Selasa, 03 April 2012

Maninjau - Demonstrasi dan Kekerasan

                                                             Asdinnisa07'Blog                                                                                                                             


 

Padang Ekspres • Senin, 02/04/2012 
TIAP Jumat, apalagi di tengah gemuruh demonstrasi di Indonesia seperti sekarang ini, kita akan selalu teringat kepada Musim Semi Arab. Dimulai di Tunisia akhir tahun lalu dan hingga kini terus berlanjut di Bahrain dan Syria, ratusan ribu anak muda –yang biasanya mengorganisasi diri tiap habis salat Jumat– dengan penuh semangat turun ke jalan. Merobohkan apa yang mereka anggap lalim, melawan apa yang mereka anggap zalim.

Buntutnya, kita tahu, empat diktator lengser. Ada yang melarikan diri, ada yang mengundurkan diri, ada pula yang tewas mengenaskan. Pengadilan –sesuatu yang tak pernah terbayang saat mereka bertakhta–kepada sebagian dari mereka ditegakkan dan harapan akan demokrasi tumbuh.

Tapi, bukannya tanpa harga yang harus dibayar. Yang menggiring kenangan kita kepada kepedihan abadi yang terekam dalam Mothers of the Disappeared, salah satu lagu band rock dari Republik Irlandia, U2: Midnight, our sons and daughters/Were cut down and taken from us/Hear their heart beat/We hear their heart beat.

Lagu itu ditulis Bono, sang vokalis U2, sebagai hasil kunjungannya bersama Amnesti Internasional ke Nikaragua dan El Salvador meski inspirasi terbesarnya sebenarnya datang dari Madres de la Plaza de Mayo di Argentina. Yakni, para ibu yang terus berjuang menuntut keadilan atas anak-anak mereka yang dibunuh atau dihilangkan secara paksa oleh rezim yang berkuasa.

Latar belakang kejadiannya mungkin berbeda. Tapi, kenangan itu tetap penting kita pompa lagi di Indonesia sekarang ini, saat puluhan ribu anak muda beraksi di jalanan untuk menolak kenaikan harga BBM. Sebab, kita begitu prihatin akan kerusuhan yang terjadi Jakarta, Makassar, Medan, dan beberapa kota lain.

Kita miris mendengar senapan aparat yang menyalak di manamana, dengan peluru karet sekalipun. Kita sedih menyaksikan para mahasiswa itu dipukuli. Namun, kita juga prihatin melihat anak-anak muda yang bersemangat tersebut menyerang pos polisi, membakar ban dan memblokade jalan, serta menghambat gerak masyarakat sekitar yang mayoritas dalam perjalanan mencari nafkah.

Kita tahu, meski bukan satu-satunya, gerakan mahasiswa selalu menjadi katalisator perubahan. Sejarah republik ini juga menunjukkan demikian. Periode 1966 dan 1998 adalah contohnya.

Tapi, kita juga sangat berharap, tetap ada kontrol emosi di tengah spirit yang meluap itu. Jangan sampai gerakan yang dimaksudkan sebagai simpati kepada rakyat yang mungkin bakal tergencet hidupnya gara-gara harga BBM naik tersebut justru menimbulkan antipati warga. Ingat, di jalanan yang diblokade itu ada toko-toko dengan ratusan pegawai yang tak bisa buka, juga ratusan sopir angkutan umum yang tak bisa lagi mencari penumpang.

Silakan berdemonstrasi, undang-undang menjamin itu. Tapi, jangan sampai melakukan tindakan yang justru akan memberikan alasan kepada aparat untuk bertindak keras.

Tentu seruan yang sama juga harus kita corongkan kepada mereka yang berseragam dan bersenjata. Hindarilah sejauh mungkin opsi kekerasan. Sebab, pelajaran dari kawasan Arab sana maupun dari pengalaman sendiri, kita tahu, senapan atau pentungan justru akan mengakumulasikan keberanian.

Persuasi dan negosiasi tetaplah jalan terbaik meski mungkin tak gampang di tengah suasana yang memanas. Tapi, tak pernah ada kata terlambat untuk memulai. Anggap peristiwa kali ini sebagai pelajaran penting. Toh, ke depan masih akan ada banyak demonstrasi selama hak berekspresi itu belum dicabut dari konstitusi. (*)
[ Red/Redaksi_ILS ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar