Selasa, 17 April 2012

Gempar Soekarno Putra (Bagian-I)


(Tulisan ini adalah copy-paste dari www.kartini-online.com 6 tahun yang lalu, berhubung yang bersangkutan telah almarhumah, saya hanya ingin agar kabar ini tidak mati juga)
Belum banyak yang tahu, bahwa Bung Karno punya seorang putra hasil pernikahannya dengan Ny Jetje Langelo (70 tahun), putri petani kopra Desa Lembean, Manado, Sulawesi Utara.
Sesuai amanat Bung Karno, anak yang diberi nama Mohammad Fatahillah Gempar Soekarno Putra tersebut (kini berusia 44 tahun), ‘disembunyikan’ ibunya pada sebuah keluarga, kemudian diberi nama lain, yakni Charles Christofel.

Hampir 40 tahun Ny Jetje memendam rahasia, siapa Gempar sebenarnya. Selama itu pula Gempar menjalani hidup yang pahit dan getir. Mulai dari menjadi pembantu rumah tangga, tidur di emperan toko, jadi preman pasar atau tukang panjat kelapa, pernah ia lakoni.
Bahkan saat ia masih kecil, berbagai siksaan fisik pernah pula menderanya. Beberapa kali ia nyaris mati disiksa kakak dan ibu angkatnya.Akibat beratnya penderitaan, pernah pula ia mencoba bunuh diri dengan minum racun serangga. Untungya tidak mati.
Meski dalam kemelaratan dan kesulitan hidup, ia tetap sekolah hingga meraih gelar sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menjadi Pengacara kondang dan terjun ke dunia politik. Siapa sebenarnya Gempar dan bagaimana beratnya jalan hidup yang telah ia tempuh hingga meraih apa yang ia peroleh sekarang? Inilah kisahnya.
Adalah Jetje Langelo, gadis cantik yang tampil sebagai pemenang dalam pemilihan Puteri Kacantikan dan Siswa Teladan se-Sulawesi, tahun 1953 di Manado. Saat itulah Bung Karno, Presiden RI masa itu hadir di sana, didampingi ajudan Soegandi (suami Mien Soegandi – Mantan Menteri UPW pada masa Soeharto. Waktu itu Soegandi berpangkat Mayor).
Selain itu, hadir pula Heng Ngantung, Gubernur DKI Jakarta asal Manado dan beberapa pembesar lainnya. Saat itulah untuk pertamakali Bung karno kenal dengan Jetje Langelo, pelajar SGA Roma Katolik Manado yang dalam acara tersebut tampil sebagai pemenang.
Pada pesta ramah tamah malam harinya kedua insan ini sempat berbincang dan berdansa bersama. Saat itulah keterpautan antara keduanya mulai melekat. Waktu itu Bung Karno adalah suami dari ibu Fatmawati, sekaligus Ibu Negara RI.
Jetje sendiri baru berusia 15 tahun ketika itu. Ia adalah puteri pasangan keluarga petani kopra, Emile Langelo dan ibu Durine Dayoh. Jetje anak tertua dari tiga orang bersaudara. Adik-adiknya, Boy Langelo dan Heng Langelo. Mereka menetap di Desa Lembean, Kecamatan Kauditan Kabupaten Minahasa, satu jam perjalanan dari Manado arah ke Bitung, pelabuhan terbesar di provinsi paling utara Indonesia.
Sejak perkenalan tersebut, surat menyurat dan telegram, sebagai alat komunikasi masa itu, antara Jetje dan Bung Karno berjalan lancar. Tidak hanya itu, dalam kesempatan lain, Bung Karno pun sering berkunjung ke Manado. Jalinan cinta antara keduanya pun terpaut, hingga Jete merampungkan sekolahnya tahun itu juga.
Ketika niat Bung Karno ingin menikahi Jetje, konon, sebagaimana diceritakan Gempar pada KARTINI, orang tua Jetje, Emile Langelo, tidak memberi restu, “Dengan pertimbangan, Opa tidak mau menyakiti hati ibu negara, yakni Ibu Fatmawati.”
Karena itulah, buru-buru Emile menjodohkan Jetje dengan Letnan Satu TNI Leo Nico Christofel. Dari perkawinan tersebut, lahir dua orang anak, Linda Christofel dan Lonce Christofel. Akhir 1955, Jetje bercerai dengan Leo.
Sementara komunikasi Jetje dengan Bung Karno bertaut kembali, hingga akhirnya mereka menikah secara Islam  di Manado pada tahun 1957. Usai nikah, Jetje menolak ikut ke Jakarta, dengan pertimbangan, tidak mau menyakiti hati Fatmawati, sebagai Ibu Negara.
Dalam kesempatan lain, ketika Jetje tengah mengandung anak dari perkawinannya dengan Bung Karno, Jetje berencana akan melahirkan anak tersebut di Jakarta, sebagaimana anjuran Bung Karno. Namun, disaat akan melahirkan, tiba-tiba pecah pemeberontakan Permesta di daratan Sulawesi.
Anak yang dikandung Jetje pun kemudian lahir di Manado atas pertolongan seorang bidan. Tepatnya pada tanggal 13 Januari 1958, di rumah kakeknya, Desa Lembean. Berita kelahiran ini segera dikabarkan kepada Bung Karno di Jakarta lewat telegram.
Bersamaan dengan itu, meletus pula Gunung Lokon di Tomohon, gunung tertinggi di Sulawesi Utara. Sementara, pemberontakan masih terus berkecamuk. Sebagaimana diceritakan Gempar, belakangan ia tahu, lewat Laksamana John Lie, Komandan Kapal Perang KRI Gajah Mada yang diperintahkan Bung Karno untuk menumpas pemeberontakan di Sulawesi Utara.
Begitu KRI Gajah Mada mendekati pantai Manado, datang instruksi mendadak dari Bung Karno, jangan ada satupun meriam mendarat di kota Manado. “Belakangan saya tahu, rupanya waktu itu ada isteri dan anak Bung Karno di sana,” kata John Lie, dalam sebuah pertemuan masyarakat Manado di Jakarta.
“DISEMBUNYIKAN” DALAM PENDERITAAN
Sesuai amanah, konon lewat sebuah suratnya, Bung Karno memberi nama anaknya Mohammad Fatahillah Gempar Soekarno Putra. “Gempar ini akan menggemparkan Nusantara, bahkan dunia nantinya. Keberadaan anak ini harus dirahasiakan dulu, sampai ia berusia 40 tahun atau sudah matang dalam dunia politik.” Demikian pesan yang disimpan begitu rapi oleh Ny Jetje, sebagaimana ia ceritakan kepada Gempar.
Untuk itulah, Gempar kecil diberi nama oleh ibunya Charles Christofel. Nama Christofel sendiri, diambil dari nama mantan suaminya, Leo Christofel, lelaki yang sampai akhir hayatnya masih berhubungan baik dengan Ny Jetje. “Lebih dari itu, pengambilan nama Christofel dipakai untuk menyamarkan, menutupi, agar tidak
ada yang tahu kalau Gempar adalah anak Bung Karno. Sebagaimana amanat Bung Karno, bahwa anak ini harus dirahasiakan, hingga saatnya kelak ia akan tahu, anak siapa ia sebenarnya, ” tutur Gempar sebagaiama cerita ibunya.
Saat pemberontakan Permesta berakhir, dipenghujung tahun 1960, Bung karno berkunjung ke Manado. “Saat itulah untuk pertamakali dan terakhir, Bung Karno menggendong saya. Saya tidak dapat mengingatnya secara pasti, karena masih berusia lebih kurang dua tahun. Cuma yang saya ingat masa itu, saya sudah punya mainan mahal, yakni mobil-mobilan seperti gokart. “Ibu bilang, mainan itu datang dari Jakarta,” lanjut Gempar lagi.
Sayang, kebahagiaan bersama ibu, tidak dinikmati Gempar selanjutnya. Usia 5 tahun, oleh ibunya ia dititipkan pada Ibu Mince, salah seorang kakak mantan suaminya Christofel yang tinggal di daerah Kanaka, Kotamadya Manado. Sedang ibunya kembali ke kampung, berjarak satu jam perjalanan dari Manado.
“Sejak itu, rasanya saya mulai kehilangan kasih sayang dari orangtua,” tutur Gempar. Ibu Mince, adalah istri seorang pedagang yang cukup terkenal di kota tersebut, bernama Johny Runtuwene. Mereka punya empat anak, Fence (laki-laki sulung), Soan, Poan dan Dince.
Beda usia mereka dengan Gempar cukup jauh, yang tekecil, Dince, selisih 6 tahun lebih besar dari Gempar. Gempar memanggil Mak kepada ibu angkatnya dan Bapak kepada bapak angkatnya. Sedang kepada saudara angkatnya, Gampar memanggil Kakak.
“Sejak awal, saya memang sudah merasa asing dan memperoleh  perlakuan tidak  wajar di rumah tersebut. Selain ditempatkan di sebuah kamar kumuh layaknya kandang, karena memang bersebelahan dengan kandang ayam di belakang rumah dengan dinding anyaman bambu dan lantai tanah, pakaian pun saya tidak punya. Kalau pun ada, itu cuma pakaian bekas dari saudara angkat saya Tidur di dipan beralaskan tikar. Di usia lima tahun, saya sudah dibebani tugas berbagai pekerjaan di rumah itu. Mulai dari yang ringan, misalnya menyapu rumah, menyapu halaman, buang sampah dan mencuci pakaian saya sendiri. Namun, saat saya mulai masuk SD kelas satu, saya sudah harus menimba air dari sumur, mengisi dua drum besar ,untuk mandi mereka dan berbagai keperluan lainnya. Jarak dari sumur ke rumah, sekitar seratus meter. Saya harus menenteng dua ember sekaligus, sehingga membuat saya berjalan terseok-seok. Sementara, saya sendiri tidak boleh mandi di drum itu,” kata Gempar, menceritakan awal mula derita hidup yang ia jalani.
Tidak hanya itu, ia harus bangun lebih awal dari orang-orang di rumah. Selain menimba air di sumur, kian lama tugasnya kian meningkat, mulai dari mempersiapkan sarapan pagi di dapur, mencuci pakaian seisi rumah dan sebagainya. Sebelum berangkat sekolah, ia harus menunggui saudara – saudara angkatnya minum susu dan makan roti. “Dengan harapan, sisa dari makanan mereka itu bisa buat saya.  Lumayan, buat menganjal perut, karena saya memang tidak pernah menikmati uang jajan ke sekolah,” tutur Gempar.
Di sekolah, jika lapar, katanya, dia permisi keluar kelas untuk minum air kran yang ada di WC sekolah. “Jika teman-teman jajan, ya, saya menonton saja. Di situlah, kadang-kadang tanpa terasa, air mata saya jatuh, menahan pedih di hati,” kata  Gempar.
Setelah para saudara angkatnya berangkat sekolah, ada yang menggunakan sepeda, bendi (delman) langgananan mereka, menuju  sekolahnya masing-masing, barulah Gempar berangkat jalan kaki menuju sekolahnya yang berjarak sekitar 2 kilometer dari rumah, yakni di SD Katolik Don Bosco. “Saya cuma punya satu pasang sepatu pemberian orang. Seragam sekolah pun saya cuma punya satu. Karena itu sepatu tersebut sering saya tenteng di perjalanan, supaya awet. Setelah dekat sekolah baru saya pakai. Seragam sekolahpun langsung saya cuci bila sampai di rumah, langsung dijemur untuk dipakai esok harinya. Jika hujan, terpaksa saya pakai terus berulang-ulang. Sehingga seragam tersebut sampai bulukan dan robek, ya saya jahit sendiri pakai jarum tangan,” cerita Gempar.
Lebih parah lagi, kata Gempar, tidak jarang sepulang sekolah, ia tidak kebagian nasi, apalagi lauk pauknya. “Yang saya jumpai, hampir selalu periuk nasi yang masih ada keraknya. Zaman itu, orang kalau masak kan pakai periuk, sehingga ada keraknya yang melekat. Kerak itu saya siram air panas, sehingga mengelotok. Itulah yang saya makan bagi dua dengan anjing piaraan di rumah tersebut. Makan malam pun demikian, hampir selalu saya temui kerak nasi, selama bertahun-tahun. Sedang nasinya, hanya untuk orang seisi rumah bersama anak-anak mereka. Kadang-kadang, kalau kebetulan sedang ada Pak Johny Runtuwene (suami ibu Mince-Red) dan puteri bungsunya Dince di rumah, saya bisa makan nasi. Kedua orang ini cukup baik, memperlakukan saya agak manusiawi dibanding yang lain,” kata Gempar.
Meski demikian, diakui Gempar, untuk mata pelajaran Berhitung dan Ilmu Alam, ia jagonya di kelas. Terbukti, di Ijazahnya, untuk mata pelajaran tersebut, dia memperoleh nilai 9.
DISIKSA KAKAK DAN IBU ANGKAT
Sebagai anak laki-laki, sangat lumrah, bila kadang-kadang Gempar itu nakal, namun masih dalam batas wajar. Sebagaimana ia ceritakan, ketika duduk di kelas 5 SD waktu berusia 11 tahun, sepulang sekolah, karena lapar, ia mencuri sebuah pisang ambon yang ada di dapur.
“Mengetahui pisangnya hilang satu, ibu Mience langsung marah-marah. Ketika ditanya, saya mengaku telah mengambil sebiji pisang. Saya langsung dipukul pakai kayu. Saya diam saja, sambil berlalu ke belakang hendak mencuci baju  seragam untuk saya pakai esok hari. Di sana telah menumpuk pula pakaian ibu Mince dan anak-anaknya yang harus saya cuci. Ketika saya sedang mencuci, tiba-tiba Ibu Mince datang dari belakang sambil marah-marah, melumeri wajah saya dengan segenggam sambal cabe rawit. Saya berteriak, menjerit kesakitan dan membenamkan muka saya ke dalam drum air tempat mandi. Perih di mata tak hilang juga. Berjam-jam lamanya saya menangis, sehingga mengundang iba para tetangga. Namun, mereka tak berdaya untuk menolong, mereka tidak mau mencampuri rumah tangga orang lain,” kata Gempar.
Karena menahan sakit, Gempar lupa mengganti air cabe tempat ia membenamkan muka ke drum mandi. Ketika Fence, putra sulung di rumah itu mandi, mata Fence pun perih. Badan beserta bagian tubuh lainnya kepanasan.
“Saya langsung ditendang Fence, dipukuli sejadi-jadinya. Belum puas, ia ambil tali, ia ikat kaki dan tangan saya, langsung membenamkannya ke sumur. Untung ada sebongkah batu yang menjulur di dinding, sehingga tangan saya bisa nyangkut di sana dan kepala tidak membenam ke air. Saat itulah saya berteriak-teriak minta tolong, sehingga mengundang perhatian para tetangga. Orang-orang pun berdatangan menyelamatkan saya dan memarahi Fence yang tidak manusiawi. Pertengkaran antar mereka pun terjadi dan salah seorang bapak sempat memukul Fence,” cerita Gempar.
MENOLONG TEMAN
SD Katolik Don Bosco Manado tempat Gempar sekolah, adalah tempat bersekolahnya anak orang-orang terkemuka di kota tersebut. Mulai dari pedagang, hingga anak Bupati dan Walikota, ada di sana. “Cuma saya orang paling melarat di sana,” kata gempar.
Suatu kali, rekan sekelasnya, Pedy Lumentut, anak Bupati Minahasa masa itu, memukul Tjong Kok Hwa (sekarang dosen di UCLA Amerika Serikat), putera pedagang arloji yang cukup terkenal di Manado. Merasa kasihan terhadap Tjong Kok Hwa, spontan Gempar memukul Pedy. Anak Bupati itu pun tersungkur. Sejak itulah Gempar disegani di sekolah itu.
“Dan sejak itu pula saya mulai merasakan enaknya kue jajanan di sekolah, pemberian Tjong Kok Hwa yang merasa iba pula kepada saya yang tidak pernah jajan.” Tidak hanya itu, anak Walikota Manado, Kemal Rauf Moo, pun pernah ia pukul, karena sombong dan jahat kepada rekan sekelasnya. Sejak itu, diakui Gempar, ia mulai mendapat simpati teman-temannya, karena suka menolong rekan yang lemah.
“Lumayan, saya sering dijajani teman dan hidup dari belas kasihan mereka. Saya yang tadinya cuma punya satu buku tulis untuk seluruh pelajaran, sering dibelikan teman. Begitu pula sepatu dan seragam, sering diberi oleh teman-teman, bekas mereka yang tidak terpakai lagi.”
JUALAN ES
Saat di kelas 5 SD itu, Gempar ingin punya uang sendiri. Maka usai sekolah, kadang-kadang masih pakai seragam, ia langsung ke rumah Haji Basalamah, salah seorang  tetangga, sekitar satu kilometer dari rumahnya.
Di rumah pedagang keturunan Arab itulah ia bisa makan enak, pakai ikan, ayam, daging dan sebagainya, sesuatu yang tidak pernah ia dapat di rumah ibu angkatnya. Selanjutnya, Gempar mencuci piring, membantu pekerjaan di rumah itu, bahkan mencuci pakaian. Imbalannya, Ibu Basalamah memberi sejumlah uang kepada Gempar. Selain itu, Gempar pun diberi kesempatan menjajakan Es milik keluarga itu berkeliling kampung.
“Hasilnya, lumayan. Saya bisa beli buku, pensil, penggaris dan berbagai keperluan sekolah lainnya,” kata Gempar. Cuma, karena pulang terlalu sore, dimana drum mandi Ibu Mince sekeluarga belum diisi, ditambah lagi pekerjaan rutin lain di rumah ibu angkatnya itu tidak ada yang mengerjakan, lagi-lagi Gempar mendapat siksaan. Ia  dipukul pakai rotan, kayu dan benda apa saja.
“Lama-lama saya jadi kebal.  Bayangkan, ketika saya sedang mengaso saat membelah kayu bakar di bawah pohon samping rumah, saya tertidur dihembus angin. Tiba-tiba saya dipukul oleh Ibu Mince pakai kayu tersebut. Punggung saya merah, kulit terbelah bahkan ada beberapa  serpihan runcing kayu tersebut yang menancap di daging. Semua saya tahankan. Saya sudah tidak kuat menangis. Air mata saya rasanya sudah habis,” katanya, pilu.
Bagaimana perjalanan Gempar selanjutnya setelah gagal bunuh diri? Jadi kondektur Bemo rute Manado -Bitung, aktivis SMA, mundur dari Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi dan meretas jalan hidup di Jakarta, ikuti KARTINI nomor depan.
Sumber: www.kartini-online.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar