Jumat, 27 April 2012

PRRI: Kisah dari Nagari “Pembangkang”


Oleh Devy Kurnia Alamsyah
Civis pacem parabellum’ (untuk berdamai harus siap berperang)
AHMAD Husein menegaskan langkahnya. Ia seakan beradu dengan waktu. Ada sesuatu kecamuk dalam dirinya. Ultimatum yang ia layangkan lima hari lalu pada Kabinet Djuanda untuk menyerahkan mandatnya, lalu meminta Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk suatu kabinet hingga pemilu selanjutnya. Serta meminta Presiden Soekarno untuk kembali kepada posisi konstitusionalnya. Tuntutan ini tak digubris oleh Pemerintah Pusat. Tak ada pilihan lain, pikirnya. Kami bebas dari kewajiban patuh kepada Soekarno sebagai Kepala Negara. 15 Februari 1958, di Padang, Ahmad Husein memproklamirkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sjafruddin Prawiranegara—yang sebelumnya merupakan pemimpin PDRI—terpilih sebagai Perdana Menteri.

Piagam Palembang, yang sebelumnya diserukan pada tanggal 8 September, merupakan satu kesepakatan antara petinggi militer Sumatera dan intelektual sipil bahwa ada sesuatu yang salah dengan Indonesia saat itu—terutama kisruh politik antara Pusat dan Daerah. Kolonel Barlian, Husein, Sumual (dari militer) menuntut enam hal;
(1) pemulihan dwitunggal Soekarno-Hatta,
(2) penggantian pimpinan Angkatan Darat,
(3) melaksanakan otonomi daerah,
(4) pembentukan senat di samping Dewan Perwakilan Rakyat untuk mewakili daerahdaerah melaksanakan otonomi daerah,
(5) meremajakan dan menyederhanakan pemerintah dan
(6) melarang komunisme di Indonesia.
Kehadiran M. Natsir, yang tengah berseberangan dengan Soekarno terkait Nasakom, dalam pertemuan Palembang itu memberi pengaruh besar di dalam sidang tersebut. Bahkan, Natsir tetap berdiri terus bersama PRRI hingga konflik ini berakhir.
Dean Almy, seorang Konsul AS di Medan, menemui para pembangkang. Selain menyerahkan uang tunai sebesar 50.000 dollar AS, juga dibahas realisasi bantuan senjata bagi 8.000 personil militer pembangkang Sumatera. Allan Dulles, Direktur CIA yang juga otak dari segala aksi di belakang upaya pembunuhan Soekarno, kemudian bertemu dengan Presiden Eisenhower mengenai kemungkinan operasi militer ‘skala kecil’ di Sumatera yang disebut dengan ‘Haik Operation’.
Serangan pemerintah pusat ke Sumatera Barat diberi nama “Operasi 17 Agustus” dan dipimpin langsung oleh Kolonel Ahmad Yani—orang yang kini namanya jadi salah satu nama jalan utama di Kota Padang. Mungkin, tak pernah ada pembasmian pembangkang republik yang sebesar ini di Indonesia jika dilihat dari banyaknya jumlah korban. Entah kenapa Pusat begitu semangat menghancurkan Sumatra Barat—yang berbeda dengan Sumatera Utara atau Sumatera Selatan—yang memang tak memiliki aset Amerika di daerahnya. Amerika sepertinya membiarkan saja Sumatera Barat digempur habishabisan. Atau inikah taktik Eisenhower?
Jenderal Nasution melaporkan sebanyak 22.174 korban sebagai laporan resminya. Angka itu belum termasuk korban sipil yang mungkin pula puluhan ribu jumlahnya. Inilah kemudian yang disebut Audrey Kahin sebagai momen mundurnya Sumatera Barat di republik ini—the lost of intellectual groups.
Jika Mestika Zed menggambarkan bagaimana terhinanya masyarakat Minangkabau setelah penumpasan PRRI oleh pusat atas julukan pemberontak ataupun pembangkang yang kemudian dilekatkan atas diri mereka—seakan-akan ini adalah bentuk diskriminasi sosial—maka tenanglah, hari ini tak akan ada lagi pemberontak yang lahir di Sumatera Barat.
Apakah orang yang ingin meluruskan cita-cita kemerdekaan ketika pendapatnya berseberangan dengan penguasa harus selalu dicap pemberontak? Dicap pembangkang? Bukankah Tan Malaka, Hatta, Sjahrir, M.Yamin, M.Natsir, Abdul Muis, Hamka, Agus Salim dan lain-lainya itu adalah para pembangkang terbesar yang pernah ada? Jika mereka tak membangkang pada praktikpraktik kolonialisme sungguh tak mungkin kita bisa merasakan Indonesia seperti saat ini—yang tentunya sudah keluar dari apa yang mereka perjuangkan dulu.
Tapi tenanglah. Pembangkang-pembangkang itu takkan lahir lagi dari nagari ini lagi. Karena jiwa-jiwa resah itu kini sudah berganti dengan jiwa-jiwa yang nyaman dalam ketidaknyamanannya. Orang Sumatera Barat tak akan menjadi seperti orang Jawa Barat yang meniadakan jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk di provinsi mereka karena mereka takkan mengganti jalan Ahmad Yani—orang yang melumatkan nagari para pembangkang atas panggilan tugas—dengan Ahmad Husein.
Nagari yang pernah dikutuk untuk tidak bisa tidak memikirkan republik ini mulai dari kelahirannya kini sudah cukup puas hanya dengan mengantar ke gerbang saja. Tidak untuk selamanya. Tenanglah, tak perlu lagi peluru itu dibeli dan dimuntahkan untuk membunuhi saudara sendiri yang mencoba mengkritisi penguasa—melalui pajak yang justru kami bayar sendiri. Jadi, tenanglah. Pembangkang sudah tak lahir lagi di nagari ini. Nagari ini sudah damai dalam ketidakdamaiannya.
Semoga saya salah. Turut memperingati 53 tahun PRRI. 􀂄
Diambil dari e-Paper Harian Haluan, 13 February 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar