, Bung karno berkunjung ke Manado. “Saat itulah
untuk pertamakali dan terakhir, Bung Karno menggendong saya. Saya tidak
dapat mengingatnya secara pasti, karena masih berusia lebih kurang dua
tahun. Cuma yang saya ingat masa itu, saya sudah punya mainan mahal,
yakni mobil-mobilan seperti gokart. “Ibu bilang, mainan itu datang dari
Jakarta,” lanjut Gempar lagi.
Sayang, kebahagiaan bersama ibu, tidak
dinikmati Gempar selanjutnya. Usia 5 tahun, oleh ibunya ia dititipkan
pada Ibu Mince, salah seorang kakak mantan suaminya Christofel yang
tinggal di daerah Kanaka, Kotamadya Manado. Sedang ibunya kembali ke
kampung, berjarak satu jam perjalanan dari Manado.
“Sejak itu, rasanya saya mulai kehilangan
kasih sayang dari orangtua,” tutur Gempar. Ibu Mince, adalah istri
seorang pedagang yang cukup terkenal di kota tersebut, bernama Johny
Runtuwene. Mereka punya empat anak, Fence (laki-laki sulung), Soan, Poan
dan Dince.
Beda usia mereka dengan Gempar cukup
jauh, yang tekecil, Dince, selisih 6 tahun lebih besar dari Gempar.
Gempar memanggil Mak kepada ibu angkatnya dan Bapak kepada bapak
angkatnya. Sedang kepada saudara angkatnya, Gampar memanggil Kakak.
“Sejak awal, saya memang sudah merasa
asing dan memperoleh perlakuan tidak wajar di rumah tersebut. Selain
ditempatkan di sebuah kamar kumuh layaknya kandang, karena memang
bersebelahan dengan kandang ayam di belakang rumah dengan dinding
anyaman bambu dan lantai tanah, pakaian pun saya tidak punya. Kalau pun
ada, itu cuma pakaian bekas dari saudara angkat saya Tidur di dipan
beralaskan tikar. Di usia lima tahun, saya sudah dibebani tugas berbagai
pekerjaan di rumah itu. Mulai dari yang ringan, misalnya menyapu rumah,
menyapu halaman, buang sampah dan mencuci pakaian saya sendiri. Namun,
saat saya mulai masuk SD kelas satu, saya sudah harus menimba air dari
sumur, mengisi dua drum besar ,untuk mandi mereka dan berbagai keperluan
lainnya. Jarak dari sumur ke rumah, sekitar seratus meter. Saya harus
menenteng dua ember sekaligus, sehingga membuat saya berjalan
terseok-seok. Sementara, saya sendiri tidak boleh mandi di drum itu,”
kata Gempar, menceritakan awal mula derita hidup yang ia jalani.
Tidak hanya itu, ia harus bangun lebih
awal dari orang-orang di rumah. Selain menimba air di sumur, kian lama
tugasnya kian meningkat, mulai dari mempersiapkan sarapan pagi di dapur,
mencuci pakaian seisi rumah dan sebagainya. Sebelum berangkat sekolah,
ia harus menunggui saudara – saudara angkatnya minum susu dan makan
roti. “Dengan harapan, sisa dari makanan mereka itu bisa buat saya.
Lumayan, buat menganjal perut, karena saya memang tidak pernah menikmati
uang jajan ke sekolah,” tutur Gempar.
Di sekolah, jika lapar, katanya, dia
permisi keluar kelas untuk minum air kran yang ada di WC sekolah. “Jika
teman-teman jajan, ya, saya menonton saja. Di situlah, kadang-kadang
tanpa terasa, air mata saya jatuh, menahan pedih di hati,” kata Gempar.
Setelah para saudara angkatnya berangkat
sekolah, ada yang menggunakan sepeda, bendi (delman) langgananan mereka,
menuju sekolahnya masing-masing, barulah Gempar berangkat jalan kaki
menuju sekolahnya yang berjarak sekitar 2 kilometer dari rumah, yakni di
SD Katolik Don Bosco. “Saya cuma punya satu pasang sepatu pemberian
orang. Seragam sekolah pun saya cuma punya satu. Karena itu sepatu
tersebut sering saya tenteng di perjalanan, supaya awet. Setelah dekat
sekolah baru saya pakai. Seragam sekolahpun langsung saya cuci bila
sampai di rumah, langsung dijemur untuk dipakai esok harinya. Jika
hujan, terpaksa saya pakai terus berulang-ulang. Sehingga seragam
tersebut sampai bulukan dan robek, ya saya jahit sendiri pakai jarum
tangan,” cerita Gempar.
Lebih parah lagi, kata Gempar, tidak
jarang sepulang sekolah, ia tidak kebagian nasi, apalagi lauk pauknya.
“Yang saya jumpai, hampir selalu periuk nasi yang masih ada keraknya.
Zaman itu, orang kalau masak kan pakai periuk, sehingga ada keraknya
yang melekat. Kerak itu saya siram air panas, sehingga mengelotok.
Itulah yang saya makan bagi dua dengan anjing piaraan di rumah tersebut.
Makan malam pun demikian, hampir selalu saya temui kerak nasi, selama
bertahun-tahun. Sedang nasinya, hanya untuk orang seisi rumah bersama
anak-anak mereka. Kadang-kadang, kalau kebetulan sedang ada Pak Johny
Runtuwene (suami ibu Mince-Red) dan puteri bungsunya Dince di rumah,
saya bisa makan nasi. Kedua orang ini cukup baik, memperlakukan saya
agak manusiawi dibanding yang lain,” kata Gempar.
Meski demikian, diakui Gempar, untuk mata
pelajaran Berhitung dan Ilmu Alam, ia jagonya di kelas. Terbukti, di
Ijazahnya, untuk mata pelajaran tersebut, dia memperoleh nilai 9.
DISIKSA KAKAK DAN IBU ANGKAT
Sebagai anak laki-laki, sangat lumrah,
bila kadang-kadang Gempar itu nakal, namun masih dalam batas wajar.
Sebagaimana ia ceritakan, ketika duduk di kelas 5 SD waktu berusia 11
tahun, sepulang sekolah, karena lapar, ia mencuri sebuah pisang ambon
yang ada di dapur.
“Mengetahui pisangnya hilang satu, ibu
Mience langsung marah-marah. Ketika ditanya, saya mengaku telah
mengambil sebiji pisang. Saya langsung dipukul pakai kayu. Saya diam
saja, sambil berlalu ke belakang hendak mencuci baju seragam untuk saya
pakai esok hari. Di sana telah menumpuk pula pakaian ibu Mince dan
anak-anaknya yang harus saya cuci. Ketika saya sedang mencuci, tiba-tiba
Ibu Mince datang dari belakang sambil marah-marah, melumeri wajah saya
dengan segenggam sambal cabe rawit. Saya berteriak, menjerit kesakitan
dan membenamkan muka saya ke dalam drum air tempat mandi. Perih di mata
tak hilang juga. Berjam-jam lamanya saya menangis, sehingga mengundang
iba para tetangga. Namun, mereka tak berdaya untuk menolong, mereka
tidak mau mencampuri rumah tangga orang lain,” kata Gempar.
Karena menahan sakit, Gempar lupa
mengganti air cabe tempat ia membenamkan muka ke drum mandi. Ketika
Fence, putra sulung di rumah itu mandi, mata Fence pun perih. Badan
beserta bagian tubuh lainnya kepanasan.
“Saya langsung ditendang Fence, dipukuli
sejadi-jadinya. Belum puas, ia ambil tali, ia ikat kaki dan tangan saya,
langsung membenamkannya ke sumur. Untung ada sebongkah batu yang
menjulur di dinding, sehingga tangan saya bisa nyangkut di sana dan
kepala tidak membenam ke air. Saat itulah saya berteriak-teriak minta
tolong, sehingga mengundang perhatian para tetangga. Orang-orang pun
berdatangan menyelamatkan saya dan memarahi Fence yang tidak manusiawi.
Pertengkaran antar mereka pun terjadi dan salah seorang bapak sempat
memukul Fence,” cerita Gempar.
MENOLONG TEMAN
SD Katolik Don Bosco Manado tempat Gempar
sekolah, adalah tempat bersekolahnya anak orang-orang terkemuka di kota
tersebut. Mulai dari pedagang, hingga anak Bupati dan Walikota, ada di
sana. “Cuma saya orang paling melarat di sana,” kata gempar.
Suatu kali, rekan sekelasnya, Pedy
Lumentut, anak Bupati Minahasa masa itu, memukul Tjong Kok Hwa (sekarang
dosen di UCLA Amerika Serikat), putera pedagang arloji yang cukup
terkenal di Manado. Merasa kasihan terhadap Tjong Kok Hwa, spontan
Gempar memukul Pedy. Anak Bupati itu pun tersungkur. Sejak itulah Gempar
disegani di sekolah itu.
“Dan sejak itu pula saya mulai merasakan
enaknya kue jajanan di sekolah, pemberian Tjong Kok Hwa yang merasa iba
pula kepada saya yang tidak pernah jajan.” Tidak hanya itu, anak
Walikota Manado, Kemal Rauf Moo, pun pernah ia pukul, karena sombong dan
jahat kepada rekan sekelasnya. Sejak itu, diakui Gempar, ia mulai
mendapat simpati teman-temannya, karena suka menolong rekan yang lemah.
“Lumayan, saya sering dijajani teman dan
hidup dari belas kasihan mereka. Saya yang tadinya cuma punya satu buku
tulis untuk seluruh pelajaran, sering dibelikan teman. Begitu pula
sepatu dan seragam, sering diberi oleh teman-teman, bekas mereka yang
tidak terpakai lagi.”
JUALAN ES
Saat di kelas 5 SD itu, Gempar ingin
punya uang sendiri. Maka usai sekolah, kadang-kadang masih pakai
seragam, ia langsung ke rumah Haji Basalamah, salah seorang tetangga,
sekitar satu kilometer dari rumahnya.
Di rumah pedagang keturunan Arab itulah
ia bisa makan enak, pakai ikan, ayam, daging dan sebagainya, sesuatu
yang tidak pernah ia dapat di rumah ibu angkatnya. Selanjutnya, Gempar
mencuci piring, membantu pekerjaan di rumah itu, bahkan mencuci pakaian.
Imbalannya, Ibu Basalamah memberi sejumlah uang kepada Gempar. Selain
itu, Gempar pun diberi kesempatan menjajakan Es milik keluarga itu
berkeliling kampung.
“Hasilnya, lumayan. Saya bisa beli buku,
pensil, penggaris dan berbagai keperluan sekolah lainnya,” kata Gempar.
Cuma, karena pulang terlalu sore, dimana drum mandi Ibu Mince sekeluarga
belum diisi, ditambah lagi pekerjaan rutin lain di rumah ibu angkatnya
itu tidak ada yang mengerjakan, lagi-lagi Gempar mendapat siksaan. Ia
dipukul pakai rotan, kayu dan benda apa saja.
“Lama-lama saya jadi kebal. Bayangkan,
ketika saya sedang mengaso saat membelah kayu bakar di bawah pohon
samping rumah, saya tertidur dihembus angin. Tiba-tiba saya dipukul oleh
Ibu Mince pakai kayu tersebut. Punggung saya merah, kulit terbelah
bahkan ada beberapa serpihan runcing kayu tersebut yang menancap di
daging. Semua saya tahankan. Saya sudah tidak kuat menangis. Air mata
saya rasanya sudah habis,” katanya, pilu.
Bagaimana perjalanan Gempar selanjutnya
setelah gagal bunuh diri? Jadi kondektur Bemo rute Manado -Bitung,
aktivis SMA, mundur dari Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
dan meretas jalan hidup di Jakarta, ikuti KARTINI nomor depan.
Sumber: www.kartini-online.com