Senin, 02 April 2012

Demonstrasi dan Pesan Damai

   
Okezone.com
Senin, 02 April 2012
DALAM prinsip demokrasi seperti yang dianut oleh Bangsa Indonesia, demonstrasi merupakan salah satu media komunikasi dengan penguasa yang masih dibutuhkan. Bahkan demokrasi dan demonstrasi bagaikan satu sisi mata uang, di mana ada demokrasi maka di sana pula ada demonstrasi. Namun, dalam tataran empiris di atas lapangan, mahasiswa seringkali salah mengartikan kebebasan berpendapat dalam berdemokrasi. Demokrasi bukan berarti kebebasan yang sebebas-bebasnya. Artinya, berbagai tindakan kita sebagai warga negara yang baik di bawah naungan negara hukum, harus tetap memerhatikan batasan-batasan dan sesuai prinsip hak asasi manusia (HAM).

Ketika mahasiswa harus mengambil tindakan aksi turun jalan dan demonstrasi, aspirasi dan pendapat rakyat harus disampaikan dengan pesan damai, bukan dengan kekerasan, anarki dan cenderung brutal. Demonstrasi tidak harus merusak fasilitas umum, membakar mobil patroli, membuat kerusuhan di jalan, memblokade tempat-tempat umum, merusak kendaraan yang sedang lewat sehingga menggangu aktivitas masyarakat yang tidak tahu-menahu.

Sehingga bisa dikatakan, demonstrasi mahasiswa menolak kenaikan harga BBM beberapa hari lalu di berbagai kota sesungguhnya telah melanggar legalitas dan substansi demonstrasi yang sebenarnya. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945, negara telah mengatur demonstrasi sebagai bentuk peyampaian aspirasi dan komunikasi politik yang legal secara hukum di negara demokrasi, termasuk Indonesia. Hal ini diatur dalam Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Demonstrasi sejatinya adalah sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang di hadapan umum, sebagai media komunikasi rakyat terhadap kebijakan penguasa yang dianggap bertolak-belakang dengan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat kecil secara umum atau bahkan merugikan mereka.

Mahasiswa sebagai sosok intelektual dianugerahi kelebihan intelektualitas dan karakter sehingga mampu merepresentasikan pesan, pandangan, dan sikap kepada publik. Mahasiswa merupakan sosok yang kritis, idealis sekaligus dengan gejolak psikologi mudanya mahasiwa terkadang cenderung radikal dan revolusioner. Dan demonstrasi merupakan salah satu pengejewantahan dari sifat mahasiswa ini. Demonstrasi dan mahasiswa bahkan bisa dibilang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Akan tetapi dalam menjalankan demonstrasi ini, mahasiwa tidak sanggup berdiri sendiri. Mahasiswa membutuhkan dukungan masyarakat untuk ikut andil atau setidaknya memberikan dukungan moril terhadap upaya mereka memperjuangkan hak-hak rakyat yang merasa sering dirampas secara paksa oleh pemerintah. Namun apabila ternyata mahasiswa dalam menjalankan aksinya justru bertindak anarkis, merusak fasilitas dan tempat umum, mengganggu ketertiban masyarakat dan tidak mencerminkan diri mereka sebagai masyarakat akademis, tentu dukungan masyarakat yang diharapkan akan jauh panggang dari api. Masyarakat akan merasa demonstrasi mahasiswa bukanlah pengejewantahan aspirasi mereka, namun justru menjadi pengganggu dan momok yang mereka benci. Tidak heran, sekarang ini para orangtua sering kali memperingatkan anaknya untuk tidak turut bergabung dalam organisasi pergerakan mahasiswa, apalagi turut serta dalam demonstrasi.

Apabila menilik dan belajar dari catatan sejarah, misalnya demonstrasi perlawanan di Kota Seattle Amerika Serikat yang mengecam kebijakan WTO dan World Bank, atau demonstrasi massal dan revolusi EDSA tanpa kekerasan di Filipina tahun 1986 yang berhasil menjatuhkan Presiden Ferdinand Marcos, maka akan didapati bahwa demonstrasi untuk mencapai tujuan yang diharapkan tidak harus dilakukan dalam bentuk kekerasan. Demonstrasi merupakan wadah dan media penyambung aspirasi rakyat sehingga di dalam demonstrasi tersirat pesan damai meski tanpa meninggalkan fungsi demonstrasi sebagai pengawal kebijakan penguasa.

Maka, mahasiswa seharusnya sudah mulai sadar diri untuk tidak melakukan demonstrasi yang akan membuat masyarakat merasa disuguhi tindakan anarkis disertai kekerasan. Kericuhan dan kerusuhan mahasiswa dalam melakukan demonstrasi justru akan mendapatkan perlawanan dari masyarakat sendiri.

Demonstrasi sesungguhnya menyimpan misi mulia, yaitu untuk membela kepentingan rakyat kecil yang merasa tertindas oleh kebijakan penguasa yang mencekik kondisi mereka. Dengan kata lain, demonstrasi sekaligus membawa misi kemanusiaan yang berwibawa. Sehingga, demonstrasi, bagaimanapun, tetap dibutuhkan dalam negara demokrasi yang tengah karut-marut seperti ini. Meski demikian, yang perlu diubah adalah mindset mahasiswa pelaku demonstrasi bahwa demokrasi sejati adalah perwujudan pesan damai. Aksi long march yang dilakukan mahasiswa dan BEM universitas Muhammadiyah se-Jawa Tengah dan Yogyakarta serta aksi demonstrasi teatrikal PDIP lebih mencerminkan nilai demonstrasi sesungguhnya yang bermartabat. Tanpa kekerasan bukan berarti tanpa perlawanan sama sekali. Demonstrasi yang dilakukan secara efektif dengan membangun koalisi tanpa harus berpencar dan membentuk kekuatan sendiri-sendiri akan lebih mudah mencapai tujuan pergerakan.

Di lain pihak, kesalahan dalam demonstrasi yang anarki tidak sepenuhnya milik demonstran atau mahasiswa. Andaikan pemerintah bijak dalam menentukan kebijakan dan tidak sewenang-wenang, atau paling tidak pemimpinnya berani menemui para demonstran untuk mengajak mereka berdialog dan menjelaskan permasalahan yang sesungguhnya, tentu pencegahan aksi kekerasan akan lebih baik.
 
Muh. Hadi Bashori
Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang
Aktivis IMM Cab. Semarang
(//rfa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar